Kalau buaya makan manusia disebut memangsa manusia, dan
khusus kali ini manusia yang mengkonsumsi hewan, sengaja saya tulis “memangsa”
hewan, agar saya pribadi ingat setiap kali makan daging saya juga menjadi
pemangsa hewan yang sebelumnya hidup dan punya nyawa.
Pertikaian dan kekacauan yang terjadi selama ini,
disebabkan oleh pemahaman kita yang keliru tentang bentuk-bentuk kehidupan yang
lain. Sedemikian arogannya kita sehingga kita menempatkan jenis kita, manusia,
di atas segala-galanya. Dan, demi kepuasan indra, kita membenarkan pembunuhan,
perburuan, penyembelihan binatang-binatang yang lazimnya kita ayomi; merusak
hutan dengan segala macam konsekuensinya; menyebabkan bencana alam, dan lain
sebagainya.
Seolah manusia adalah ciptaan-Nya yang tertinggi, dan dia bisa berbuat apa saja. Seolah Tuhan yang disembah sebagai Maha Mencipta memiliki preferensi. Sehingga, manusia diperbolehkan untuk membunuh hewan dan melahap dagingnya, sementara jika hewan membunuh manusia dan memangsanya, maka disebut buas.
Seolah manusia adalah ciptaan-Nya yang tertinggi, dan dia bisa berbuat apa saja. Seolah Tuhan yang disembah sebagai Maha Mencipta memiliki preferensi. Sehingga, manusia diperbolehkan untuk membunuh hewan dan melahap dagingnya, sementara jika hewan membunuh manusia dan memangsanya, maka disebut buas.
Seekor hewan buas saja belum tentu memburu, dan memangsa
200 hewan sepanjang hidupnya. Ia tidak akan memburu sebelum menghabiskan buruan
sebelumnya. Ia hanya memburu dalam keadaan lapar.
Bagaimana dengan kita? Saya pernah membaca, rata-rata
orang Indonesia mengkonsumsi 6.000 ekor ayam sepanjang hidupnya. Entah berapa
ekor domba, kambing, sapi, dan ikan, udang segala! Berapa banyak telur ayam
kampung yang masih bisa menetas dan mengandung kehidupan.
Kita tidak merasa bersalah, karena seolah—lagi-lagi—Tuhan
telah mengizinkan kita, “Wahai manusia, lihat binatang-binatang itu—semuanya
telah Ku-ciptakan untuk kau lahap, untuk kau jadikan santapanmu!” renungkan
sejenak, apakah akal sehat kita rasa empati di dalam diri kita, dapat membenarkan
ulah Tuhan seperti itu? apakah Tuhan bisa menyerukan demikian? Atau, adakah
khayalan itu produk pikiran kita sendiri?
Dikutip
dari (Anand Krishna, (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan
Dharma)
Jika Tak Mau Dilukai, Jangan Melukai Orang Lain
“Kemanusiaan adalah percikan kasih Gusti Pangeran (Allah)
yang ada di dalam diri setiap manusia. Apakah kau sudah bertindak sesuai dengan
kodratmu sebagai manusia? Jika kita sudah bertindak sesuai dengan kodrat kita
sebagai manusia, maka kita sudah menjalani kehendakNya. Apa arti kemanusiaan
bagi kita? Kemanusiaan adalah kesadaran bahwa apa yang kau inginkan bagi dirimu
juga diinginkan oleh orang lain bagi dirinya. Jika kau ingin bahagia, maka
orang lain pun ingin bahagia. Jika kau ingin sehat, maka orang lain pun ingin
sehat. Jika kau ingin aman, maka orang lain pun ingin aman. Jika kau tidak mau
dilukai, maka orang lain pun demikian. Jika kau tidak mau ditipu, maka orang
lain pun tidak mau ditipu. Jika kau tidak mau disembelih, dimasak, dan disajikan
di atas piring; jika kau tidak mau dagingmu dijual dengan harga kiloan; jika
kau tidak mau jeroanmu dipanggang atau digoreng; maka janganlah engkau
menyembelih sesama makhlukNya. Menyembelih sesama makhluk hidup bukanlah
tindakan yang memuliakan. Bagaimana kau bisa mengagungkan Hyang Maha Agung
dengan mengorbankan ciptaanNya?”
(Anand
Krishna (2013). Alpha & Omega Japji bagi Orang Modern. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama)
Pengaruh Konsumsi Daging terhadap Karakter Manusia
“Dari segi spiritual, mengkonsumsi daging akan
mempengaruhi sifat dan watak manusia. la akan mewarisi watak binatang yang
dimakan dagingnya itu.”
(Anand Krishna (2001). Hidup Sehat Dan Seimbang Cara
Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
“Dari sudut pandang mistik, mengkonsumsi daging akan mempengaruhi
pernafasan kita, dan selanjutnya memblokir sentra-sentra psikis dalam diri
kita, yang sebenarnya berfungsi sebagai ‘jaringan tanpa kabel’. Sentra-sentra
psikis atau chakra inilah yang membantu terjadinya peningkatan kesadaran dalam
diri kita, dan menghubungkan kita dengan alam semesta. Untuk itu dianjurkan
tidak makan daging. Dari sudut pandang moral, hati seorang pemakan daging akan
menjadi keras. Hati yang seharusnya lembut dan diberikan oleh Allah untuk
mengasihi sesama makhluk bukan hanya sesama manusia akan kehilangan kelembutan
atau rasa kasihnya.”
(Anand
Krishna (2001). Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama)
“Kelemahan kita dalam hal pengendalian hawa nafsu, obsesi
kita terhadap daging, membuat kita licik kita menjadi cendekiawan. Kita mulai
berdalil bukankah tumbuh-tumbuhan itu pun memiliki kehidupan? Betul, kehidupan
mengalir lewat tumbuh-tumbuhan pula. Namun tumbuh-tumbuhan tidak memiliki mind.
Dan oleh karena itu, mengkonsumsi sayur-sayuran, buah-buahan tidak akan
mempengaruhi watak kita, mind kita. Tidak demikian dengan mengkonsumsi daging.
Masih ada lagi yang berdalil hewan yang disembelih dan dimakan itu,
sesungguhnya mengalami peningkatan dalam evolusi mereka. Dengan mengkonsumsi
daging hewan, sebenarnya kita membantu terjadinya peningkatan evolusi mereka.
Anda boleh memberikan seribu satu macam dalil. Dalil tinggal dalil. Yang jelas,
mengkonsumsi daging tidak akan membantu manusia dalam hal peningkatan
kesadaran. Terjadi evolusi dalam diri hewan-hewan itu atau tidak, yang jelas
mengkonsumsi daging tidak membantu evolusi spiritual manusia. Walaupun
demikian, hendaknya seorang vegetarian tidak menganggap rendah mereka yang
masih mengkonsumsi daging. Keangkuhan Anda, arogansi Anda justru akan
menjatuhkan Anda lagi, dan akan menjadi rintangan bagi perkembangan spiritual.”
(Anand
Krishna (2001). Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama) * Terimakasih Bapak Tri Widodo
Komentar
Posting Komentar