Buku berjudul Pengalaman Tanpa-Diri (The Experience of No-Self). Penulisnya adalah seorang kontemplatif Katolik, tinggal di California.
Pengalaman meditasi atau kontemplasi Bernadette Roberts
unik dibandingkan pengalaman kaum mistik dari Tradisi Katolik pada umumnya.
Pada umur 20-an tahun ia telah mencapai kesatuan mistik dengan Tuhan sebagai
puncak mistik kristen. Namun setelah jeda 20 tahun, ia mengalami runtuhnya Diri
(higher Self) dan Tuhannya. Yang ada sekarang tinggal Inti Keallahan (The
Godhead).
Bernadette Roberts lahir di lingkungan keluarga Katolik
yang saleh di negara bagian California, A.S.
Sejak kecil ia mempunyai bakat untuk bermeditasi, duduk
diam di kamarnya. Ayah dan ibunya mendorong bakat Bernadette ini.
Pada usia 15 tahun ia masuk biara, menjadi suster
(biarawati). Tujuannya adalah untuk mengembangkan bakat meditasinya.
Menurut ajaran mistisisme Kristen, tujuan meditasi adalah
untuk menyatu dengan Tuhan. Itu adalah tujuan tertinggi. Di situ masih ada
‘aku’; hanya saja pada puncaknya, ‘aku’ itu tidak terpisah dari Tuhan.
Di dalam biara itu, Bernadette mengaku telah mencapai
tujuan tertinggi mistisisme Kristen itu. Setiap malam ia masuk ke dalam lubuk
batinnya yang dinamakannya “the still point” (titik hening), dan berada bersama
Tuhan, yang di ibaratkannya seperti sekeping mata uang, di satu sisi Tuhan dan
di sisi lain Bernadette, dan tidak bisa dipisahkan. Digambarkannya keadaan itu
seperti suasana yang hening, aman dan damai, di mana tidak ada gangguan pikiran
dan keinginan bisa masuk.
Bernadette sampai pada kemampuan untuk masuk dan keluar
dari ‘titik hening’ itu kapan saja dia mau.
Pada usia 25 tahun, ia lepas jubah. Alasannya tidak ada
apa-apa lagi yang perlu dikerjakan dan perlu dicapai di dalam biara. Malah,
menurut dia, keberadaan bersama Tuhan itu harus diuji “di pasar”, dalam
kehidupan masyarakat ramai.
Ia menikah, dan punya empat anak laki-laki. Ia kuliah
lagi, mencapai gelar S2 di bidang pendidikan, lalu mengajar di sebuah SMU.
Sementara itu ia tetap menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga.
Begitulah kehidupannya berlangsung selama 20 tahun.
Setiap malam ia tetap bermeditasi, masuk ke dalam “titik hening”, “menyatu
dengan Tuhan”. Suami dan anak-anaknya sangat mendukung kelakuan ibu mereka yg
“aneh” itu.
***
Dua puluh tahun kemudian terjadilah suatu peristiwa
dahsyat, yang tidak diharapkannya dan tidak pernah terpikir dalam benak
Bernadette.
Ingat, ia seorang Katolik; ia tidak pernah membaca
buku-buku spiritual atau mistikal dari Timur (Buddhis, Hindu dan sebagainya).
Selama itu, yang diketahuinya hanyalah buku-buku pintar
bagi para biarawan-biarawati Katolik, yang ditulis oleh St Yohanes dari Salib
dan St Teresa dari Avila. Tujuan mistisisme Katolik dalam kedua buku itu adalah
“penyatuan dengan Tuhan”. Tidak pernah terpikirkan olehnya kemungkinan diri
atau aku ini bisa lenyap.
Pada suatu malam, ketika ia akan masuk ke dalam “titik
hening”, ia tidak bisa menemukan “titik hening” itu. Alih-alih, ia hanya
melihat semacam “lubang hitam” di dalam batinnya. “Lubang hitam” itu semakin
membesar, memenuhi seluruh dirinya, lalu meletus seperti balon. Ia merasa jatuh
dari lift yang putus rantainya setinggi 100 lantai ke bawah.
Sesampai di “bawah”, ia membuka mata, dan melihat segala
sesuatu di sekelilingnya, di kamarnya, tidak ada yang berubah. Tetapi ada satu
perubahan besar: ia tidak bisa merasakan batinnya sendiri! Tidak ada emosi;
tidak ada rasa-aku, sebagai pusat yang melihat ke sekelilingnya. Tidak ada lagi
aku, subjek, yang berhadapan dengan objek. Semuanya adalah objek, bahkan
tubuhnya sendiri pun dilihatnya sebagai objek, yang tidak berbeda tubuh-tubuh
orang lain. Tidak ada subjek, yang merasa menjadi pusat dari keberadaannya.
Tidak ada emosi; tidak ada rasa senang, bahagia, dan
tidak ada rasa susah, menderita. Tubuh tetap ada, pancaindra tetap berfungsi
sempurna, intelek dan ingatan yang bersifat faktual tetap ada, tapi tidak ada
lagi aku atau subjek di dalam batinnya. Tubuh ada, rasa sakit jasmani ada, tapi
tidak ada lagi rasa menderita karena sakit jasmani itu.
Ia harus belajar lagi beradaptasi selama dua tahun untuk
kembali bisa berfungsi sebagai anggota keluarga dan masyarakat yang “normal”.
Ia harus belajar untuk melihat laki-laki suaminya berbeda dengan laki-laki
lain, sekalipun tidak ada lagi perasaan laki-laki itu adalah “suami-KU”. Begitu
pula ia harus mempelajari kembali perannya sebagai ibu bagi keempat anaknya
yang sudah remaja; keempat anak itu berbeda dengan remaja-remaja teman-teman
mereka yang lain, sekalipun dalam batinnya tidak ada lagi perasaan “Mereka itu
anak-anak-KU”.
Dan yang paling menarik ialah, ketika diri atau aku-nya
lenyap pada peristiwa malam itu, bersama dengan itu maka Tuhan yang dikenalnya
pun LENYAP! Ia tidak bisa lagi menemukan Tuhan yang selama itu dikenalnya dan
dengan siapa ia berada di dalam “titik hening” setiap malam selama dua puluh
tahun lebih.
Tetapi sebagai gantinya, ke mana pun ia memandang, dalam
mata batinnya ia melihat ada SESUATU YANG LAIN. ‘Sesuatu yang lain’ ini
dilihatnya meresapi segala sesuatu yang ada dalam pandangannya. Dan secara
INTUITIF ia tahu, bahwa ‘sesuatu yang lain’ itu adalah sumber segala sesuatu
yang ada di alam semesta ini, dan ke mana segala sesuatu akan kembali.
Sesungguhnya, saya bertemu dengan Buddhisme hanya pada
akhir perjalanan saya, setelah pengalaman tanpa-diri. Karena saya tahu bahwa
pengalaman ini tidak diungkapkan dalam kepustakaan kontemplatif kita, saya
pergi ke perpustakaan untuk mencari apakah itu bisa ditemukan di dalam
Agama-Agama Timur. Saya tidak membutuhkan waktu lama untuk menyadari bahwa saya
tidak akan menemukannya di dalam tradisi Hindu, di mana saya lihat, keadaan
terakhir adalah setara dengan pengalaman Kristiani akan kesatuan atau penyatuan
yang mentransformasikan. Jika seorang Hindu memperoleh apa yang saya namakan
pengalaman tanpa-diri, itu akan berupa lenyapnya Atman-Brahman secara mendadak
tanpa diharapkan, yakni Diri illahi di dalam “gua hati”, dan lenyapnya gua itu
juga.
Dari pengalaman-pengalaman di masa lampau, saya akrab
dengan banyak jenis dan tingkatan keheningan yang berbeda. Ada keheningan
di-dalam, ada keheningan yang turun dari luar, ada keheningan yang membuat
eksistensi diam, dan keheningan yang meliputi seluruh alam semesta. Ada
keheningan diri beserta daya-dayanya: kehendak, pikiran, ingatan dan emosi. Ada
keheningan yang di situ tidak ada apa-apa, ada keheningan yang di situ ada
sesuatu; dan akhirnya, ada keheningan tanpa-diri dan keheningan Tuhan. Jika ada
jalan di mana saya dapat memetakan pengalaman-pengalaman kontemplatif saya, itu
adalah jalan keheningan yang semakin meluas dan semakin mendalam.
Namun, pada suatu kali, jalan ini tampaknya berakhir
ketika saya memasuki suatu keheningan yang dari situ saya tidak pernah keluar
lagi sepenuhnya. Tetapi saya harus mendahului risalah ini dengan mengatakan
bahwa pada peristiwa-peristiwa sebelumnya, saya telah sampai pada keheningan
daya-daya batin yang meresapi segalanya dan begitu menyeluruh sehingga
menimbulkan rasa takut yang halus. Itu adalah ketakutan akan tertelan
selamanya, tersesat, musnah, atau kehilangan kesadaran dan mungkin tidak bisa
kembali lagi. Pada saat-saat seperti itu, untuk menyingkirkan ketakutan itu,
saya membuat suatu gerakan menyerahkan nasib saya kepada Tuhan – suatu gerakan
kehendak, suatu pikiran, suatu jenis proyeksi ke depan. Dan setiap kali saya
melakukan itu, keheningan itu patah dan saya berangsur-angsur kembali kepada
diri saya – dan rasa aman yang biasa. Maka, pada suatu hari, peristiwanya tidak
seperti itu.
Di jalan dari tempat saya tinggal, ada sebuah biara di
tepi laut, dan pada petang hari bila ada kesempatan, saya suka melewatkan waktu
beberapa lama sendirian di dalam keheningan kapelnya. Petang hari itu tidak
berbeda dengan petang hari-petang hari lainnya. Lagi-lagi ada keheningan yang
meresapi segalanya, dan sekali lagi saya menunggu munculnya rasa takut untuk
mematahkannya. Tetapi kali ini ketakutan itu tidak muncul. Entah karena
terbiasa menanti, atau karena realitas ketakutan yang tidak datang, selama
beberapa saat saya merasakan cemas atau tegang – seolah-olah menunggu sentuhan
rasa takut itu. Selama saat-saat menunggu itu, saya merasa seakan-akan saya
berdiri di tepi sebuah jurang atau berdiri di atas sebuah tambang, dengan apa yang
diketahui (diriku) pada satu sisi dan apa yang tak diketahui (Tuhan) pada sisi
yang lain. Suatu gerakan ketakutan berarti gerakan ke sisi diri dan apa yang
diketahui. Apakah kali ini saya akan menyeberang, ataukah saya akan jatuh
kembali kepada diri saya-seperti biasa? Oleh karena saya tidak punya kekuatan
untuk bergerak atau memilih, saya tahu bahwa keputusan terletak bukan pada
saya; di-dalam semuanya hening, diam, tak bergerak. Dalam keheningan ini, saya
tidak sadar akan saat ketika ketakutan dan ketegangan menunggu itu lenyap.
Namun, saya terus menunggu suatu gerakan yang bukan dari saya sendiri, dan
ketika tiada gerakan muncul, saya sekadar berada dalam keheningan yang besar.
Suster mengguncang kunci pintu kapel. Waktunya tiba untuk
mengunci pintu, dan pulang ke rumah dan menyiapkan makan malam untuk anak-anak
saya. Di masa lampau selalu sukar untuk tiba-tiba keluar dari keheningan
mendalam, oleh karena pada waktu itu energi saya sedang surut, dan upaya untuk
bergerak terasa seperti mengangkat beban berat. Namun kali ini, tiba-tiba
terpikir oleh saya untuk tidak memikirkan bagaimana bangkit, tetapi sekadar
melakukannya saja. Saya rasa saya memperoleh pelajaran berharga di situ, oleh
karena saya meninggalkan kapel itu seperti sehelai bulu melayang di udara.
Setelah berada di luar, saya berharap sepenuhnya kembali kepada energi dan
pikiran saya sehari-hari, tetapi hari itu saya menghadapi kesulitan, oleh
karena saya terus menerus masuk kembali ke dalam keheningan besar itu.
Berkendara pulang merupakan pergulatan terus-menerus melawan ketidaksadaran
penuh, dan mencoba menyiapkan makan malam serasa seperti mencoba menggerakkan
sebuah gunung.
Selama tiga hari yang melelahkan saya bergulat untuk
tetap sadar dan mengesampingkan keheningan yang setiap detik mengancam untuk
melanda saya. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan kegiatan rumah tangga
adalah dengan terus-menerus mengingatkan diri saya akan apa yang tengah saya
lakukan:
Sekarang saya mengupas wortel, sekarang saya
memotong-motongnya, sekarang saya mengambil panci, sekarang saya menuangkan air
ke dalam panci, dan seterusnya, sampai akhirnya, saya begitu lelah, sehingga
saya cepat-cepat pergi berbaring di sofa. Begitu saya membaringkan badan, saya
langsung kehilangan kesadaran. Kadang-kadang terasa saya kehilangan kesadaran
selama berjam-jam, padahal hanya lima menit; pada saat-saat lain, terasa
seperti lima menit, padahal berjam-jam. Dalam kehilangan kesadaran ini tidak
ada mimpi, tidak ada kesadaran akan lingkungan saya, tidak ada pikiran, tidak
ada pengalaman – sama sekali tidak ada apa-apa.
Pada hari keempat, saya perhatikan keheningan itu mulai
melonggar, sehingga saya bisa tetap bangun dengan upaya sedikit kurang, dan
oleh karena itu, saya memberanikan diri pergi berbelanja keperluan sehari-hari.
Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi tiba-tiba seorang ibu mengguncang
tubuh saya dan bertanya, “Anda tertidur?” Saya tersenyum kepadanya sambil
mencoba menyadari di mana saya berada, oleh karena pada saat itu sedikit pun
saya tidak tahu bagaimana saya bisa berada di toko itu atau apa yang tengah
saya lakukan. Jadi saya harus mulai dari awal lagi: sekarang saya mendorong
kereta, sekarang saya harus mengambil beberapa butir jeruk, dan seterusnya.
Pada pagi hari kelima, saya tidak dapat menemukan sandal saya, tetapi ketika
mengambil makan pagi untuk anak-anak, saya membuka lemari es dan apa yang saya
temukan di situ sungguh lucu dan tidak dapat dipercaya.
Pada hari kesembilan, keheningan itu begitu melonggar
sehingga saya merasa yakin bahwa tidak lama lagi segala sesuatu akan menjadi
normal kembali.
Tetapi sementara hari-hari berlalu dan saya kembali mampu
berfungsi seperti biasa, saya lihat ada sesuatu yang hilang, tetapi saya tidak
bisa mengenali apa itu. Sesuatu, atau suatu bagian dari diri saya, tidak
kembali. Suatu bagian dari diri saya tetap berada dalam keheningan. Rasanya ada
suatu bagian dari batin saya yang berakhir. Saya menyalahkan ingatan, oleh
karena hal itu adalah yang terakhir muncul kembali, dan ketika hal itu muncul,
saya lihat betapa hambar dan tanpa kehidupan – seperti slide-slide tanpa warna
pada sebuah film tua. Mati. Yang mati bukan hanya masa lampau yang jauh kosong,
tetapi juga masa lampau dari beberapa menit yang lalu.
Nah, jika sesuatu sudah mati, Anda segera kehilangan
kebiasaan untuk mencoba menghidupkannya kembali; demikian pula, ingatan ini
tanpa kehidupan lagi, Anda belajar hidup sebagai orang yang tidak punya masa
lampau-Anda belajar hidup pada saat kini. Bahwa hal ini sekarang bisa
dilakukan tanpa susah payah-dan semata-mata didorong oleh keharusan-adalah
suatu dampak yang baik dari pengalaman yang selebihnya melelahkan. Dan bahkan
ketika saya memperoleh kembali ingatan praktis saya, hidup pada saat kini tanpa
upaya itu tidak penah meninggalkan saya. Tetapi dengan kembalinya ingatan
praktis saya, saya melepaskan pengertian saya semula tentang apa yang hilang,
dan memutuskan bahwa aspek yang hening dari batin saya sesungguhnya adalah
semacam “absorpsi”, suatu absorpsi di dalam apa yang tak diketahui, yang bagi
saya tentu saja adalah Tuhan.
Rasanya seperti terus-menerus menatap kepada Apa yang Tak
Diketahui yang besar dan hening, yang tidak dapat disela oleh kegiatan apa pun.
Ini adalah dampak lain yang baik dari pengalaman awal ini.
Tafsiran dari aspek yang hening dari batin saya ini
(absorpsi) tampaknya cukup dapat menjelaskan selama kira-kira sebulan, ketika
lagi-lagi saya mengubah pikiran saya dan memutuskan bahwa absorpsi ini
sesungguhnya adalah suatu keadaan sadar (awareness), suatu cara “melihat” yang
khusus, sehingga yang sesungguhnya terjadi bukanlah suatu pengakhiran apa pun,
melainkan sesungguhnya suatu pemekaran; tidak ada yang hilang, ada “sesuatu”
yang ditambahkan. Namun, setelah beberapa lama, pengertian ini pun tampak tidak
sesuai, entah bagaimana tampak tidak memuaskan, ada sesuatu lain yang terjadi.
Maka saya putuskan untuk pergi ke perpustakaan, untuk melihat apakah saya bisa
memecahkan misteri ini melalui pengalaman orang lain.
Yang saya temukan ialah, jika hal itu tidak terdapat
dalam tulisan Santo Yohanes dari Salib, mungkin tidak akan terdapat di mana pun
juga.
Sementara tulisan-tulisan orang suci itu saya kenal dengan baik, di situ saya tidak dapat menemukan suatu penjelasan bagi pengalaman spesifik saya; saya juga tidak dapat menemukannya di lain tempat di perpustakaan itu. Tetapi selagi berjalan pulang pada hari itu, di sepanjang jalan yang menurun dengan sebuah panorama lembah dan bukit-bukit di hadapan saya, saya mengalihkan perhatian saya ke dalam, dan apa yang saya lihat membuat langkah saya terhenti. Alih-alih ada sebuah pusat diri saya yang tak terlokalisir seperti biasa, di situ tidak ada apa-apa, kosong; dan pada saat melihat ini, meluaplah suatu sukacita yang tenang, dan saya tahu sekarang, akhirnya saya tahu apa yang hilang – yakni “diri” saya.
Sementara tulisan-tulisan orang suci itu saya kenal dengan baik, di situ saya tidak dapat menemukan suatu penjelasan bagi pengalaman spesifik saya; saya juga tidak dapat menemukannya di lain tempat di perpustakaan itu. Tetapi selagi berjalan pulang pada hari itu, di sepanjang jalan yang menurun dengan sebuah panorama lembah dan bukit-bukit di hadapan saya, saya mengalihkan perhatian saya ke dalam, dan apa yang saya lihat membuat langkah saya terhenti. Alih-alih ada sebuah pusat diri saya yang tak terlokalisir seperti biasa, di situ tidak ada apa-apa, kosong; dan pada saat melihat ini, meluaplah suatu sukacita yang tenang, dan saya tahu sekarang, akhirnya saya tahu apa yang hilang – yakni “diri” saya.
Secara fisik, rasanya sebuah beban berat terangkat dari
pundak saya, saya merasa begitu ringan, sampai saya memandang kaki saya untuk
memastikan bahwa saya masih berdiri di atas tanah. Belakangan saya teringat
akan pengalaman Santo Paulus, “Sekarang bukan aku lagi, melainkan Kristus
yang hidup di dalam aku,” dan menyadari bahwa sekalipun di dalam ini
kosong, tidak ada apa pun yang masuk untuk menggantikan tempat saya. Jadi saya
memutuskan bahwa Kristus ADALAH suka cita, kekosongan itu sendiri; Ia adalah
semua yang tinggal dari pengalaman manusiawi ini.
Selama berhari-hari saya berjalan dengan sukacita ini,
yang kadang-kadang begitu besar sampai saya memandang luapan perasaan ini dan
bertanya-tanya berapa lama itu akan bertahan.
Pengalaman ini adalah puncak dari kehidupan kontemplatif
saya. Itu adalah akhir dari sebuah pertanyaan yang menghantui saya selama
bertahun-tahun: dimana “aku” berakhir dan Tuhan mulai? Selama bertahun-tahun,
garis yang memisahkan kami berdua telah menjadi begitu tipis dan memudar sampai
kebanyakan waktu saya tidak dapat melihatnya sama sekali, tetapi selalu pikiran
saya ingin sekali tahu: mana yang milik-Nya dan mana yang milikku?
Sekarang teka-teki saya telah berakhir. Tidak ada
“milikku” lagi, yang ada hanyalah milik-Nya. Saya bisa tinggal dalam keadaan
penuh sukacita ini sampai akhir hayat saya, tetapi itu tidak terdapat di dalam
Rencana Besar.
Hanya dalam waktu beberapa hari, mungkin seminggu, ketika
seluruh kehidupan spiritual saya – pekerjaan, penderitaan, pengalaman-pengalaman
dan tujuan-tujuan sepanjang hidup – tiba-tiba meledak menjadi sejuta kepingan
yang tak terpungut lagi dan tidak ada apa-apa lagi, sama sekali tidak ada
apa-apa yang tinggal.
Komentar
Posting Komentar