Buddha Gautama menggunakan kata nirvana … karena ia
mencoba untuk melakukan upaya dua puluh lima abad setelah Patanjali. Dalam dua
puluh lima abad sebelumnya Patanjali telah disalahgunakan. Orang-orang yang
mencoba untuk mencapai samadhi telah membuat itu menjadi semacam
perjalanan-penuh-ego. Kata ‘samadhi’ adalah kata yang sangat positif –
melampaui segala penyakit, mencapai keutuhan. Namun ada celah di dalamnya: itu
dapat memberikan kepadamu gambaran bahwa “Aku akan menjadi sempurna, melampaui
segala keterbatasan, semua penyakit. Aku akan menjadi utuh” Tapi bahayanya
adalah bahwa “Aku” ini mungkin dapat menjadi egomu – sangat mungkin itu akan
begitu, karena pikiranmu masih ada disana.
Samadhi yang benar adalah ketika pikiran itu telah tiada
lagi. Kemudian engkau dapat mengatakan, “Aku telah melampaui segala penyakit”
karena ego juga merupakan suatu penyakit – bahkan, penyakit terbesar yang dapat
diderita oleh manusia. Sekarang “Aku” mu tidak berarti ego. Ini hanya berarti
individualitasmu, bukan kepribadianmu. Ini hanya berarti universal yang ada di
dalam dirimu, hanya setetes embun yang berisi lautan. Penekanannya telah
berubah sepenuhnya. Ini bukan setetes embun yang mengakuinya; ini adalah lautan
yang menyatakannya.
Tapi karena banyak orang telah menjadi egois … dan bahkan
sampai hari ini engkau dapat melihat orang-orang ini. Orang-orang suci mu, para
sage, para mahatma, begitu penuh ego yang hal ini mengejutkan kita – bahkan
orang-orang biasa tidak begitu penuh ego seperti mereka. Tapi ego mereka sangat
halus, sangat halus.
Buddha Gautama harus menemukan sebuah kata baru, dan kata
itu harus sebuah kata yang negatif sehingga ego tidak dapat membuat trik bagi
dirinya sendiri. ‘Nirvana’ adalah kata yang negatif; itu hanya berarti
“memadamkan lilin” … sebuah kata yang sangat indah. Memadamkan lilin, apa yang
akan terjadi? – Hanya kegelapan murni yang tersisa.
Buddha mengatakan bahwa ketika egomu telah lenyap seperti api yang ada pada lilin, apa yang tersisa – keheningan itu, kedamaian itu, kebahagiaan yang kekal itu – adalah nirvana.
Buddha mengatakan bahwa ketika egomu telah lenyap seperti api yang ada pada lilin, apa yang tersisa – keheningan itu, kedamaian itu, kebahagiaan yang kekal itu – adalah nirvana.
Dan tentu dia telah berhasil: tidak ada seorang pun yang
mampu membuat nirvana sebagai perjalanan-penuh-ego. Bagaimana engkau dapat
membuat nirvana sebagai perjalanan-penuh-ego? Ego harus mati. Hal ini tersirat
dalam kata itu sendiri, bahwa engkau akan harus lenyap di dalam asap. Apa yang
akan ditinggalkan adalah realitas sejatimu, adalah keberadaan murnimu, adalah
kebenaranmu, adalah diri sejatimu – dan untuk menemukan itu adalah menemukan
semuanya.
___Osho
From The Osho Upanishad, Chapter 14
From The Osho Upanishad, Chapter 14
Gautam Buddha used the word nirvana… because he was
trying to make an effort twenty-five centuries after Patanjali. In these
twenty-five centuries Patanjali had been misused. The people who were trying to
reach samadhi made it some kind of ego trip. The word ‘samadhi’ is very
positive – beyond all illness, wholeness. There is a loophole in it: it can
give you an idea that “I will become perfect, beyond all limitations, all
sicknesses. I will become whole.” But the danger is that this “I” may be your
ego – most probably it will be, because your mind is still there.
The samadhi is true when the mind is gone. Then you can
say, “I have gone beyond sickness” because the ego was also a sickness – in
fact, the greatest sickness that man suffers from. Now your “I” does not mean
ego. It simply means your individuality, not your personality. It simply means
the universal in you, just the dewdrop which contains the ocean. The emphasis
has changed completely. It is not the dewdrop that is claiming; it is the ocean
that is proclaiming.
But because many people became egoistic… and you can see
those people even today. Your saints, sages, mahatmas, are so full of ego that
one is surprised – even ordinary people are not so full of ego. But their egos
are very subtle, very refined.
Gautam Buddha had to find a new word, and the word had to
be negative so that ego could not make a trick for itself. ‘Nirvana’ is a
negative word; it simply means “blowing out the candle”… a very beautiful word.
Blowing out the candle, what happens? – Just pure darkness remains.
Buddha is saying that when your ego has disappeared like the flame of the candle, what remains – that silence, that peace, that eternal bliss – is nirvana.
Buddha is saying that when your ego has disappeared like the flame of the candle, what remains – that silence, that peace, that eternal bliss – is nirvana.
And certainly he was successful: nobody has been able to
make nirvana an ego-trip. How can you make nirvana an ego-trip? The ego has to
die. It is implied in the word itself, that you will have to disappear in
smoke. What will be left behind is your true reality, is your pure existence,
is your truth, is your being – and to find it is to find all.
___Osho
From The Osho Upanishad, Chapter 14
From The Osho Upanishad, Chapter 14
(Posted By Osho Indonesia)
Komentar
Posting Komentar