MASIH RELEVANKAH AJARAN SYEKH SITI JENAR DEWASA INI ?
Tema seminar/sarasehan budaya hari ini adalah agama
ageming aji, yaitu agama sebagai nilai-nilai luhur yang menjadi landasan hidup
bangsa Indonesia, sesuai dengan sila pertama pada Pancasila, Ketuhanan
Yang Maha Esa. Agama dalam bingkai ageming aji bukanlah agama dalam
arti golongan atau agama sebagai organisasi (organized religion), tetapi agama
sebagai basis moralitas dan perilaku manusia.
Agama dalam arti ini pernah menjadi polemik dan perang
wacana di Kepulauan Nusantara (karena Indonesia belum lahir) dan
tepatnya di P. Jawa pada pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16.
Tokoh sentral dalam polemik dan perang wacana pada masa
itu adalah Syekh Siti Jenar atau dikenal dengan nama Syekh Lemah Abang. Dia
seorang guru dan pelaku spiritual yang mengajarkan agama sebagai jalan hidup
dan bukan sebagai kepercayaan. Meskipun Syekh seorang muslim, tetapi ajarannya
menarik berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang ada waktu itu. Mereka yang
belajar dan menjadi murid Syekh berasal dari berbagai kalangan, baik kalangan
elite (yaitu para adipati) maupun rakyat biasa. Mereka berasal dari pemeluk
Hindu, Buddha, Islam, dan pemeluk kepercayaan yang berkembang di Jawa waktu
itu.
Apa yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar sehingga daya
tarik ajarannya luar biasa dan menyebabkan penguasa Kesultanan Demak Bintara
kegerahan waktu itu? Yang diajarkan sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi
mereka yang hidup di Kep. Nusantara waktu itu. Yang diajarkan adalah paham MKG
(Manunggaling Kawula Gusti), yaitu satunya hamba dengan Tuhan. Paham ini sudah
ada di agama Hindu dan Buddha yang sebelum berdirinya Kesultanan Demak, dipeluk
oleh mayoritas penduduk Nusantara. Paham ini diikuti oleh kalangan sufi dalam
agama Islam. Bahkan, mereka yang dikenal sebagai anggota Walisanga juga
berpaham MKG. Padahal, berdasarkan sejarah Walisanga yang bergelar sunan itu
adalah pendukung dan penasehat Sultan Demak di zaman itu.
Meskipun Walisanga dan Syekh Siti Jenar sepaham, tetapi
pada tataran implementasinya dalam kehidupan berbeda. Bagi Siti Jenar, MKG
merupakan landasan, jalan dan alat untuk menjadikan manusia merdeka sejati. MKG
menggerakkan manusia untuk menjadi dirinya sendiri, menjadikan manusia yang
memiliki kepribadian. Inilah inti dari MKG yang diajarkan oleh Syekh Siti
Jenar. Tentu pikiran semacam ini melompat terlalu jauh ke depan pada zamannya.
Jangankan pada masa 500 tahun yang lalu, dewasa ini saja sebagian besar orang
tidak hidup sebagai pribadi, tetapi hidup berdasarkan pikiran orang lain.
Sedangkan MKG yang diajarkan oleh Walisanga lebih bersifat teoritis, dan tidak
memberikan implikasi nyata dalam kehidupan masyarakat.
Ajaran MKG Siti Jenar mendobrak feodalisme yang tumbuh
subur pada masa itu, sedangkan Walisanga justru melanggengkan sistem
feodalisme. Syekh membangkitkan kesetaraan antara kawula (rakyat) dengan
rajanya (Gusti). Walisanga melestarkan sistem rakyat menyembah raja. Syekh
membebaskan orang dari belenggu ketakhayulan dan pikiran picik, sedangkan
Walisanga malah menjadikan agama dan kepercayaan sebagai alat kekuasaan.
Puncak pertarungan paham berakhir ketika Sultan Patah
memerintahkan Walisanga untuk menghentikan kegiatan mengajar Syekh dan
pengikutnya dihancurkan. Untung tak dapat diraih malang tak dapat
ditolak, kata peribahasa. Ajaran Syekh Siti Jenar dipadamkan meski demikian,
ajaran SSJ tetap berjalan dan disampaikan secara sembunyi-sembunyi. Rakyat
patuh kepada raja secara pasif, sedangkan kalangan elite berebut kekuasaan.
Akibatnya, umur kerajaan tak ada yang panjang, Demak jatuh disusul dengan
berdirinya Pajang, dan dalam satu generasi saja Pajang hilang dan muncul
Mataram.
Karena rakyat bodoh dan elite kerajaan berebut kekuasaan,
maka Mataram hanya dalam kurun waktu 50 tahun berdiri sudah goyah karena adanya
infiltrasi VOC, yang akhirnya Mataram menjadi negara taklukan VOC. Hal ini saya
sampaikan dalam seminar/sarasehan ini agar dapat menjadi pelajaran bagi bangsa
Indonesia. Dengan memperhatikan kembali ajaran Syekh Siti Jenar kita akan
dididik untuk menjadi manusia merdeka, sehingga siap untuk menahan gangguan dan
ancaman asing agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus terjajah oleh
negara lain dalam segala bentuknya.
Sembilan Ajaran Pokok Syekh Siti Jenar
Sebagaimana dituturkan di atas, manusia hidup di
atas bangunan opini atau pendapat orang lain. Pada umumnya manusia tidak
mengetahui hakikat hidupnya sendiri, dan tidak mengetahui dengan pasti apa yang
akan terjadi pada dirinya. Pikiran sebagian besar orang merupakan pendapat
orang lain, sehingga kita berbicara menggunakan bahasa orang lain. Mereka yang
berpengaruhlah yang telah menanamkan pengaruhnya yang berupa bahasa, perilaku,
pendapat, dan sebagainya untuk membangun identitas tunggal.
Adalah Kierkegaard (seorang filosof Barat) yang
menyatakan bahwa sekelompok besar orang selalu menghilangkan identitas pribadi.
Oleh karena itu, sebagian besar orang yang beragama (memeluk agama resmi) biasa
melakukan ritual dan menjalankan apa yang biasa dilakukan atau diharapkan oleh
orang lain, tanpa penghayatan pribadi apa yang dilakukankannya. Kebanyakan
orang hidup dalam kedangkalan dan formalisme kosong, dan demikianlah yang
terjadi sehingga seluruh generasi terjebak dipinggiran akal budi yang berlumpur.
Inilah yang menyebabkan roda kemajuan berhenti berputar.
Pendapat sebagai hasil olah pikir manusia berkembang
terus, dan bila pemikiran seseorang, suatu golongan atau bangsa mandek, maka ia
akan terlindas oleh perubahan yang terjadi di dunia ini. Bangsa yang
pemikirannya terlindas atau tertinggal akan menemui banyak masalah dalam
hidupnya, dan kenyataan itu bisa kita saksikan dewasa ini. Perhatikanlah apa
yang terjadi pada negara-negara tidak maju atau sedang berkembang! Kemiskinan,
kebodohan, mutu kesehatan yang rendah, serta rusaknya lingkungan hidup
merupakan bukti mandeknya pemikiran.
Tanpa berpikir manusia tidaklah sama dengan hewan, tetapi
malah lebih buruk daripada kehidupan hewan. Bila hewan lapar, maka secara
naluri akan tertuntun menuju sumber makanan, tetapi tanpa berpikir untuk
mencari makan manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itu, manusia
berandai-andai, dan perlu berasumsi. Manusia berusaha menggunakan
akal-pikirannya untuk menciptakan nilai tambah pada segala sesuatu yang ada di
sekitarnya. Berbagai benda diberi nilai atau “aji” sesuai dengan tingkat
kelangkaannya.
Pendapat apabila sudah diterima oleh suatu kelompok orang
maka akan menjadi kebenaran bagi kelompok itu. Meskipun kitab-kitab suci dalam
berbagai agama dikategorikan sebagai wahyu dan bukan pendapat, tetapi dalam
implementasinya tetap menggunakan olah pikir alias pendapat. Dan, pendapat
tentunya dimaksudkan untuk menyamankan, memudahkan, dan menimbulkan
kesejahteraan umat. Itulah pendapat yang diperlukan!
Jadi, bukan kebenaran hakiki atau kebenaran harfiah suatu
pendapat yang perlu diperhatikan. Yang perlu diperhatikan adalah apakah
pendapat itu bisa digunakan untuk menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan
bagi umat manusia, minimal bagi mereka yang meyakini pendapat itu. Dan, yang
perlu kita tolak adalah pendapat yang menimbulkan kezaliman, kesengsaraan dan
kriminalitas bagi manusia.
Nah, ajaran pokok yang pertama dari Syekh Siti
Jenar adalah tidak mengabsolutkan pendapat. Pendapat boleh
diperdebatkan, akan tetapi pendapat tidak untuk melindas pendapat orang lain.
Munculnya berbagai mazhab dalam berbagai agama di dunia membuktikan bahwa
ajaran agama pasca pendirinya sebenarnya merupakan pendapat yang dikembangkan
dari ajaran asal agama itu. Jadi, kebenaran pendapat adalah kebenaran yang
dibangun atas akseptabilitas masyarakat atau komunitas tempat pendapat itu
berkembang.
Ajaran pokok yang kedua adalah menjadi manusia
hakiki, yaitu manusia yang merupakan perwujudan dari hak, kemandirian, dan
kodrat. Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan
kewajiban daripada hak. Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut rakyat
untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum mendapatkan haknya. Warga dituntut
membayar pajak, mematuhi undang-undang dan peraturan yang ditentukan oleh para
elite politik, dan melaksanakan berbagai macam kepatuhan. Menurut Syekh Siti
Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu. Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban apa
pun yang bisa diberikan kepada seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena
itu, begitu seorang bayi manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia
harus dipenuhi terlebih dahulu.
Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin,
hak memperoleh pengasuhan, perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan
pendidikan harus dipenuhi. Hak-hak tersebut dipenuhi agar ia menjadi manusia
yang dapat menjalankan kewajibannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan
negara. Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia hakiki, manusia sebenarnya
yang dapat berkiprah dalam kehidupan nyata, baik sebagai pribadi maupun warga
sebuah negara. Salah satu unsur untuk menjadi manusia yang hidup merdeka
terpenuhi.
Kemandirian. Pemenuhan hak dan kewajiban barulah tahap
awal untuk menjadi manusia hakiki. Tahap berikutnya adalah mendidik, mengajar, dan
melatihnya agar bisa menjadi manusia yang hidup mandiri. Ia harus diarahkan
agar mampu hidup yang tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian,
kehidupan mandiri akan tercapai bila terjadi kesalingtergantungan antar anggota
masyarakat dan sekaligus kemerdekaan (interdependence and independence) .
Perhatikanlah keadaan ekonomi
masyarakat Indonesia sekarang ini. Kita amat sangat tergantung pada
bantuan atau hutang luar negeri. Negara yang dilimpahi kekayaan alam yang luar
biasa ini justru dihisap oleh negara-negara maju di dunia ini. Setiap bayi yang
dilahirkan yang seharusnya merupakan aset negara, ternyata tumbuh menjadi
manusia-manusia pencari kerja dan bahkan menjadi beban negara. Hal ini
disebabkan terjadinya manusia-manusia yang tergantung pada orang lain. Hubungan
yang terjadi adalah hubungan orang-orang lemah dengan orang-orang kuat. Yang
lemah merasa sangat memerlukan yang kuat, sedangkan yang kuat berbuat tidak
semena-mena terhadap mereka yang lemah.
Akibat dari keadaan tersebut tambah tahun pengangguran
akan semakin bertambah besar. Yang menjadi gantungan relatif tetap, sedangkan
yang menggatungkan diri bertambah banyak. Terjadi relasi yang tidak seimbang,
sehingga kehidupan masyarakat menjadi rawan.
Kodrat. Inilah unsur berikutnya yang menopang asas hak
dan kemandirian dalam kehidupan masyarakat. Kodrat pada manusia merupakan kuasa
pribadi. Kodrat tidak didapat dari luar diri. Dengan demikian kodrat tidak
berasal dari pelatihan dan pendididikan. Tetapi kodrat harus diberikan ruang
yang kondusif agar suatu bentuk kemampuan khusus yang dianugerahkan pada setiap
orang bisa terwujud. Dalam hal ini, pelatihan akan meningkatkan kualitas kodrat
yang dimiliki seseorang.
Dalam psikologi kodrat dapat dikatakan hampir sama dengan
talenta. Bila seseorang tidak diberikan kesempatan untuk dapat
mengaktualisasikan dirinya, maka kodratnya kemungkinan besar tak akan terwujud.
Padahal, kodrat yang ada pada diri seseorang itulah yang bisa menjadi sarana
untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya. Bila setiap orang bisa mewujudkan
kodratnya, maka akan terwujud hubungan yang saling memberikan dan sekaligus
saling membutuhkan. Setiap orang akan memiliki nilai tawar bagi orang lain.
Harmonisasi dan ikatan antar warga negara akan menguat
bila sebagian besar penduduknya bisa mewujudkan ketiga unsur manusia hakiki
tersebut. Keragaman masyarakat pun kecil dan kesenjangan ekonomi dapat
dinihilkan. Akhirnya jati diri manusia akan muncul dengan sendirinya, dan kita
akan menjadi bangsa yang kokoh dan tidak mudah diprovokasi.
Ajaran pokok Syekh yang ketiga adalah hubungan
antara satu orang dengan orang lain merupakan hubungan kodrat dan iradat.
Hubungan satu orang dengan orang lain bagaikan hubungan kerja dalam satu tim,
sehinga tidak terjadi hubungan posisi yang memerintah dan yang diperintah. Tak
ada hubungan kekuasaan. Antara manusia yang satu dengan yang lain terikat oleh
kodrat dan iradatnya, sehingga seperti hubungan sel yang yang satu dengan sel
lainnya dalam satu tubuh, dan hubungan organ yang satu dengan organ lainnya dalam
satu tubuh.
Kalau kita amati cara kerja organ-organ dalam tubuh
manusia, maka kita akan ketahui bahwa masing-masing organ (seperti otak,
penglihatan, penciuman, pendengaran, paru-paru, jantung, hati, ginjal, usus,
dan lain-lain) akan bekerja sama, dan masing-masing menjalankan peranannya.
Seharusnya kehidupan masyarakat manusia juga demikian. Dengan mewujudkan
masyarakat yang berupa kumpulan manusia-manusia hakiki, masing-masing orang
atau kelompok menjalankan fungsinya dengan benar, maka akan terbentuk kehidupan
yang sehat dan tidak terjadi penghisapan antara orang yang satu terhadap orang
lainnya. Inilah kehidupan dunia yang didambakan oleh Syekh Siti Jenar, yang
justru sekarang tumbuh dan berkembang di negara maju.
Ajaran pokok yang keempat: segala sesuatu di alam
semesta ini adalah satu dan hidup. Dalam salah satu pupuhnya disebutkan bahwa
bumi, angkasa, samudra, gunung dan seisinya, semua yang tumbuh di dunia, angin
yang tersebar di mana-mana, matahari dan rembulan, semuanya merupakan keadaan
hidup. Jadi, semua yang ada merupakan wujud kehidupan.
Menurut Syekh Siti Jenar yang dinamakan makhluk hidup
adalah kehidupan yang terperangkap dalam alam kematian. Zat mati tak akan dapat
menimbulkan kehidupan, sedangkan zat hidup tak akan tersentuh kematian. Tuhan
disebut zat yang mahahidup karena Dia eksis karena Diri-Nya sendiri. Kekuatan
hidup-Nya mengalir dalam alam kematian sehingga muncul sebagai makhluk hidup.
Sekarang bandingkan dengan tulisan-tulisan dari Barat dewasa ini, akan kita
temukan pernyataan mereka bahwa semuanya satu, semuanya hidup. Dengan demikian,
pandangan Syekh Siti Jenar luar biasa. Banyak pandangannya yang justru
bersesuaian dengan pandangan kaum teosofi maupun para spiritualis dari Barat.
Bila kita menyadari bahwa lingkungan kita adalah keadaan
yang hidup, maka tentu kita akan memperlakukan lingkungan kita dengan
sebaik-baiknya karena kita dan lingkungan kita sebenarnya satu dan sama-sama
sebagai keadaan yang hidup. Bila kita menyadari tentu kita akan berhati-hati
dalam memperlakukan lingkungan kita.
Ajaran pokok yang kelima: pemahaman
tentang ilmu sejati. Dikisahkan dalam Serat Siti Jenar yang ditulis oleh
Aryawijaya: Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta pribadi, pustining
pangèstinira, gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu dyatmika, nèng kahanan
eneng ening. Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta pribadi, maksud dan
tujuannya disatukan adanya, lahirnya ilmu unggul dalam keadaan sunyi dan
jernih.
Menurut Syekh Siti Jenar manusia haruslah kreatif karena
manusia telah diberi anugerah oleh Yang Mahakuasa untuk dapat
mengaktualisasikan ilmunya yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Jadi, ilmu
sejati bukanlah ilmu yang kita terima dari orang lain. Yang kita dapatkan
melalui indra, pengajaran dari orang lain, itu hanyalah refleksi ilmu. Dan,
ternyata sejak abad ke-20 pemahaman bahwa ilmu lahir dari kedalaman batin telah
menjadi pemahaman yang universal. Itulah sebabnya orang-orang Barat tekun dalam
melakukan perenungan dan pengkajian terhadap tanda-tanda di alam semesta.
Jadi, harus ada suasana kondusif bagi orang-orang yang
mendalami ilmu pengetahuan. Suasana kondusif bagi ilmuwan adalah iklim kerja
yang membuat ilmuwan tersebut dapat bekerja dengan tenang, nyaman, dan bebas
dari berbagai penyebab kekalutan dan kesulitan. Dan, tentunya hak-hak untuk
dapat menjadi ilmuwan sejati haruslah dipenuhi. Ingat, setiap orang telah
diberi potensi dan talenta yang disebut kodrat. Dan, bagi mereka yang memiliki
kodrat untuk menjadi ilmuwan harus disediakan iklim kerja yang kondusif sehingga
bisa menghasilkan hal-hal yang dibutuhkan manusia.
Ajaran pokok yang keenam: umumnya orang
hidup saling membohongi. Banyak hal yang sebenarnya kita sendiri tidak
tahu, tapi kita menyampaikannya juga kepada teman-teman kita. Hal ini banyak
sekali terjadi dalam ajaran agama. Banyak orang yang sekadar hafal dalil,
tetapi sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang dimaksud oleh dalil itu.
Akhirnya pemahaman yang keliru itu menyebar dan terbentuklah opini yang salah.
Masyarakat yang dipenuhi dengan pemahaman dan opini yang
salah sama dengan masyarakat yang dipenuhi sampah. Masyarakat demikian pasti
rawan terhadap serangan penyakit. Oleh karena itu, masyarakat harus dibebaskan
dari berbagai macam kebohongan. Masyarakat harus diajar dan dididik untuk
memahami segala sesuatu seperti apa adanya.
Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali
mengenal dirinya. Setiap orang harus dididik untuk menyadari perannya dalam
hidup ini. Para cerdik cendekia harus mengerti fungsinya di dunia.
Orang harus diajar untuk bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya. Agama
harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan alat untuk meraih kekuasaan. Oleh
karena itu, keimanan harus diajarkan dengan benar dan bukan sekadar diajarkan
sebagai kepercayaan. Iman harus diajarkan sebagai penghayatan, pengalaman, dan
pengamalan kebenaran.
Ayat-ayat kitab suci harus dipahami berdasarkan
kenyataan, dan tidak diindoktrinasikan serta diajarkan secara harfiah sesuai
dengan asal kitab suci tersebut. Agama harus diajarkan secara arif dan bisa
dibumikan, tidak terus menggantung di langit. Agama harus diterjemahkan dalam
bentuk yang dapat dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat penerimanya.
Ajaran pokok yang ketujuh: Nama Tuhan diberikan
oleh manusia. Lima ratus tahun yang lalu Syekh telah menyatakan
dengan tegas bahwa manusialah yang memberikan nama pada Tuhan. Oleh karena itu,
nama bagi Tuhan bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa yang
menamai-Nya. Dan, perlu diketahui bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak perlu
nama, karena Dia hanya satu adanya. Sesuatu diberi nama karena untuk membedakan
dengan sesuatu lainnya. Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah
sebut.
Bagi Syekh Siti Jenar, apapun sebutan yang diberikan
kepada-Nya haruslah sebutan yang terpuji, yang baik, yang pantas. Bahkan dalam
Alquran dinyatakan dengan tegas pada Q. 7:180 bahwa manusia diperintah untuk
memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-u l-husnâ. Dan, pada
Q.17:110 dinyatakan bahwa Dia dapat diseru dengan nama Allah, Ar Rahman, atau dengan
nama-nama baik-Nya yang lain.
Sungguh, sangat mengherankan bila di zaman sekarang ini
kita berebut nama Tuhan. Secara teoritis umat Islam dididik untuk meyakini
bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Tetapi, dalam kenyataannya sebagian orang Islam
(seperti yang terjadi di Malaysia) malah meminta orang yang
beragama lain untuk tidak menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada agama
lain tersebut. Inilah pemahaman yang salah! Kalau kita (yang Muslim) menolak
pemeluk agama lain menyebut Allah bagi Tuhannya, maka secara tak sadar kita
mengakui bahwa Tuhan itu lebih dari satu.
Sudah waktunya kita ajarkan ketuhanan dengan benar
sehingga kita tidak berebut tulang tanpa isi. Kita harus menyadari sepenuhnya
bahwa mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar itulah yang amat penting
dalam hidup ini. Bagi orangIndonesia , menghayati dan mengamalkan
nilai-nilai ketuhanan dengan benar merupakan penegakan Sila yang pertama.
Ajaran pokok yang kedelapan: raja agama
sesungguhnya raja penipu. Sebagaimana telah diterangkan bahwa agama adalah
jalan hidup. Oleh karena itu, agama harus diajarkan untuk menjadi jalan hidup,
sehingga pemeluk agama bisa hidup tenang, bahagia dan bersemangat dalam
menjalani hidup. Agama harus diajarkan untuk menjadi landasan moral dan
perilaku, sehingga agama benar-benar sebagai nilai luhur dan menjadi rahmat
bagi semesta alam.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena
itu agama islam diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa.
Untuk hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya
asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja
yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi
kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang
seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat
yang dikuasai oleh agama.
Jika di Eropa pada abad ke-19 orang-orang mulai
mempertanyakan peranan agama, dan bahkan ada yang memandang bahwa agama sebagai
candu bagi masyarakat dan harus disingkirkan dari gelanggang kehidupan
bernegara, maka empat ratus tahun sebelumnya Syekh Siti Jenar justru ingin
menerapkan agama sebagai penyegar dan pencerah bagi pemeluknya. Oleh karena
itu, agama diajarkan tanpa melibatkan kekuasaan negara. Di sinilah Syekh
bertabrakan dengan kepentingan Walisanga.
Syekh amat sadar bahwa di dunia ini penuh dengan tipu
daya. Hampir di semua negara pada waktu itu terjadi relasi keuasaan antara
raja/penguasa dengan para tokoh agama. Dengan kata lain, raja dan tokoh agama
berbagi kekuasaan. Yang dikuasai dan yang dijadikan pijakan hidup oleh raja dan
tokoh agama adalah rakyat. Inilah yang oleh Syekh disebut sebagai penipuan.
Oleh karena itu, sudah waktunya agar agama benar-benar menjadi milik masyarakat,
dan negara tidak mengurusi agama. Yang diurusi oleh negara adalah tegaknya
hukum positif, perlindungan bagi setiap orang tanpa memandang agama dan
kepercayaannya. Yang diurusi oleh negara adalah kemakmuran, kesejahteraan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Ajaran pokok yang kesembilan: segala sesuatu di alam
semesta adalah Wajah-Nya. Inilah ajaran puncak dari Syekh Siti Jenar.
Dunia adalah manifestasi wujud yang satu, dan hakikat keberadaan bukanlah
dualitas. Sehingga, kemana pun kita hadapkan diri kita, maka sesungguhnya kita
senantiasa menghadap Wajah-Nya. Semua adalah penampakan Wajah-Nya. Sekarang
marilah kita cicipi dua bait puisi dari Syekh Siti Jenar.
Bersanggama dalam keberadaan
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
Lahir batin keberadaan sukma
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
Jadi, pada puncak perenungan dan keheningan diri
terjadilah penegasian eksistensi diri yang terkurung raga. Ditegaskan bahwa
kehambaan telah lenyap, sudah hilang. Bila kehambaan masih tetap eksis maka di
alam semesta ini masih berada dalam keadaan dualitas. Keadaan inilah yang
menyebabkan orang terpisah dengan Tuhannya, meskipun secara konseptual
diketahui bahwa Sang Pencipta lebih dekat daripada urat lehernya. Akan tetapi,
selama keadaan dualitas belum sirna maka secara faktual Tuhan masih jauh
daripada urat lehernya, karena Tuhan dianggap berada di luar dirinya.
Ada dualitas artinya kita mengakui ada dua
keberadaan, yaitu ada yang inferior (keberadaan yang kualitasnya lebih rendah)
dan ada yang superior (keberadaan yang kualitasnya lebih tinggi). Jika
demikian, kedua jenis keberadaan itu tumbuh melalui proses. Semua yang tumbuh
melaui suatu proses, bukanlah keberadaan yang kekal. Dan, bilamana tiada
keberadaan yang kekal, maka tak mungkin ada fenomena atau penampakan di alam
semesta.
Kita hidup di dunia ini karena kita kanggonan (didiami)
urip (hidup) yang diberikan oleh Tuhan. Namun, badan jasmani ini hanyalah
fenomena yang terikat oleh ruang, waktu, situasi psikologis. Hakikatnya badan
jasmani ini tidak ada karena badan jasmani ini seperti gambar yang menumpang di
layar perak atau layar kaca. Kalau layar digulung atau dimatikan ya lenyaplah
fenomena tersebut. Jadi, memang benar bahwa dunia ini panggung sandiwara, dan
kita adalah pemain-pemain sandiwara. Oleh karena itu, kita harus dapat
memainkan peran kita masing dengan baik.
Lalu, apa sasaran utama pelenyapan dualitas? Sasaran
pokoknya adalah menumbuhkan kesadaran akan ke-Satu-an, Oneness, dalam kehidupan
ini, baik kehidupan kita sebagai individu maupun secara kolektif. Dengan
lenyapnya perasaan dualitas dalam hidup ini, maka jarak antara kawula dan Gusti
akan hilang. Akan lahir individu-individu yang menjadi dirinya sendiri, dan
dalam kehidupan sosial akan tercipta interaksi antar warganya secara tim,
sehingga semua akan memenuhi fungsinya masing-masing dalam kehidupan. Sekat
antara pemimpin dan yang dipimpin akan hilang, dinding penyekat antara raja dan
rakyatnya akan runtuh. Bila ini sudah terjadi, maka tak akan ada lagi
eksploitasi terhadap sesama manusia.
Pelenyapan sekat antara kawula (hamba, rakyat, atau
bawahan) dan Gusti (raja, pemimpin, atau atasan) akan melahirkan satu
keberadaan yang disebut Manunggaling Kawula Gusti. Keberadaan MKG ini akan
menggugurkan kehidupan yang berkasta dan merontokkan feodalisme. Relasi sesama
manusia berupa simbiose mutualisme, yaitu hubungan yang saling menguntungkan.
Sesama manusia hidup dalam suasana liberte, egalite dan fraternite, yaitu hidup
dalam kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan antara sesama manusia di dunia
ini. Dari sinilah Syekh membangun hubungan warga dengan wadah yang disebut
masyarakat, yang tidak dijumpai di Timur Tengah pada waktu itu.
Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari
unsur-unsur kata Arab, yaitu dari syarika yang artinya menjadi sekutu; dan
masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu. Jadi, setiap anggota masyarakat
itu seperti sel-sel tubuh yang independen, namun selalu berinteraksi sesuai
dengan peran dan fungsinya masing-masing. Setiap anggota masyarakat mengetahui
tugasnya. Terciptalah jalinan kasih. Inilah surga yang sesungguhnya yang harus
diwujudkan di dunia ini. Dengan demikian, konsep MKG sebenarnya untuk
menciptakan kehidupan bersama dalam mencapai kejayaan!
Oleh: Ir. Achmad Chodjim, MM
http://gantharwa.org/sembilan-pokok-ajaran-syekh-siti-jenar/
http://gantharwa.org/sembilan-pokok-ajaran-syekh-siti-jenar/
Jakarta, 21 Mei 2009 Kediaman Bpk. Achmad Chodjim, materi
ini juga di sampaikan di Hotel Indonesia Kempinski-Grand Indonesia, 19 Mei 2009
* Ir. Achmad Chodjim MM, adalah penulis buku “Syekh Siti
jenar: Makna Kematian (jilid 1)”, “Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna
Kehidupan (jilid 2)” dan “Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga”.
Komentar
Posting Komentar