Orang yang tidak beriman seolah kekurangan energi. Bukan
energi yang anda peroleh dari matahari, makanan dan minuman, TETAPI ENERGI
DASAR YANG MENGHIDUPI JIWA ANDA. Bukan tenaga dalam yang bisa dikembangkan
lewat latihan-latihan tertentu, TETAPI TENAGA ALAM YANG SESUNGGUHNYA MENGALIR
TERUS-MENERUS. Hanya saja cawan iman kita terbalik atau bocor, sehingga tidak
terisi. Kembalikan cawan iman pada posisi semula. PERBAIKILAH KEBOCORAN JIWA,
MAKA ANDA PUN “TERISI” SEKETIKA.
Dalam keadaan kosong, jiwa kita akan berupaya untuk
menarik energi dari apa saja, dari siapa saja. Seorang “guru besar” mengajarkan
cara untuk menarik energi dari pohon, dari gunung, dari benda-benda alam
lainnya. Ini menunjukkan bahwa sang guru sendiri belum cukup percaya diri.
Kendati menggunakan “bahasa agama” dan kepercayaan, sesungguhnya orang semacam
itu adalah Naastik (ia yang tidak percaya) seorang Be-Iman (dalam istilah
bahasa Parsi, Urdu, dan Sindhi).
Bergaul dengan dia selama dua-tiga minggu saja, anda akan
ketularan penyakitnya. Ke-asta-an anda, ke-iman-an anda akan merosot.
Makin lama makin parah, SEHINGGA ANDA AKAN SELALU TERLIBAT DALAM PERMAINAN
TARIK-MENARIK ENERGI.
Nasihat Narada untuk menghindari para Naastik, para
Be-Iman bukan karena benci. Kita tidak perlu membenci mereka. Orang sakit koq
dibenci? Yang perlu bagi anda adalah menjaga dirimu, agar tidak ketularan
penyakitnya.
(Dari
buku: Narada Bhakti Sutra “Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak
Terbatas” Oleh: Anand Krishna. Halaman 250—251. Penerbit: PT Gramedia
Pustaka Utama).
***
Tuhan adalah Kasih. Bahan baku yang digunakan-Nya untuk
menciptakan alam semesta adalah Energi Kasih. Anda dan dia dan saya – kita
semua – adalah perwujudan atau ekspresi Kasih Allah. And yet, we do not realize
it. Kita tidak menyadari hal ini. Kenapa? Karena, ada jarak antara diri kita
dan Tuhan. Ada jurang yang “memisahkan” kita. Dan “ketidaksadaran” itulah
jurang pemisah. Jembatani jurang ini dengan kesadaran, dengan keyakinan.
Dengarkan seruan Narada:
“Terimalah undangannya. Kerajaan Allah menantimu”
* Dari buku yang sama, halaman 143
Komentar
Posting Komentar