Pada tahun 1922, dalam
usia 27 tahun, ia mengalami proses Pencerahan yang berlangsung selama 3 hari,
di mana ia mengalami kesadaran yang berubah. Dan pada akhir proses Pencerahan
itu ia menyatakan: “Aku sangat berbahagia karena aku telah melihat. Tak ada
yang akan kembali seperti dulu lagi. Aku telah minum air yang jernih dan murni
dari sumber mata air kehidupan, dan dahagaku telah terpuaskan. Tak akan pernah
lagi aku berada dalam kegelapan; aku telah melihat Cahaya itu. … Aku telah
menyentuh Welas Asih yang menyembuhkan segenap kesedihan dan penderitaan; itu
bukan untukku sendiri, melainkan untuk dunia. Sumber Kebenaran telah terbuka
bagiku dan kegelapan telah lenyap. Cinta dalam seluruh kemegahannya telah
memabukkan hatiku; hatiku tak akan pernah tertutup lagi. Aku telah minum dari
pancuran Sukacita dan Keindahan Abadi. ” Ia menggambarkan dirinya “mabuk
Illahi”.
Ia mengemukakan bahwa
kebenaran tidak dapat ditemukan melalui suatu sekte, tetapi hanya dengan jalan
membebaskan diri dari segala bentuk keterikatan. “Anda dapat membentuk
organisasi-organisasi lain dan mengharapkan orang lain”, katanya “Tentang hal
itu saya tidak menaruh perhatian, juga tidak untuk menciptakan
kurungan-kurungan baru. Perhatian saya satu-satunya adalah untuk membebaskan
umat manusia secara tanpa syarat.”
“Apa yang dikatakan pembicara sangat tidak penting. Yang benar-benar penting ialah bahwa batin sadar tanpa upaya bahwa ia berada dalam keadaan paham sepanjang waktu. Jika kita tidak paham dan sekadar mendengar kata-kata, mau tidak mau kita pergi dengan serangkaian konsep atau gagasan, dan dengan demikian menciptakan suatu pola, yang kepadanya kita lalu mencoba menyesuaikan diri dalam kehidupan kita sehari-hari atau dalam apa yang dinamakan kehidupan spiritual kita.”
“Apa yang dikatakan pembicara sangat tidak penting. Yang benar-benar penting ialah bahwa batin sadar tanpa upaya bahwa ia berada dalam keadaan paham sepanjang waktu. Jika kita tidak paham dan sekadar mendengar kata-kata, mau tidak mau kita pergi dengan serangkaian konsep atau gagasan, dan dengan demikian menciptakan suatu pola, yang kepadanya kita lalu mencoba menyesuaikan diri dalam kehidupan kita sehari-hari atau dalam apa yang dinamakan kehidupan spiritual kita.”
Dalam sebuah tulisan singkat pada tahun 1980, ia menguraikan intisari ajarannya, yang disebutnya The Core of the Teachings :
‘Kebenaran adalah negeri tanpa jalan’. Manusia tidak
bisa sampai ke situ melalui organisasi apa pun, melalui kepercayaan apa pun,
melalui dogma, pendeta atau ritual apa pun, tidak pula melalui pengetahuan
filosofis atau teknik psikologis. Ia harus menemukannya melalui cermin
relasi, melalui pemahaman akan isi batinnya sendiri, melalui pengamatan dan
bukan melalui analisis intelektual atau pembedahan introspektif. Manusia
telah membangun di dalam dirinya citra-citra [images] sebagai pagar
keamanan—religius, politis dan pribadi. Ini terwujud sebagai simbol, ide dan
kepercayaan. Beban citra-citra ini mendominasi pemikiran, relasi dan
kehidupan sehari-hari manusia. Citra-citra inilah penyebab dari
masalah-masalah kita, oleh karena mereka memisahkan manusia dari manusia.
Persepsinya mengenai kehidupan dibentuk oleh konsep-konsep yang telah
tertanam dalam batinnya. Isi kesadarannya adalah seluruh eksistensinya. Isi
ini sama bagi seluruh kemanusiaan. Individualitas adalah nama, wujud dan
budaya superfisial yang diperolehnya dari tradisi dan lingkungan. Keunikan
manusia bukan terletak pada yang superfisial, melainkan pada kebebasan
sepenuhnya dari isi kesadarannya, yang sama bagi seluruh umat manusia. Jadi
ia bukanlah individu.”
“Kebebasan bukanlah reaksi, kebebasan bukanlah pilihan.
Hanyalah anggapan manusia saja yang merasa bebas karena ia mempunyai pilihan.
Kebebasan adalah pengamatan murni tanpa arah, tanpa takut akan hukuman dan
ganjaran. Kebebasan adalah tanpa motif; kebebasan bukan terletak pada akhir
evolusi manusia, melainkan pada langkah pertama dari eksistensinya. Dalam
pengamatan orang mulai menemukan tidak adanya kebebasan. Kebebasan ditemukan
dalam kesadaran tanpa-memilih akan eksistensi dan kegiatan kita sehari-hari.”
“Pikiran adalah waktu. Pikiran lahir dari
pengalaman dan pengetahuan, yang tidak terpisah dari waktu dan masa lampau.
Waktu adalah musuh psikologis manusia. Tindakan kita didasarkan pada
pengetahuan dan dengan demikian pada waktu, sehingga manusia selalu menjadi
budak masa lampau. Pikiran selalu terbatas dan dengan demikian kita hidup
dalam konflik dan pergulatan terus-menerus. Tidak ada evolusi psikologis.”
“Bila manusia sadar akan gerak pikirannya sendiri, ia
akan melihat pemisahan antara si pemikir dan pikirannya, antara si pengamat
dan yang diamati, antara yang mengalami dan yang dialami. Ia akan menemukan
bahwa pemisahan ini ilusi. Maka hanya di situlah terdapat pengamatan murni,
yang adalah pencerahan tanpa secercah bayangan dari masa lampau atau dari
waktu. Pencerahan tanpa-waktu [timeless] ini menghasilkan perubahan mendalam
dan radikal dalam batin.”
“Negasi total adalah esensi dari yang positif. Bila
terdapat negasi dari semua hal yang telah dibuat oleh pikiran secara
psikologis, maka hanya di situlah terdapat cinta, yakni welas asih
[compassion] dan kecerdasan.”
“Apakah mungkin, batin yang telah begitu terkondisi,
dengan setiap pikiran yang telah begitu terbentuk dan terpola oleh begitu
banyak pengaruh, dapat muncul secara total, tidak menyimpang, tanpa noda, dan
bebas sepenuhnya? Karena hanya batin semacam inilah, yakni batin yang belum
dirusak, bukannya batin yang telah dibentuk dan dipola oleh lingkungan dengan
berbagai jenis pengaruhnya, yang mampu berjalan jauh dalam menemukan
Kebenaran, yang mampu menemukan apakah ada realitas yang berada di luar
jangkauan pikiran.Hanya pada saat inilah batin tidak lagi terpengaruh;
benar-benar jernih. Hanya batin jernih semacam inilah yang dapat terbebas
dari belenggu ruang dan waktu. Dan hanya pada saat inilah Yang Tidak Terukur
dan Maha Tersembunyi itu dapat maujud”
“Kita tidak dapat belajar tentang diri sendiri kecuali
kalau kita bebas, bebas sehingga kita dapat mengamati, bukan menurut pola,
rumus atau konsep apapun, melainkan dengan sungguh-sungguh mengamati
diri sendiri seperti apa adanya.”
“Apabila terdapat rasa-takut maka disitu tidak ada
cinta kasih”.
Terdapat rasa-takut badaniah dan rasa-takut psikologis. Rasa-takut badaniah akan kesakitan dan rasa-takut psikologis sebagai ingatan dari penderitaan kesakitan dimasa lalu, dan pemikiran tentang pengulangan dari rasa-sakit itu dimasa depan; juga, rasa takut akan usia tua, kematian, rasa-takut akan ketidak-amanan badaniah, rasa-takut akan ketidaktentuan hari esok, rasa-takut akan ketidakmampuan memperoleh sukses besar, ketidakmampuan untuk mencapai — akan tidak menjadi seseorang penting dalam dunia yang agak buruk ini; rasa-takut akan kehancuran, rasa-takut akan kesepian, ketidak mampuan untuk mencinta atau dicinta, dan selanjutnya; rasa-takut dari batin-sadar maupun rasa-takut dari bawah-sadar. Dapatkah batin bebas, secara total, dari semua ini? Jika batin berkata tidak dapat, ia telah membuat diri sendiri tidak mampu, ia telah menghalangi diri sendiri dan tidak mampu melihat dengan terang, tidak mampu mengerti; tidak mampu untuk diam dan hening secara sempurna; ia adalah seperti suatu batin didalam kegelapan, mencari-cari cahaya dan tidak pernah menemukan itu, dan karena itu lalu menciptakan suatu “cahaya” dari kata-kata, konsep-konsep, teori-teori.
“Sahabat, jangan hiraukan siapa aku; engkau tak akan
pernah tahu.
Aku tak mau engkau menerima apa saja yang kukatakan. Aku tak membutuhkan apa-apa dari siapa pun; aku tak menginginkan popularitas; aku tak membutuhkan sanjunganmu, atau engkau mengikutiku. Oleh karena aku mencintai kehidupan, aku tak membutuhkan apa-apa. Masalah-masalah ini tidak terlalu penting; yang penting adalah fakta bahwa engkau menaati dan membiarkan pertimbanganmu dikotori oleh otoritas. Pertimbanganmu, batinmu, kasih sayangmu, kehidupanmu dikotori oleh hal-hal yang tak punya arti, dan di situ terdapat kesedihan.” |
Komentar
Posting Komentar