“Hendaklah engkau bekerja tanpa melihat pekerjaan itu!
Hendaklah engkau bersedekah tanpa memandang sedekah itu!
Hendaklah engkau bersedekah tanpa memandang sedekah itu!
Engkau melihat kepada amal perbuatanmu, walau baik
sekalipun, tak layak bagi-Ku untuk memandangnya. Maka janganlah engkau masuk
kepada-Ku besertanya!
Sesungguhnya, jika engkau mendatangi-Ku berbekal amal
perbuatanmu, maka akan Aku sambut dengan penagihan dan perhitungan. Jika engkau
mendatangi-Ku berbekal ilmu, maka akan Aku sambut dengan tuntutan! Dan jika
engkau mendatangi-Ku dengan ma’rifat, maka sambutan-Ku adalah hujjah, padahal
hujjah-Ku pastilah tak terkalahkan.
Hendaklah engkau singkirkan ikhtiar (ikut mengatur dan
menentukan kehendak-Nya untuk dirimu—red), pasti akan aku singkirkan darimu
tuntutan. Hendaklah engkau tanggalkan ilmumu, amalmu, ma’rifat-mu, sifatmu dan
asma (nama) mu dan segala yang ada (ketika mendatangi-Ku), supaya engkau
bertemu dengan Aku seorang diri.
Bila engkau menemui-Ku, dan masih ada diantara Aku dan
engkau salah satu dari hal-hal itu, —padahal Aku-lah yang menciptakan semua
itu, dan telah Aku singkirkan semua itu darimu karena cinta-Ku untuk mendekat
kepadamu, sehingga janganlah membawa semua itu ketika mendatangi-Ku, jika
masih saja engkau demikian, maka tiada lagi kebaikanmu yang tersisa.
(Dari kitab ‘Al-Mawaqif wal Mukhtabat’, Imam An-Nifari)
Sebuah
kisah sufi mengakhiri pembahasan tentang ketidakberartian wujud manusia ini.
Alkisah, seorang sufi sampai dalam perjalanan ruhaniahnya
di depan pintu surga Allah Swt. Dengan penuh kerinduan, ia mengetuk gerbang
yang megah itu dengan keras. Dari dalam terdengar suara, “Man Hunaka? Siapakah
gerangan di sana?” ia menjawab, “Ana.” Pintu surga tak bergeming. Sufi itu
malah ditolak dengan keras hingga jatuh ke alam yang lebih rendah.
Bertahun-tahun lamanya, ia kembali meniti jalan kesucian.
Hingga sampailah ia kembali di depan pintu yang sama. Dengan kerinduan yang
lebih besar, ia mengetuk gerbang itu lebih keras. Dari dalam terdengar suara,
“Man Hunaka? Siapakah gerangan di sana?” Ia menjawab, “Ana.” Lagi-lagi ia
dihentak dengan keras, dan terjerembab kembali ke alam yang lebih rendah.
Ia merenung dan merenung. Hingga ia temukan jawabannya.
Setelah kembali meniti jalan kesucian, sampailah ia di depan pintu yang sama.
Kini kerinduannya semakin menggelora, dan ketika suara dari dalam itu bertanya,
“Siapakah gerangan di sana? Dengan yakin ia menjawab, “Anta.” Maka pintu surga
pun terbuka.
******
Wanita dalam sakratulmaut menghadapi ajalnya. Ia
tiba-tiba merasa, bahwa ia dibawa ke surga dan berdiri di muka Takhta Pengadilan.
“Siapa engkau itu?” kata suara kepadanya. “Aku ini istri lurah,” jawabnya. “Aku tidak bertanya kepadamu, engkau istri siapa, tetapi engkau itu siapa?” “Aku ini ibu empat orang anak.” “Aku tidak bertanya, engkau ibunya siapa, tetapi siapa engkau itu?” “Aku ini guru di sekolah.” “Aku tidak menanyakan pekerjaanmu, tetapi siapa engkau itu?.”
Dan demikianlah seterusnya. Tidak peduli apa yang menjadi jawabannya, rupanya itu bukan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan: “Engkau itu siapa?”
“Aku ini seorang yang menganut salah satu agama.” “Aku
tidak menanyakan agamamu,
tetapi engkau itu siapa?” “Aku ini seseorang, yang tiap hari pergi ke rumah ibadah dan selalu membantu orang miskin dan orang dalam kesulitan.” “Aku tidak menanyakan perbuatanmu, tetapi siapa engkau itu?”.
tetapi engkau itu siapa?” “Aku ini seseorang, yang tiap hari pergi ke rumah ibadah dan selalu membantu orang miskin dan orang dalam kesulitan.” “Aku tidak menanyakan perbuatanmu, tetapi siapa engkau itu?”.
Ia jelas gagal dalam ujian, oleh karena itu ia dikirim kembali ke dunia. Ketika sembuh dari sakitnya ia berniat menemukan siapa dia. Dan itulah yang membuat segalanya berbeda sama sekali.
Tugasmu itu berada. Tidak menjadi seseorang atau bukan apa-apa – sebab disitu ada keserakahan dan ambisi – tidak menjadi ini dan itu; – dengan demikian menjadi bersyarat – tetapi hanya ada saja.
(DOA SANG KATAK 1, Anthony de Mello SJ)
***
(DOA SANG KATAK 1, Anthony de Mello SJ)
***
Seorang Sufi tidak memikirkan tentang bagaimana alam
semesta ini, tapi menjadi alam semesta. Sufi bukan tentang memikirkan, juga
bukan tentang melakukan sesuatu terhadap alam semesta ini. Sufi bukanlah
tentang berfikir maupun tentang bertindak. Sufi adalah yang ada, menjadi ada.
(menyadari ke-ada-an, menjadi sadar bahwa kita ada, – being). Dan saat ini,
tanpa usaha apapun, engkau dapat menjadi Sufi. Jika engkau berhenti berfikir,
dan engkau membuang ide tentang melakukan sesuatu, jika engkau membuang ide
sebagai si pemikir (sesuatu yang berpikir) dan ide tentang si pelaku (sesuatu
yang bertindak), jika engkau cukup menjadi ada, seketika itu engkau adalah
Sufi. ( Kriya Yoga Nusantara https://kriyayoganusantara.wordpress.com/…/metode-pemurnia…/ )
Komentar
Posting Komentar