Dengan (menghindari keramaian dan) menyepi (di dalam keheningan diri) tidak lagi terikat dengan (kenikmatan) tiga dunia dia terbebaskan dari pengaruh sifat-sifat dasar manusiawi. Dan (terbebaskan pula) dari keinginan untuk memiliki atau mempertahankan sesuatu..
Untuk menyepi di dalam keheningan diri, kita tidak perlu
menghindari keramaian Jalan Thamrin atau Jalan Sudirman. Yang harus dihindari
adalah “KERAMAIAN PIKIRAN”. Dan “KERAMAIAN PIKIRAN” belum tentu
terhindari, meski kita menyepi di lereng Gunung Lawu.
Tiba-tiba… Ting, iting, ding, dong, la, la, la….. Semua lonceng berbunyi.
Saya bertemu dengan sekian banyak orang yang mengaku
“rajin” meditasi di lereng-lereng gunung. Ada yang bermeditasi untuk memperoleh
kekuatan. Ada yang menginginkan rezeki, jodoh dan sebagainya.
Itu sebabnya, Narada harus mempertegas apa maksud dia
dengan “menyepi”. Bila anda menyepi untuk tujuan-tujuan tertentu, jelas anda
sedang mengejar keramaian dan keributan. Anda belum menyepi, belum bermeditasi.
Seorang meditator adalah seorang pecinta. CINTA TANPA
SYARAT, TAK TERBATAS. Dia seorang pengasih. Kasih sejati, kasih Ilahi.
Kenikmatan tiga dunia pun sudah tidak bisa mengikat dirinya.
Apa pula yang dimaksud dengan tiga dunia? Dalam tradisi
India kuno, alam semesta di bagi dalam 3 bagian utama. Bhu atau
bumi. Bhuvah atau alam dibawah tanah. Svaha atau alam
diatas bumi, diluar bumi. Tiga bagian utama itu kemudian dibagi lagi dalam
sekian sub-bagian.
Tiga Loka atau tiga dunia, tiga alam, bisa juga
diterjemahkan sebagai tiga masa—masa lalu, masa kini dan masa depan. Seorang
meditator, seorang pecinta, tidak terikat dengan kenikmatan tiga dunia. Dia
tidak mencintai karena ingin masuk Surga atau karena ingin jiwanya
diselamatkan. Dia mencintai karena cinta itu sendiri. Dia tidak perlu diberi
iming-iming Surga dimana dirinya akan dilayani oleh bidadari-bidadari cantik.
Dia tidak tertarik dengan sungai-sungai susu, madu dan arak yang mengalir
disana.
Seorang peserta meditasi pernah ditakut-takuti oleh
seorang rohaniwan, “Sekarang sih tak apa. Mau belajar meditasi, yoga, tao,
sufi, silahkan. Di sana nanti, baru tau rasa. Tidak dapat tempat. Kalian-kalian
ini akan berada diluar pintu sampai hari kiamat.”
Seorang pecinta tak akan terpengaruh oleh intimidasi
semacam itu. Dia juga tidak terpengaruh oleh “apa kata Anand Krishna”. Anand
Krishna tidak memberi harapan. Anand Krishna mengajak anda untuk mengalami
sesuatu yang indah—SAAT INI JUGA, SEKARANG dan DI SINI. Dan anda tidak perlu
mempercayai Anand Krishna untuk sesuatu YANG ANDA ALAMI SENDIRI.
Yakinilah pengalaman diri. Pengalaman yang tak
terungkapkan dan tak terjelaskan; juga tidak dapat dipertahankan, sehingga anda
harus memperbaharuinya setiap hari—setiap menit, setiap detik. Dan untuk
memperbaharui pengalaman itu, anda tidak membutuhkan siapa-siapa. Anda harus
mengerjakannya sendiri. Keberhasilan anda memperbaharui pengalaman itu,
sepenuhnya tergantung pada upaya diri.
Yakinilah kemampuan diri. Percayailah potensi diri untuk
MENCINTAI TANPA SYARAT, TANPA BATAS. Dalam ketidakterbatasan itu, kita bertatap
muka dengan Allah. Jiwa kita terjamah oleh Kasih-Nya.
“Dengan (menghindari keramaian, dan) menyepi (di dalam
keheningan diri); tidak lagi terikat dengan (kenikmatan) tiga dunia, dia
terbebaskan dari pengaruh sifat-sifat dasar manusiawi. Dan (terbebaskan pula)
dari keinginan untuk memiliki atau mempertahankan sesuatu.”
Tidak terikat dengan kenikmatan tiga dunia berarti hidup
tanpa harapan, tanpa rasa khawatir. Sesungguhnya yang menikmati itu siapa? Yang
berharap itu siapa? Yang merasa khawatir itu siapa? Adakah kenikmatan yang
bersifat universal? Adakah harapan dan rasa khawatir yang bersifat universal
pula?
Apa yang kita nikmati, belum tentu dinikmati orang lain.
Apa yang kita harapkan dan khawatirkan, belum tentu menjadi harapan dan
kekhawatiran saudara kandung kita. Kenikmatan, kekhawatiran, dan harapan berasal
dari mind. Lain mind, lain pula referensi tentang kenikmatan, kekhawatiran dan
harapannya.
Mengikuti trend zaman, seorang “pencari” meninggalkan
kenyamanan rumah dan keluarga, untuk hidup di sebuah pertapaan. Dia pikir,
dengan hidup disana, dirinya akan terbebaskan dari kebisingan mind.
“Boleh saja,” kata ketua pertapaan itu, “asal kamu lulus
tes masuk.”
Si pencari sudah siap mental untuk segala macam tes,
“Saya siap, Pak.”
“Begini….. Tes pertama, kamu harus bisa hidup dengan
makan sekali setiap hari.”
“Oh, itu gampang Pak. Saya memang hanya makan sekali
setiap hari.”
“That’s good, that’s good. Satu lagi, apakah kamu bisa
hidup tanpa televisi, musik dan hiburan-hiburan lain?”
“Bisa, Pak. Itu mudah. Saya memang tidak suka musik. Apa
lagi televisi—itu kan alat ciptaan Setan untuk menggoda manusia.”
“Betul, betul sekali. Televisi, telepon dan alat-alat
lain itu memang ciptaan Setan. Terakhir, bisakah kamu hidup tanpa wanita?”
Sang pencari diam sejenak lalu menjawab, “Selama enam
bulan terakhir, memang sudah hidup tanpa wanita. Mantan istri saya adalah
seorang pecandu serial tivi. Maka saya ceraikan dia.”
“Bagus sekali. Wanita-wanita itu memang berjiwa lemah.
Dirayu sedikit, langsung tergoda. Setan menggoda manusia lewat siaran televisi.
Tetapi, untuk tes masuk yang ketiga ini, kamu harus membuktikannya terlebih
dahulu.”
Si pencari bertanya, “Membuktikan dengan cara apa, Pak?”
“Gampang sekali. Burungmu akan digantungi sebuah lonceng
kecil. Melihat sepuluh wanita cantik dalam keadaan telanjang bulat, tanpa busana,
coba kita lihat, lonceng itu berbunyi atau tidak. Bila berbunyi, kamu gagal.
Bila tidak, kamu berhasil.”
Si pencari pusing, “Wah, berat sekali ya….. Tapi tak apa,
saya bersedia mencobanya.”
“Baik, Bung, kami menghargai semangatmu. Jangan menyerah.
Setan harus ditaklukkan” kata ketua pertapaan sembari menepuk bahu sang
“pencari”.
Maka dimulailah tes terakhir… Si pencari berdiri
tegak lurus, siap di uji. Dalam keadaan telanjang bulat. Lonceng sudah
dipasang. Satu, dua—ting, iting, ting, iting… Baru dua wanita memasuki ruangan
itu, dan lonceng si pencari sudah mulai berbunyi.
“Gagal, gagal, gagal….. kamu gagal. Pertapaan ini tidak
bisa menerimamu.”
“Tes ini sungguh sulit. Tidak bisa diringankan sedikit?”
“Diringankan bagaimana? Kamu ingin kami berkompromi
dengan Setan? Tidak, tidak mungkin. Tempat ini bukanlah untuk kamu. Kamu
dengar—bunyi loncengmu belum berhenti juga. Dengarkan dengan baik, itulah
panggilan Setan.”
Sang calon kesal juga. “Baik-baik—saya sedang
mendengarkan panggilannya, tetapi bagaimana dengan yang lain-lain? Aku tidak
percaya kalau setiap orang di pertapaan ini telah lulus tes?”
“Nah, itu….. ketidakpercayaanmu itu karena bisikan Setan
pula” kata boss pertapaan.
“Berarti mereka ini juga pernah menjalani tes lonceng?”
sang calon masih sulit percaya.
“Ya, ya….. Tes lonceng. Semua, semua telah
menjalaninya” dengan mengulangi kata “semua”, sang ketua seolah ingin
meyakinkan bahwa dirinya pun pernah menjalaninya.
Si pencari menantang, “Apa buktinya, Pak?”
“Bukti apa yang kamu inginkan? Di balik tantanganmu itu
aku mendengar suara Setan. Dan kami disini siap melawannya.”
Calon pertapa sudah kesal. Sedikit-sedikit dituduh anak
Setan, calo Setan. “Ini masalah kimia badan dan reaksi biologis. Kalau begitu,
badan manusia dan ilmu biologi pun berasal dari Setan.” Pikir dia. Tetapi tidak
berani mengungkapkannya. Pada saat yang sama, karena sudah yakin tak akan
diterima, dia menantang kembali, “Ya sudah….. Begini saja, kalau memang bisa
dibuktikan….. Saya ingin melihat sepuluh anggota pertapaan ini menjalani
tes ulang.”
“Baik, baik, setiap tantangan dari Setan akan kita
terima.”
Sepuluh pertapa diberi perintah untuk melepaskan jubah
mereka. Kemudian celana kolor…. Dan… digantungi lonceng.
All set? On your mark….. dan tes dimulai! Wanita pertama
memasuki ruangan itu. Lonceng-lonceng para pertapa tidak berbunyi. Lonceng si
calon bunyi kembali. Wanita kedua, yang lain masih tetap tidak bunyi. Sementara
lonceng si calon bunyi lebih keras. Ting, iting, ting, iting, ting, iting…..
Si calon merasa malu. Tetapi apa boleh buat? Yang
menantangpun dia. Wanita ketiga, keempat, …. Kesembilan… Lonceng para pertapa
masih bertapa. Sementara lonceng si calon sudah mulai bermeditasi dinamis.
Ting, iting, ding, dong, la, la, la….. Begitu keras bunyi loncengnya… sehingga
jatuh.
Si calon malu…. Cepat-cepat dia membungkuk kedepan untuk
memungut loncengnya. Dia lupa bahwa dengan membungkuk demikian, dia memantati
para pertapa yang sedang menjalani tes…..
Tiba-tiba… Ting, iting, ding, dong, la, la, la….. Semua lonceng berbunyi.
What happened?
Ada lonceng yang berbunyi karena melihat bagian depan
tubuh wanita. Ada lonceng yang berbunyi karena melihat bagian belakang pria.
Apa bedanya? Yang pertama disebut godaan Setan, lalu yang kedua apa?
Bagian depan wanita dan bagian belakang pria hanyalah
pemicu. Yang terpicu ada di dalam diri—mind. Dan selama mind masih eksis, masih
utuh, lonceng akan bunyi terus.
“Dengan (menghindari keramaian, dan) menyepi (di dalam
keheningan diri); tidak lagi terikat dengan (kenikmatan) tiga dunia, dia
terbebaskan dari pengaruh sifat-sifat dasar manusiawi. Dan (terbebaskan pula)
dari keinginan untuk memiliki atau mempertahankan sesuatu.”
Bunyi lonceng disebabkan oleh sifat-sifat dasar
manusia. Mau bebas dari bunyi lonceng, bebaskan dirimu dari sifat-sifat dasar
itu. Kebebasan tidak dapat diperoleh dengan berpindah tempat. Anda boleh berada
di tengah keramaian, di tengah sepuluh wanita atau pria telanjang, lonceng tak
akan bunyi bila anda sudah bebas dari sifat-sifat dasar itu. Sebaliknya,
seorang pertapa pun akan tetap mendengar bunyi lonceng, bila dia belum bebas.
Kemudian, dia hanya beralih dari satu pemicu kepada pemicu yang lain.
Yang menuntut kenikmatan indra adalah mind. Keinginan,
keterikatan dan apa yang kita anggap cinta selama ini, semua adalah expressions
of mind, ungkapan-ungkapan mind. Sifat-sifat dasar manusia juga berkaitan erat
dengan mind. Sifat tenang, sifat aktif dan sifat malas sebagaimana pernah kita
ulas dalam Bhagavad Gita bagi Orang Modern, lahir dari rahim mind. Melampaui
ketiga sifat itu berarti melampaui mind. Atau sebaliknya, melampaui mind
berarti melampaui ketiga sifat dasar itu.
Sutra ini harus dibaca ulang beberapa kali:
“Dengan (menghindari keramaian, dan) menyepi (di dalam
keheningan diri); tidak lagi terikat dengan (kenikmatan) tiga dunia, dia
terbebaskan dari pengaruh sifat-sifat dasar manusiawi. Dan (terbebaskan pula)
dari keinginan untuk memiliki atau mempertahankan sesuatu.”
Bebas dari keinginan untuk memiliki relatif mudah. Enough
is enough: “Saya sudah punya tabungan, beberapa rumah, kendaraan, anak-anak
sudah besar dan sudah berkeluarga.” Dan kita bisa terbebaskan dari keinginan
untuk memiliki sesuatu.
But what happens, apa yang terjadi bila tabungan saya
ciut karena nilai tukar rupiah dengan dollar merosot terus? Apa yang terjadi
bila rumah diambil orang atau terbakar dalam kerusuhan dan asuransi menolak
klaim kita? Apa yang terjadi bila anak atau cucu meninggal dunia?
Keinginan untuk memiliki masih bisa diatasi, tetapi
keinginan untuk mempertahankan sulit diatasi. Padahal dua-duanya sama. Yang
ingin kita miliki dan ingin kita pertahankan berada di luar diri. Jadi,
kesadaran kita masih mengalir keluar. Belum beralih kedalam. Bila kesadaran
kita sudah beralih ke dalam, keinginan untuk memiliki dan mempertahankan akan
sirna, hilang, lenyap.
Aku sudah memiliki “diri”. Apa yang dimiliki diri bisa
hilang, tetapi “diri” tidak bisa hilang. Ada “aku”, ada pula keberadaan
diri-“ku”. Lalu, apa pula yang harus kupertahankan? Sesuatu yang tidak bisa
hilang tidak perlu dipertahankan.
(Dari buku: Narada Bhakti Sutra “Menggapai Cinta
Tak Bersyarat dan Tak Terbatas” Oleh: Anand Krishna. Halaman 187—197. Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama).
Komentar
Posting Komentar