Langsung ke konten utama

Terbangnya Rajawali - Kebebasan


Bagi kebanyakan dari kita, kebebasan adalah suatu gagasan dan bukanlah suatu kenyataan. Kita melihat bahwa batin, yang memahami secara dangkal bahwa tidak terdapat kebebasan diatas bumi ini, baik batiniah maupun lahiriah, mulai mereka-reka kebebasan dalam dunia lain, suatu kemerdekaan masa depan, sorga dan sebagainya.

Kesampingkanlah semua konsep-konsep teoritis dan ideologis tentang kebebasan sehingga kita dapat menyelidiki apakah batin kita, batin anda dan batin saya, mungkin dapat sungguh-sungguh bebas, bebas dari ketergantungan, bebas dari rasa takut, kekhawatiran, dan bebas dari masalah-masalah yang tak terhitung banyaknya, baik masalah dari batin sadar maupun masalah-masalah pada lapisan-lapisan batin yang lebih dalam dari bawah sadar.

Bisakah terdapat kebebasan batiniah yang sempurna, sehingga batin manusia dapat bertemu dengan sesuatu yang bukan dari unsur waktu, yang bukan disusun oleh pikiran, namun yang bukan merupakan suatu pelarian diri dari kenyataan-kenyataan sesungguhnya dari kehidupan sehari-hari. Kecuali kalau batin manusia bebas secara psikologis, disebelah dalam dan secara total, maka tidaklah mungkin untuk melihat apa yang benar, untuk melihat apakah terdapat suatu kenyataan yang tidak direka oleh rasa takut, tidak dibentuk oleh masyarakat atau oleh kebudayaan dimana kita hidup, dan yang bukan merupakan suatu pelarian diri dari keadaan sehari-hari yang itu-itu juga, dengan kebosanannya, kesepiannya, keputusasaannya dan kekhawatirannya. Untuk menyelidiki apakah sesungguhnya terdapat kebebasan seperti itu kita harus waspada akan beban pengaruh kita sendiri, akan masalah-masalah kehidupan, akan kedangkalan yang itu-itu juga, kehampaan, rasa kurang dalam kehidupan kita sehari-hari, dan terutama kita harus waspada akan rasa – takut. Kita harus sadar akan diri sendiri tanpa mengintrospeksi atau menganalisa, melainkan sungguh-sungguh sadar akan diri sendiri seperti apa adanya kita dan melihat apakah memang mungkin untuk bebas sama sekali dari masalah-masalah tersebut yang agaknya mencekam batin.

Untuk menyelidiki, seperti yang akan kita lakukan, harus terdapat kebebasan, bukan diakhirnya, melainkan langsung dari permulaannya. Kecuali kalau kita bebas, kita tidak dapat menyelidiki, menyelami atau memeriksa. Untuk dapat memandang secara mendalam diperlukan bukan hanya kebebasan, akan tetapi juga disiplin untuk mengamati; kebebasan dan disiplin jalan bersama (bukan bahwa kita harus disiplin agar menjadi bebas). Kita menggunakan kata “disiplin” bukan dalam artinya yang tradisionil
dan seperti yang telah diterima oleh umum, yaitu menyesuaikan diri, meniru, menekan, mengikuti suatu pola yang ditentukan; melainkan sebagai arti pokok dari kata itu, ialah “belajar”. Belajar dan kebebasan jalan bersama, kebebasan membawa disiplinnya sendiri; bukan suatu disiplin yang dipaksakan oleh batin demi untuk mencapai suatu hasil tertentu.

Dua hal ini adalah penting sekali; kebebasan dan tindakan belajar. Kita tidak dapat belajar tentang diri sendiri kecuali kalau kita bebas, bebas sehingga kita dapat mengamati, bukan menurut pola, rumus atau konsep apapun, melainkan dengan sungguh-sungguh mengamati diri sendiri seperti apa adanya. Pengamatan itu, persepsi penglihatan itu mendatangkan disiplinnya dan belajarnya sendiri; di dalam itu tidak terdapat penyesuaian diri, peniruan, penekanan atau pengendalian apapun juga — dan di dalam itu terdapat keindahan besar.

Batin kita dibeban-pengaruhi — hal ini merupakan suatu fakta yang jelas dibeban-pengaruhi oleh suatu kebudayaan atau masyarakat tertentu, dipengaruhi oleh bermacam kesan, oleh ketegangan ketegangan dan tekanan-tekanan dari antar hubungan oleh ekonomi, iklim, faktor-faktor pendidikan, penyesuaian diri terhadap agama dan sebagainya. Batin kita terlatih untuk menerima rasa – takut dan untuk melarikan diri, jika kita bisa, dari rasa-takut itu, karena tak pernah mampu memecahkan secara total dan sepenuhnya, seluruh sifat dan struktur dari rasa-takut.

Maka pertanyaan pertama kita adalah dapatkah batin, yang dibeban pengaruhi sedemikian beratnya, memecahkan secara sepenuhnya, bukan hanya beban-pengaruhnya, akan tetapi juga rasa takutnya? Karena adalah rasa-takut itu yang membuat kita menerima beban – pengaruh. Jangan hanya mendengarkan banyak kata-kata dan gagasan melulu — yang sesungguhnya tidak ada nilainya sama sekali — akan tetapi melalui tindakan mendengar, mengamati keadaan batin anda sendiri, baik dengan kata-kata maupun tanpa kata, hanya menyelidiki saja apakah batin mungkin dapat bebas — tidak menerima rasa-takut, tidak melarikan diri, tidak berkata “Aku harus mengembangkan keberanian, perlawanan,” melainkan sungguh-sungguh waspada sepenuhnya akan rasa-takut dalam mana kita terperangkap.

Kecuali kalau kita bebas dari sifat rasa-takut ini kita tidak dapat melihat secara sangat terang, mendalam; dan jelaslah, apabila terdapat rasa-takut maka disitu tidak ada cinta kasih. Maka, mungkinkah batin dapat sungguh-sungguh bebas dari rasa takut? Terdapat rasa-takut badaniah dan rasa-takut psikologis. Rasa-takut badaniah akan kesakitan dan rasa-takut psikologis sebagai ingatan dari penderitaan kesakitan dimasa lalu, dan pemikiran tentang pengulangan dari rasa-sakit itu dimasa depan; juga, rasa takut akan usia tua, kematian, rasa-takut akan ketidak-amanan badaniah, rasa-takut akan ketidaktentuan hari esok, rasa-takut akan ketidakmampuan memperoleh sukses besar, ketidakmampuan untuk mencapai — akan tidak menjadi seseorang penting dalam dunia yang agak buruk ini; rasa-takut akan kehancuran, rasa-takut akan kesepian, ketidakmampuan untuk mencinta atau dicinta, dan selanjutnya; rasa-takut dari batin-sadar maupun rasa-takut dari bawah-sadar. Dapatkah batin bebas, secara total, dari semua ini? Jika batin berkata tidak dapat, ia telah membuat diri sendiri tidak mampu, ia telah menghalangi diri sendiri dan tidak mampu melihat dengan terang, tidak mampu mengerti; tidak mampu untuk diam dan hening secara sempurna; ia adalah seperti suatu batin didalam kegelapan, mencari-cari cahaya dan tidak pernah menemukan itu, dan karena itu lalu menciptakan suatu “cahaya” dari kata-kata, konsep-konsep, teori-teori. Kita sedang mencoba menyelidiki apakah kebenaran dalam rasa takut ini, dengan sedemikian menyeluruhnya sehingga batin tidak akan pernah takut lagi, oleh karena itu bebas dari seluruh kebergantungan kepada orang lain, secara psikologis, disebelah dalam.

Keindahan dari kebebasan adalah bahwa anda tidak meninggalkan suatu bekas. Burung rajawali dalam penerbangannya tidak meninggalkan suatu bekas; si ilmuwan sebaliknya. Dalam menyelidiki persoalan kebebasan ini haruslah ada, tidak hanya pengamatan ilmiah, akan tetapi juga terbangnya burung rajawali yang tidak meninggalkan bekas sama sekali; keduanya itu dibutuhkan; haruslah terdapat keterangan kata-kata dan persepsi tanpa kata — karena yang digambarkan selamanya bukanlah kenyataan yang di gambarkan itu; keterangannya jelas bukan hal yang di terangkan; si kata selamanya bukanlah si benda.

Jika semua ini sudah sangat jelas maka kita dapat melanjutkan; kita dapat menyelidikinya sendiri — bukan melalui pembicara, tidak melalui kata-katanya, tidak melalui gagasan-gagasannya atau pikiran-pikirannya — apakah batin dapat sama sekali bebas dari rasa-takut. Untuk menyelidiki haruslah terdapat kebebasan untuk memandang; haruslah terdapat kebebasan dari prasangka, dari kesimpulan-kesimpulan, dari konsep-konsep, sehingga anda dapat mengamati sendiri secara sungguh-sungguh apakah adanya rasa-takut. Akan tetapi kita bicara tentang rasa-takut psikologis; bagaimanakah timbulnya rasa-takut psikologis ini? Apakah yang menjadi asal mulanya? Itulah persoalannya. Terdapat rasa-takut akan sesuatu yang terjadi kemarin; rasa-takut akan sesuatu yang boleh terjadi nanti pada hari ini atau hari esok. Terdapat rasa-takut akan apa yang telah kita ketahui, dan terdapat rasa-takut akan yang tidak dikenal, yaitu hari esok. Kita dapat melihat sendiri dengan sangat jelas bahwa rasa-takut timbul melalui susunan pikiran — melalui pemikiran tentang apa yang telah terjadi kemarin yang kita takuti, atau melalui pemikiran tentang masa depan — bukankah demikian?

Pikiran melahirkan rasa takut — tidakkah begitu ? Marilah kita yakini betul; jangan menerima apa yang dikatakan oleh pembicara; yakinilah sendiri secara mutlak, tentang apakah benar-benar pikiran merupakan asal dari rasa-takut. Memikirkan tentang rasa-nyeri, kesakitan psikologis yang pernah kita derita beberapa waktu yang lalu dan tidak menghendaki hal itu terulang, tidak menghendaki hal itu teringat lagi, memikirkan tentang semua ini melahirkan rasa takut.

Dapatkah kita melanjutkan dari situ? Kecuali kalau kita melihat hal ini dengan sangat jelas, kita tidak akan mampu untuk melanjutkan walau sedikitpun. Pikiran memikirkan tentang suatu peristiwa, suatu pengalaman suatu keadaan, dalam mana terdapat suatu gangguan, bahaya, kesedihan atau penderitaan, menimbulkan rasa takut. Dan pikiran, setelah menetapkan suatu jaminan keamanan tertentu, secara psikologis, tidak menghendaki keamanan itu terganggu, setiap gangguan merupakan suatu bahaya dan oleh karena itu terdapatlah rasa-takut?

Pikiran bertanggung jawab atas rasa-takut; juga, pikiran bertanggung jawab atas kesenangan. Kita telah mendapatkan suatu pengalaman yang membahagiakan; pikiran memikirkannya dan ingin agar pengalaman itu berulang kembali; apabila hal itu tidak mungkin, terdapatlah suatu perlawanan, kemarahan, keputusasaan dari rasa-takut. Demikianlah pikiran bertanggung jawab atas rasa-takut seperti juga atas kesenangan, bukan?

Ini bukan merupakan suatu kesimpulan kata-kata belaka; ini bukanlah suatu rumus untuk menghindarkan rasa-takut. Yaitu dimana terdapat kesenangan terdapat pula penderitaan dan rasa-takut yang diulangi lagi oleh pikiran; kesenangan datang bersama penderitaan, kedua hal itu tak dapat dipisahkan, dan pikiran bertanggung jawab atas keduanya. Jika tidak ada hari esok, tidak ada saat berikutnya, untuk dipikirkan dengan gambaran rasa-takut atau kesenangan, maka keduanya hal itu tidak akan ada. Apakah hal itu merupakan suatu kenyataan, tidak sebagai suatu gagasan, melainkan suatu hal yang telah anda temukan sendiri dan yang oleh karena itu nyata, maka anda dapat berkata, “Saya telah menemukan bahwa pikiran melahirkan kesenangan dan rasa-takut?”

Anda dapat bertemu dengan kebahagiaan atau suka cita hanya apabila anda mengerti akan sifat dari pikiran — yang melahirkan kesenangan dan rasa-takut. Maka muncullah pertanyaan : dapatkah kita menghentikan pikiran?

Jika pikiran melahirkan rasa-takut dan kesenangan karena dimana terdapat kesenangan terdapatlah penderitaan, yang sudah sangat jelas — maka kita bertanya pada diri sendiri: dapatkah pikiran berakhir? — yang bukan berarti berakhirnya persepsi akan keindahan, kenikmatan dari keindahan. Seperti melihat keindahan dari segumpal awan atau sebatang pohon dan menikmatinya secara total, selengkapnya, sepenuhnya; akan tetapi apabila pikiran mencari-cari untuk mendapatkan pengalaman yang sama pada esok hari, kenikmatan yang sama yang didapatkannya kemarin dengan melihat awan itu, pohon itu, bunga itu, wajah orang yang cantik itu, maka pikiran mengundang datangnya kekecewaan, penderitaan, rasa-takut dan kesenangan.

Maka dapatkah pikiran berakhir? Bagaimanakah tempatnya pikiran dalam kehidupan? — bukan, bagaimana pikiran harus diakhiri? Apakah hubungan pikiran dengan tindakan dan dengan tanpa tindakan (inaction) ? Apakah hubungan pikiran dengan tindakan di mana tindakan di perlukan? Apabila terdapat kenikmatan sepenuhnya dari keindahan, mengapa pikiran kok hadir? — karena jika pikiran tidak ada pada saat itu maka kenikmatan itu tidak dibawa-bawa sampai esok hari. Saya ingin menyelidiki — apabila terdapat kenikmatan sepenuhnya dari keindahan sebuah gunung, dari kecantikan seraut wajah, seempang air — mengapa pikiran datang kesitu dan membelokkannya dan berkata, “Aku harus mendapatkan kesenangan itu lagi besok”. Saya harus menyelidiki apakah hubungan pikiran dalam tindakan; dan untuk menyelidiki apakah pikiran perlu mencampuri pada waktu pikiran sama sekali tidak diperlukan. Saya melihat sebatang pohon indah, tanpa sehelai daunpun, menentang langit, itu luar biasa indahnya dan itu sudah cukup — selesailah sampai di situ saja. Mengapa pikiran harus masuk dan berkata, “Aku harus mendapatkan kenikmatan yang sama itu besok” ?

 (Dikutip dari halaman 1 – 8 dari 17 halaman, Bab 1 KEBEBASAN 
dari buku karangan Jiddu Krishnamurti – TERBANGNYA RAJAWALI)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salah Satu Syair Rumi Tentang Reinkarnasi

Sebagai tahapan yang harus dilalui wujud lahir, tingkatan wujud berikutnya akan berproses sesuai dengan rancangan wujud sebelumnya. Dengan jalan seperti ini muncullah ribuan perubahan. Dan tiap perubahan selalu lebih baik dari sebelumnya. Sadarilah selalu wujudmu saat ini karena jika kau berpikir tentang wujudmu di masa lalu, maka kau akan memisahkan dirimu dari Diri Sejatimu. Inilah semua keadaan yang tetap yang kau saksikan dalam kematian. Lalu mengapa harus kau palingkan mukamu dari kematian? Ketika tahapan kedua lebih baik dari tahapan pertama, maka matilah dengan senyum suka cita. Dan arahkan pandanganmu ke depan untuk menempati wujud baru yang lebih baik dari wujud sebelumnya. Sadarilah, dan jangan tergesa-gesa. Kau harus mati terlebih dulu sebelum memperbaiki diri. Laksana sang surya, hanya jika kau tenggelam di Barat, maka di Timur, kau akan menyaksikan wajahmu yang cerlang gemilang.  ( Jalaluddin Rumi ) Tulisan Di Batu Nisan Jalaluddin...

Kata-Kata Indah Dari Osho

Kita telah hidup dalam pikiran selama begitu banyak kehidupan, dan kita telah menjadi selaras dengan kegelapannya, dengan keburukannya, kesia-siaannya. Ketika engkau bertindak tanpa pikiran, seluruh keberadaanmu bergetar. Engkau bergerak di jalur yang berbahaya. Pikiran berkata, “Waspada! Pikirkan dulu, baru kemudian bertindak.” Tetapi jika engkau berpikir dulu dan baru kemudian melakukan sesuatu, perbuatanmu akan selalu mati, basi. Ini akan keluar dari pikiran, ini tidak akan menjadi nyata dan otentik. Maka engkau tidak bisa mencintai, Maka engkau tidak bisa bermeditasi, Maka engkau tidak bisa benar-benar hidup dan engkau tidak bisa mati. Engkau menjadi hantu, keberadaan yang palsu. Cinta mengetuk hatimu dan engkau berkata, “Tunggu! Aku akan memikirkannya.” Kehidupan terus mengetuk pintumu dan engkau berkata, “Tunggu! Aku akan memikirkannya.” OSHO, A Bird on the wing, Chpt 9, Save the cat “Kuasai hanya satu hal: dirimu sen...

Osho, aku ingin berdoa kepada Tuhan. Tolong ajari aku caranya

“Prayer means gratefulness, prayer means no complaint. Prayer means ”I am thankful for all that has been given to me; more I could not have asked for.” In that very prayerfulness one becomes graceful”. ___Osho Doa berarti rasa syukur, doa berarti tidak ada keluhan. Doa berarti “Saya bersyukur untuk semua yang telah diberikan kepada saya; lebih saya tidak bisa meminta.” Dalam penuh rasa syukur itu orang menjadi graceful.. ------------------------------------------- “Osho, aku ingin berdoa kepada Tuhan. Tolong ajari aku caranya” Osho: “JANGAN MEREPOTKAN ALLAH, DIA PUNYA MASALAH SENDIRI. Tidakkah anda lihat apa pun yang Dia ciptakan adalah mati? Anda menyimpan masalah anda kepada diri sendiri. Mengapa orang harus ingin berdoa kepada Allah? ALLAH TIDAK MEMBUTUHKAN DOA-DOA ANDA. Anda mungkin memerlukan doa-doa itu — tapi mereka tidak akan sesuatu yang lebih dari suara keinginan anda, tuntutan anda, mengekspresikan keluhan anda. Itulah apa yang dilakukan orang atas nama d...