Tentang ini Al-Imam Ibnu At-Thaillah Askandary telah
merumuskan dalam Kalam Hikmahnya.
“Al’a’maalu shuuratun qaaimaatun waarwaahuhaa wujuudubi
sirrilikh laashi fiihaa”.
“Sekalian amal lahiriyah merupakan gambar-gambar
(bentuk-bentuk) yang berdiri (tanpa nyawa), sedangkan arwahnya ialah
ke-Ikhlasan yang terdapat dengan tersembunyi didalam amalan-amalan itu”.
Pengertian Kalam Hikmah ini dapat kita lihat sbb:
Bahwa sekalian amal kebajikan apapun saja adalah laksana
patung-patung atau gambar-gambar bertubuh yang kosong dari roh (jiwa), karena
itu maka tidak ada artinya bahkan tidak ada manfaatnya sama sekali, sebagaimana
juga kebalikannya yakni ada roh tetapi tidak ada wadahnya, oleh karena itu amal
ibadah yang diterima oleh Allah swt buat menjadi persiapan kita di akhirat
nanti, ialah amal ibadat-amal ibadat yang mengandung ke ikhlasan didalamnya.
.
.
“IKHLAS” yang telah tersebut di dalam Kalam Hikmah tadi
sifatnya adalah umum atau mutlak, mencapai pada macam-macam ikhlas yang sesuai
dengan tingkatan macam-macam manusia selaku hamba Allah swt.a. IKHLASHUL
“IBAADI”
Maksudnya ke-ikhlasan yang terdapat pada sebagian hamba
Allah yang melaksanakan amal-amal kebajikan dimana bersih dari dalam hatinya
penyakit ria yakni ia beramal itu tidaklah maksudnya sebagai show
(memperlihatkan kepada orang bahwa ia beramal) juga tidak ada dalam hatinya
maksud-maksud duniawi seperti supaya dihormati orang dan lain-lain sebagainya.
Dia beramal itu meskipun tujuannya karena Allah swt, tetapi adalah mengharapkan
pahala dari Allah dan dijauhkan oleh Allah baik di dunia atau di akhirat dari
sekalian azab siksa-Nya dan cobaan-cobaan-Nya disamping hatinya mengandung
maksud dan tujuan tadi juga perasaannya berpegang bahwa dengan amal ibadat yang
dikerjakannya, dapat mencapai maksudnya tadi, karena itu maka hatinya tidak
dapat dipisahkan dari amal ibadah selaku perbuatannya. Ini adalah tingkatan
ke-ikhlasan yang terendah dari semua tingkatan-tingkatan ikhlas dan
ke-ikhlasan.
b. IKHLASHUL MUHIBBIINA
Keikhlasan dalam tingkatan ini adalah diatas nilai
ke-ikhlasan Al-Ibaad.
Yang dimaksud dengan ke-ikhlasan Muhibbiin ialah:
bahwa beramal ibadah itu bukanlah maksudnya karena maksud mendapat pahala dari Allah dan juga bukan maksud menjauhkan diri dari azab dan siksaan Allah (apabila tidak menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhkan larangan-larangan-Nya) tetapi maksud beramal itu ialah semata-mata tujuan membesarkan Allah dan meng-Agungkan-Nya, oleh karena itu maka seorang waliyah Allah yang terkenal dengan nama: Robi’ah Al-Adawiyah berkata: “Maa ‘abadtuka khaufan min naarika walaatham’an fijannatika”.
“Aku tidak menyembah Engkau (ya Allah) karena takut dari neraka-Mu dan pula tidak menyembah Engkau karena loba pada surga-Mu”.
Yang dimaksud dengan ke-ikhlasan Muhibbiin ialah:
bahwa beramal ibadah itu bukanlah maksudnya karena maksud mendapat pahala dari Allah dan juga bukan maksud menjauhkan diri dari azab dan siksaan Allah (apabila tidak menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhkan larangan-larangan-Nya) tetapi maksud beramal itu ialah semata-mata tujuan membesarkan Allah dan meng-Agungkan-Nya, oleh karena itu maka seorang waliyah Allah yang terkenal dengan nama: Robi’ah Al-Adawiyah berkata: “Maa ‘abadtuka khaufan min naarika walaatham’an fijannatika”.
“Aku tidak menyembah Engkau (ya Allah) karena takut dari neraka-Mu dan pula tidak menyembah Engkau karena loba pada surga-Mu”.
Demikian kata Robi’ah Al-Adawiyah.
Dengan ini teranglah bagi kita bahwa keikhlasan dalam
tingkat ini sudah tidak dipengaruhi oleh nafsu dan dunia karena apabila masih
ada maksud beribadah kepada Allah karena mengharapkan kesenangan dan
kebahagiaan dihari kemudian, berarti ke-ikhlasan kita belum sampai ketingkat
IKHLASHUL MUHIBBIINA.
Bagaimana tingginya nilai ke-ikhlasan dalam tingkatan ini, maka Robi’ah telah melukiskan ketinggiannya dalam syair-syairnya sbb:
Bagaimana tingginya nilai ke-ikhlasan dalam tingkatan ini, maka Robi’ah telah melukiskan ketinggiannya dalam syair-syairnya sbb:
“Semua mereka manusia menyembah Engkau (ya Allah) karena
takut pada neraka, dan mereka melihat keuntungan yang besar pada terlepas dari
siksaan-siksaan.
Atau mereka bermaksud supaya dapat mendiami surga-surga
loka, maka mereka beruntung mendiami istananya dan dapat minum salsabil air
bening dari sungai surga.
Tidak adalah artinya keuntungan bagiku dengan mendapat
surga dan jauh dari neraka, karena aku tidak menghendaki ganti (dengan apapun
saja) selain dengan cintaku (kepada Allah swt)”.
c. IKHLASHUL ‘AARIFIENA
atau dapat juga disebut dengan IKHLASHUL MUQARRABINA.
Ini adalah tingkatan ke-ikhlasan yang tertinggi dari segala-galanya. Barang siapa diantara kita yang di kurniai Allah dengan ke-ikhlasan ini berarti orang itu telah betul-betul mendapatkan ke-ikhlasan yang sejati dan tertinggi.
Hamba Allah yang telah sampai kepada ke-ikhlasan ini mereka dalam beramal sudah tidak lagi melihat kepada diri mereka, tetapi tertuju kepada Allah Yang Maha Esa baik dalam geraknya ataupun dalam diamnya, mereka betul-betul telah merasakan pengertian hakiki dari kalimat
Ini adalah tingkatan ke-ikhlasan yang tertinggi dari segala-galanya. Barang siapa diantara kita yang di kurniai Allah dengan ke-ikhlasan ini berarti orang itu telah betul-betul mendapatkan ke-ikhlasan yang sejati dan tertinggi.
Hamba Allah yang telah sampai kepada ke-ikhlasan ini mereka dalam beramal sudah tidak lagi melihat kepada diri mereka, tetapi tertuju kepada Allah Yang Maha Esa baik dalam geraknya ataupun dalam diamnya, mereka betul-betul telah merasakan pengertian hakiki dari kalimat
“La haula walaquwa-ta illa billaahil aliyil adhim”.
“Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”.
“Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”.
Tenggelam mereka dalam perasaan yang betul-betul dan
tidak dibuat-buat menurut pengertian hakiki kalimat tadi. Tujuan beramal dalam
tingkatan ini ialah semata-mata menghampirkan diri kepada Allah swt. Apabila
ke-ikhlasan sebelumnya bertujuan mencari “TASHIHUL IRADAH” yakni memperbaiki
tujuan hati untuk lempang licin jalan ibadah menjurus kepada Allah. Apabila
ke-ikhlasan sebelumnya sifatnya LILLAAHI TA’ALA dan ini adalah sifat setiap
orang ibadah tetapi sifat ibadah pada tingkatan ini BILLAAHI TA’ALA, dan inilah
sifat setiap orang menuju kepada Allah.
Beramal LILLAAHI TA’ALA ialah: Mendirikan dengan baik
hukum-hukum lahiriyah, sedangkan beramal BILLAAHI TA’ALA ialah: Mendirikan kebaikan yang terkandung dan hati
yang bersih demi untuk tujuan berhampir kepada Allah, inilah yang dimaksud oleh
sebagian ulama sufi dengan perkataannya:
“Shahhih ‘amalaka bil ikhlaashi wa shahhih ikhlaashaka
bitta barri minal hauli wal quwwati”.
“Betulkanlah amalan engkau dengan ikhlas dan betulkanlah keikhlasan engkau dengan melepaskan diri dari daya dan kekuatan (makhluk)”.
“Betulkanlah amalan engkau dengan ikhlas dan betulkanlah keikhlasan engkau dengan melepaskan diri dari daya dan kekuatan (makhluk)”.
Dari buku: Hakikat Hikmah Tauhid Dan Tasawuf (Al Hikam)
Oleh: Al Imam Ibnu Athaillah Askandary
Syarah Oleh: Prof. Dr. K.H. Muhibbuddin Waly
Oleh: Al Imam Ibnu Athaillah Askandary
Syarah Oleh: Prof. Dr. K.H. Muhibbuddin Waly
Komentar
Posting Komentar