Sri Yukteswar pernah menjelaskan, “Ucapan Yesus bahwa ia
adalah Putra Allah bersifat simbolik. Sebenarnya, ia telah menyadari kesatuan
dan persatuan dengan Tuhan. Yang dimaksudkan dengan ‘Putra Allah’ adalah
‘Kesadaran Kristus’, ‘Kesadaran Ilahi’ dalam diri manusia.
Sebagaimana Yesus pernah membangkitkan kembali Lazarus, begitu pula Lahiri
Mahasaya pernah membangkitkan kembali salah seorang teman saya yang sudah
mati.”
Pelajaran filsafat yang beliau berikan selalu diselingi
dengan cerita-cerita menarik. Rama dan saya sangat dekat. Untuk menghindari
keramaian, biasanya ia mengunjungi Lahiri Mahasaya menjelang tengah malam atau
pagi sekali. Suatu ketika ia jatuh sakit kolera. Karena Lahiri Mahasaya memang
tidak pernah melarang pengobatan dengan cara medis Barat, maka dua orang dokter
dipanggil untuk menangani kasusnya. Namun demikian, kondisinya tambah parah. Kebingungan,
saya menghadap Lahiri Mahasaya dan memohon bantuan beliau.
“Para dokter sedang merawat Rama. Ia akan sembuh, ‘kata
Lahiri Mahasaya.
Kata-kata beliau memberi harapan baru. Dan saya pun
langsung menuju rumah Rama. Ternyata, kondisi dia lebih parah lagi. Salah
seorang dokter yang sedang menjaganya memberitahu saya bahwa Rama paling bisa
bertahan 1 – 2 jam lagi.
Saya kembali menghadap Lahiri Mahasaya dan melaporkan keadaan Rama, beliau tetap tenang, ‘Para dokter sedang berusaha, dan saya yakin Rama akan sembuh.’
Kembali kerumah Rama, saya malah mendapati pesan dari salah seorang dokter yang sedang merawatnya, ‘Kami sudah berusaha maksimal. Sayang tidak bisa membantu.’
Melihat keadaan Rama yang semakin parah, saya mulai meragukan kata-kata Lahiri Mahasaya. Sudah tidak ada harapan sama sekali. Sementara itu, Rama tiba-tiba menjerit, “Yukteswar, tolong beritahu kepada Guru bahwa saya sudah tidak ada lagi. Mohon kepadanya agar memberkati upacara perabuan saya, ‘dan ia meninggal.
Saya kembali menghadap Lahiri Mahasaya dan melaporkan keadaan Rama, beliau tetap tenang, ‘Para dokter sedang berusaha, dan saya yakin Rama akan sembuh.’
Kembali kerumah Rama, saya malah mendapati pesan dari salah seorang dokter yang sedang merawatnya, ‘Kami sudah berusaha maksimal. Sayang tidak bisa membantu.’
Melihat keadaan Rama yang semakin parah, saya mulai meragukan kata-kata Lahiri Mahasaya. Sudah tidak ada harapan sama sekali. Sementara itu, Rama tiba-tiba menjerit, “Yukteswar, tolong beritahu kepada Guru bahwa saya sudah tidak ada lagi. Mohon kepadanya agar memberkati upacara perabuan saya, ‘dan ia meninggal.
“Saya mulai menangis. Selama satu jam, saya berada di
samping jenazahnya. Setelah itu, saya baru pergi menghadap Lahiri Mahasaya.
“Bagaimana keadaan Rama sekarang?” Tanya Lahiri Mahasaya.
“Saya sudah tidak dapat mengendalikan luapan emosi lagi.
Sambil menangis, saya menjawab, ‘Sebentar lagi, Guru akan melihat bagaiman
keadaannya. Pada saat jenazahnya diantar ke tempat perabuan, Guru akan melihat
keadaannya.’
“Yukteswar, kendalikan dirimu. Duduk diam, dan lakukan
meditasi.’ Beliau sendiri memasuki alam Samadhi. Sepanjang sore, sepanjang
malam, beliau duduk dalam satu postur, tidak bergerak sama sekali. Sebaliknya,
saya masih tetap berusaha untuk mengembalikan ketenangan diri.
Menjelang pagi, beliau baru menegur saya, ‘Sepertinya, kamu masih gelisah. Kenapa kemarin kamu tidak minta obat untuk Rama? Tetapi tidak apalah, sekarang ambillah minyak pelita itu, dan berikan tujuh tetes kepada Rama.”
Menjelang pagi, beliau baru menegur saya, ‘Sepertinya, kamu masih gelisah. Kenapa kemarin kamu tidak minta obat untuk Rama? Tetapi tidak apalah, sekarang ambillah minyak pelita itu, dan berikan tujuh tetes kepada Rama.”
Saya langsung berontak, ‘Apa gunanya tetesan minyak? Ia
sudah mati sejak kemarin siang.’
“Lakukan apa yang kukatakan. ‘Lahiri Mahasaya masih tetap
tenang.
Dengan setengah hati, saya melakukan apa yang beliau
kehendaki. Kembali ke rumah Rama, saya melihat jasadnya sudah menjadi kaku.
Langsung saja saya meneteskan minyak ke dalam mulutnya. Pada tetesan ke tujuh,
badan Rama bergerak. Dan dalam keadaan bingung, ia duduk di atas ranjang.
“Saya melihat Lahiri Mahasaya dalam cahaya yang
menyilaukan seperti matahari. Ia membangunkan saya dari tidur, dan menyuruh
saya menghadap beliau bersama kamu, Yukteswar,’ kata Rama.”
Apa yang harus saya katakan. Saya Cuma bisa tercengang
saja. Rama Nampak sehat. Ia langsung ganti baju dan bersiap-siap untuk
menghadap Lahiri Mahasaya.
Melihat kami berdua, Lahiri Mahasaya bergurau menyindir
saya, “Yukteswar, jangan lupa membawa minyak pelita. Kamu bisa mengalahkan
Malaikat Maut dengan tujuh tetes minyak.”
“Guruji, saya betul-betul tidak memahami semua ini. Apa
yang terjadi sebenarnya? Dimana letak kesalahan saya? Saya masih bingung.
“Saya tidak mengatakan bahwa para dokter bisa
menyembuhkan Rama. Saya hanya mengatakan bahwa para dokter sedang merawatnya.
Jangan lupa, yang menyembuhkan bukan para dokter, tetapi Tuhan.’
Saya baru menyadari ketololan saya. Saya menyesali
keraguan saya. Seharusnya saya mempercayai kata-kata beliau bahwa Rama akan
sembuh..
Seorang murid bertanya, “Guru, kenapa Lahiri Mahasaya
menggunakan minyak pelita?”
Sri Yukteswar menjawab, “Hanya untuk meyakinkan saya.
Minyak pelita itu beliau jadikan sarana untuk membangkitkan kembali keyakinan
saya. Beliau membiarkan Rama mati, karena saya mulai meragukan kata-kata
beliau.”
Setelah para murid lain mohon pamit, Sri Yukteswar
mempersilahkan saya mendekati beliau. Berkisahlah beliau kepada saya,
“Yogananda, sejak kecil kamu dikelilingi oleh murid-murid Lahiri Mahasaya.
Semasa hidupnya, beliau memang tidak mengizinkan pendirian organisasi, sekitar
ajarannya. Namun, ia pernah mengatakan, ‘Kurang lebih lima puluh tahun setelah aku
mati, orang-orang Barat akan mulai tertarik dengan ajaran Yoga. Pesan yoga,
ajaran yoga akan melanda dunia dan membantu terwujudnya persaudaraan umat
manusia di atas landasan kesadaran akan Kesatuan Ilahi.
“Yogananda, kamu harus berkarya demi terwujudnya impian
itu. Tulislah tentang kehidupan beliau.”
Lima puluh tahun setelah kematian beliau pada tahun 1895
berarti tahun 1945.Saya pun terheran-heran suatu kebetulan yang luar biasa.
Tahun ini, kita memasuki suatu zaman baru, Zaman tenaga atom. Dan bersamaan
dengan itu, tahun ini juga saya sedang menulis buku ini.
Peradaban manusia bisa lenyap, tetapi alam semesta akan selalu ada. Keberadaan ini kekal abadi. Hukum Alam tidak akan mengalami perubahan. Manusia memang harus hidup selaras, seirama dengan hukum tersebut. Perhatikan bulan dan bintang, matahari dan planet-planet lainnya. Mereka hidup harmonis, tidak pernah terjadi perkelahian antara mereka. Perkelahian dan perang tidak akan pernah menghasilkan kedamaian.
Perserikatan hati manusia, tanpa nama, tanpa lembaga akan lebih efektif daripada lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hanya menerima perbedaan antara kita, pada tingkat intelek, tidak akan membantu. Kita harus menyadari kesatuan dan persatuan dengan Tuhan—dalam Tuhan. Yoga memicu terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri manusia. Yoga menyadarkan kita akan kesatuan kita dengan Sumber Ilahi itu. Semoga yoga menyebar ke seluruh dunia dan manfaatnya terasa oleh setiap orang.
Peradaban manusia bisa lenyap, tetapi alam semesta akan selalu ada. Keberadaan ini kekal abadi. Hukum Alam tidak akan mengalami perubahan. Manusia memang harus hidup selaras, seirama dengan hukum tersebut. Perhatikan bulan dan bintang, matahari dan planet-planet lainnya. Mereka hidup harmonis, tidak pernah terjadi perkelahian antara mereka. Perkelahian dan perang tidak akan pernah menghasilkan kedamaian.
Perserikatan hati manusia, tanpa nama, tanpa lembaga akan lebih efektif daripada lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hanya menerima perbedaan antara kita, pada tingkat intelek, tidak akan membantu. Kita harus menyadari kesatuan dan persatuan dengan Tuhan—dalam Tuhan. Yoga memicu terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri manusia. Yoga menyadarkan kita akan kesatuan kita dengan Sumber Ilahi itu. Semoga yoga menyebar ke seluruh dunia dan manfaatnya terasa oleh setiap orang.
(Doa Paramhansa Yogananda tidak akan sia-sia. Harapan
beliau sudah terwujud. Impian beliau telah menjadi kenyataan. Walaupun ada yang
menyalah artikan yoga sebagai senam—malah ada yang menjadikannya “ilmu klenik”,
lantas ada yang mencampur adukkannya dengan perdukunan—mekanisme alam akan
selalu melindungi ilmu ini.—a.k.)
Diantara peradaban-peradaban kuno, peradaban India adalah
satu-satunya yang masih bertahan. Kenapa? Karena, setiap kali, dalam setiap
zaman, para master spiritual memberkati dan menyirami kembali akar
peradabannya.
Ada sebuah kisah indah dari tradisi Timur Tengah. Tuhan berjanji tidak akan menghancurkan kota Sodom, apabila ada sepuluh orang saleh yang tinggal disana. Rupanya janji ini selalu Ia tepati. Peradaban kuno Mesir bisa lenyap tanpa bekas, tetapi India masih tetap bertahan. India bertahan bukan karena keberhasilannya di bidang materi, tetapi karena para master, karena para master seperti Lahiri Mahasaya, karena para master seperti Sri Yukteswar.
Selama ini, memang tidak banyak yang kita ketahui tentang Lahiri Mahasaya. Beliau lahir pada tanggal 30 September 1828, di desa Ghurni, Negara bagian Bengal. Diberi nama Shyama Charana oleh orang tuanya, sejak kecil ia tertarik dengan yoga. Peralihan arus sungai Jalangi pada tahun 1833 mengakibatkan keluarga Lahiri Mahasaya kehilangan tanah mereka. Setelah kejadian itu, ayah beliau pindah ke Benares.
Di Benares, Lahiri yang masih kecil mulai belajar bahasa Hindi dan Urdu. Kelak, ia juga akan mempelajari bahasa-bahasa lain, seperti Bengali, Sanskerta, Prancis, dan Inggris. Selain penguasaan bahasa-bahasa, beliau juga menyelami ajaran-ajaran Veda.
Dari perkawinannya dengan Kashi Moni, pada tahun 1846 ia dikaruniai dua orang anak, Tincouri dan Ducouri.
Beliau pernah bekerja sebagai pegawai negri, dan sering berpindah tempat tinggal. Setelah kematian ayahnya, ia memutuskan untuk menetap di Benares.
Pada usia 33 tahun, beliau bertemu dengan Babaji, guru beliau, dan memperoleh inisiasi. Peristiwa ini bukanlah suatu peristiwa pribadi. Inisiasi dan latihan Kriya Yoga yang beliau dapatkan dari Babaji kelak akan menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia.
Bagaikan aliran sungai Ganga, Kriya Yoga pun berasal dari pegunungan Himalaya yang sama. Dan seperti air sungai Ganga yang memberi kehidupan kepada begitu banyak orang, ilmu ini pun siap menyegarkan jiwa manusia yang kering.
Ada sebuah kisah indah dari tradisi Timur Tengah. Tuhan berjanji tidak akan menghancurkan kota Sodom, apabila ada sepuluh orang saleh yang tinggal disana. Rupanya janji ini selalu Ia tepati. Peradaban kuno Mesir bisa lenyap tanpa bekas, tetapi India masih tetap bertahan. India bertahan bukan karena keberhasilannya di bidang materi, tetapi karena para master, karena para master seperti Lahiri Mahasaya, karena para master seperti Sri Yukteswar.
Selama ini, memang tidak banyak yang kita ketahui tentang Lahiri Mahasaya. Beliau lahir pada tanggal 30 September 1828, di desa Ghurni, Negara bagian Bengal. Diberi nama Shyama Charana oleh orang tuanya, sejak kecil ia tertarik dengan yoga. Peralihan arus sungai Jalangi pada tahun 1833 mengakibatkan keluarga Lahiri Mahasaya kehilangan tanah mereka. Setelah kejadian itu, ayah beliau pindah ke Benares.
Di Benares, Lahiri yang masih kecil mulai belajar bahasa Hindi dan Urdu. Kelak, ia juga akan mempelajari bahasa-bahasa lain, seperti Bengali, Sanskerta, Prancis, dan Inggris. Selain penguasaan bahasa-bahasa, beliau juga menyelami ajaran-ajaran Veda.
Dari perkawinannya dengan Kashi Moni, pada tahun 1846 ia dikaruniai dua orang anak, Tincouri dan Ducouri.
Beliau pernah bekerja sebagai pegawai negri, dan sering berpindah tempat tinggal. Setelah kematian ayahnya, ia memutuskan untuk menetap di Benares.
Pada usia 33 tahun, beliau bertemu dengan Babaji, guru beliau, dan memperoleh inisiasi. Peristiwa ini bukanlah suatu peristiwa pribadi. Inisiasi dan latihan Kriya Yoga yang beliau dapatkan dari Babaji kelak akan menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia.
Bagaikan aliran sungai Ganga, Kriya Yoga pun berasal dari pegunungan Himalaya yang sama. Dan seperti air sungai Ganga yang memberi kehidupan kepada begitu banyak orang, ilmu ini pun siap menyegarkan jiwa manusia yang kering.
(Dari buku: Meniti Kehidupan Bersama Para Yogi, Fakir Dan
Mistik
Otobiografi Paramhansa Yogananda
Halaman: 347 — 355
Dikisahkan kembali oleh: Anand Krishna)
Otobiografi Paramhansa Yogananda
Halaman: 347 — 355
Dikisahkan kembali oleh: Anand Krishna)
* Otobiografi Seorang Yogi bukanlah buku biasa. Buku
spiritual yang klasik ini sangat berharga. Sejak pertama diterbitkan pada tahun
1946, sudah jutaan eksemplar yang terjual diseluruh dunia, dan telah
diterjemahkan kedalam lebih dari dua puluh bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.
Bila kita mengikuti pesan-pesan didalamnya, berarti kita memulai sebuah
petualangan besar dalam kehidupan.
Paramhansa Yogananda adalah salah seorang Yogi pertama
yang meninggalkan India untuk mengajar di Barat. Pada mulanya ia mengunjungi
seluruh pelosok Amerika, menyampaikan ceramah di aula-aula terbesar yang selalu
dipenuhi oleh para pendengarnya. Setelah kunjungan singkat ketanah
kelahirannya, ia mendiami sebuah rumah ditepi pantai dan menulis buku ini.
Karya ini membantu meluncurkan, dan senantiasa mengilhami revolusi spiritual di
Barat. ___Kris Haahs, Ph.D
Komentar
Posting Komentar