Selain itu, mereka yaitu para Ulama yang rasikh itu
benar-benar mengamalkan apa yang diamalkan oleh para Nabi dan para Awliya.
Mereka telah mendapatkan “khashais” (beberapa keistimewaan) karena mengamalkan
apa yang mereka ketahui.
Allah berfirman:
“Begitulah beberapa contoh dan misal yang kami kemukakan
kepada manusia, namun tidak ada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang
Alim”.
Rasulullah s.a.w bersabda:
“Kami para Nabi-Nabi, Allah perintah kami untuk berbicara
kepada manusia, menurut tingkat kecerdasan mereka (manusia)”.
“Apapun yang dibicarakan seseorang kepada suatu kaum, dengan
pembicaraan yang tingkat kecerdasan mereka tidak mampu untuk memahaminya, hanya
akan menimbulkan fitnah terhadap mereka”.
“Sesungguhnya ada sebagian ilmu itu laksana mutiara yang
tersembunyi, tak ada yang tahu kecuali orang yang Alim Billah”.
Orang yang Alim Billah itu ialah yang mengenal Zat Allah,
Sifat-sifat-Nya dan Asma-Nya serta Ap’al-Nya. Allah menyertai ilmunya dan
mereka amalkan dengan tekun apa yang mereka ketahui tanpa cacat.
Imam Ghazali r.a. menjelaskan di dalam Ihya ‘Ulumuddin:
“Larangan dimaksud berhubung sulit dan sukarnya faham”.
Hadis selanjutnya menegaskan:
“Kelebihan Abubakar dari padamu, bukanlah karena banyak
sembahyang dan banyak puasa, tetapi kelebihan itu karena suatu rahasia yang
terletak di dadanya/hatinya”. – Hadis
Banyak yang menyangka dan berpendapat bahwa mempelajari
Tasawuf-ketuhanan ini, haruslah sudah matang dalam hal-hal syariat, mendalam
Ilmu Fiqihnya, harus tahu segala hukum secara terperinci (tafshili). Katanya
janganlah kita berikan ilmu rahasia ini kepada yang selain itu.
Akhirnya banyak pengajian dalam hal ilmu ini secara
sembunyi-sembuny. Manusia ingin mencari kepuasan batin dengan mencari ilmu
kearah itu, akan tetapi bila diberati dengan bermacam syarat dan ketentuan yang
dirasa sulit untuk dilaksanakan akhirnya, mereka mundur teratur.
Guru-guru saya dan saya sendiri tidak berpendapat, bahwa
untuk menuntut ilmu ini harus serba lengkap dengan ilmu-ilmu yang lain.
Pengertian yang dikatakan “ahlinya” ialah orang-orang
yang memiliki kecerdasan dan intelejensia untuk dapat memahami permasalahannya,
dan ada kegairahan untuk mendalami masalah kebatinan. Tentu saja mereka sudah
harus mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, meskipun pengertian mereka
secara “ijmali” (global = jumlah). Sebagai seorang muslim, mereka tentu
mengerti dan mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat, puasa dan sebagainya
yang mereka laksanakan.
Kalau sekiranya dipakai sepanjang pendapat yang pertama,
dimana harus mendalami syareat, ilmu fiqih, dan lain-lain secara terperinci,
apakah hal tersebut mungkin dilakukan, sedang waktu mencurahkan perhatian
kepada masalah itu memerlukan waktu yang panjang. Bagaimana kalau habis umur ?
Shal At-Tustury r.a juga berkata:
Bagi orang alim ada 3 macam ilmu:
1. Ilmu Zohir adalah ilmu yang seharusnya disampaikan kepada ahli zahir.
2. Ilmu Batin, tidak seharusnya disampaikan kecuali kepada ahlinya.
3. Ilmu Antaranya dengan Allah, yang tidak seorangpun yang dapat menzahirkannya.
1. Ilmu Zohir adalah ilmu yang seharusnya disampaikan kepada ahli zahir.
2. Ilmu Batin, tidak seharusnya disampaikan kecuali kepada ahlinya.
3. Ilmu Antaranya dengan Allah, yang tidak seorangpun yang dapat menzahirkannya.
Untuk semua itu maka Rasulullah bersabda:
“Kamu berbicara kepada manusia yang belum sampai tingkat
kecerdasannya, apakah kamu dalam hal ini ingin agar mereka mendustakan Allah
dan Rasul-Nya ?”
Berkata Abu Hurairah r.a. tentang Hadis Rasulullah, yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a :
“Aku menghafalkan dua macam ilmu dari Rasulullah s.a.w.
Adapun satu diantaranya kuterangkan, tetapi yang satu macam lagi kalau
kuterangkan akan dipotong orang leherku”.
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib k.w. berkata:
“Ya Tuhanku, andai kata kutunjukkan permata ilmuku,
dikatakan orang aku termasuk orang-orang penyembah berhala. Laki-laki muslim
menghalalkan darahku, mereka menyangka apa yang kutunjukkan itu adalah yang
paling jelek, dan apa yang mereka perbuat itu adalah yang paling baik.
Ibnu ‘Abbas r.a. menyatakan tentang tafsir Al-Quran yang
berbunyi:
“Allah-lah yang menjadikan tujuh petala langit dan tujuh
petala bumi, Ia turunkan perintah kepada keduanya”.
Untuk itu beliau berkata:
“Kalau kutafsirkan ayat ini, kamu akan melempari aku
dengan batu – dalam riwayat lain – kamu mengatakan bahwa aku adalah orang
kafir.
Dari buku: Permata Yang Indah (Ad-durrunnafis)
Halaman: 184 – 193
Pengarang: Syekh M. Nafis Bin Idris Al Banjarie 1200 H
Alih bahasa: K.H. Haderanie H.N
Penerbit: CV. Nur Ilmu
Jalan Simolawang III/19 Surabaya
Telp: (031) 3769000 – 70993031
Halaman: 184 – 193
Pengarang: Syekh M. Nafis Bin Idris Al Banjarie 1200 H
Alih bahasa: K.H. Haderanie H.N
Penerbit: CV. Nur Ilmu
Jalan Simolawang III/19 Surabaya
Telp: (031) 3769000 – 70993031
Komentar
Posting Komentar