“Saya sudah kembali, Guruji”. Rasa malu nampak jelas pada
wajah saya.
“Kita kedapur dulu, cari makanan.” Cara Sri Yukteswar
menyambut saya, seolah-olah sedang ketemu lagi setelah berpisah selama berapa
jam, bukan selama berapa hari.
“Saya telah mengecewakan Guru. Saya pikir, Guru pasti
marah.”
“Tidak, sama sekali tidak. Amarah timbul karena keinginan
yang tidak tercapai. Aku tidak menginginkan sesuatu apapun dari siapapun.
Karena itu, aku tidak pernah kecewa, dan oleh karenanya tidak pernah marah.
Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga.”
“Guru, selama ini saya hanya mendengar tentang
Kasih Ilahi, sekarang saya merasakannya, melihatnya. Seorang ayah pun
akan berang, apabila perintahnya tidak diindahkan oleh anaknya. Guru tidak
marah, tidak gusar. Padahal, tugas-tugas di Ashram yang menjadi tanggung jawab
saya pasti terbengkalai.”
Beliau menatap mata saya yang sudah mulai berkaca-kaca. Dalam rasa haru itu, saya menemukan ketenangan yang amat sangat dalam. Saya menyadari sepenuhnya bahwa lewat Guru, Tuhan sedang membuka jiwa saya.
Berapa hari kemudian, pada suatu pagi saya memasuki ruangan beliau yang kebetulan kosong. Saya ingin melakukan meditasi dalam ruangan itu. Baru duduk sebentar, saya mendengar suara beliau memanggil saya.
Agak kesal juga. Dalam hati saya berpikir, “Biasanya selalu disuruh meditasi. Sekarang, baru meditasi, sudah dipanggil.”
Beliau menatap mata saya yang sudah mulai berkaca-kaca. Dalam rasa haru itu, saya menemukan ketenangan yang amat sangat dalam. Saya menyadari sepenuhnya bahwa lewat Guru, Tuhan sedang membuka jiwa saya.
Berapa hari kemudian, pada suatu pagi saya memasuki ruangan beliau yang kebetulan kosong. Saya ingin melakukan meditasi dalam ruangan itu. Baru duduk sebentar, saya mendengar suara beliau memanggil saya.
Agak kesal juga. Dalam hati saya berpikir, “Biasanya selalu disuruh meditasi. Sekarang, baru meditasi, sudah dipanggil.”
“Guru saya sedang meditasi,” jawab saya setengah teriak.
“Saya tahu persis, meditasi macam apa yang sedang kamu
lakukan. Pikiranmu sedang melayang ke mana-mana. Datanglah ke sini.”
Memang benar, waktu itu terlalu banyak pikiran yang
sedang mengganggu saya. Terasa sekali bahwa di hadapan beliau, batin saya, jiwa
saya telanjang bulat.
“Sini, pegunungan Himalaya tidak bisa memberi apa yang
kamu inginkan. Tetapi, bagaimana pun juga, keinginan hatimu akan terpenuhi, “
dan beliau menyentuh dada saya, sedikit di atas jantung.
Badan saya seolah-olah membatu , tidak bisa bergerak. Dan sepertinya ada magnet raksasa yang menarik keluar nafas dari paru-paru. Jiwa dan pikiran terlepas dari ikatan jasmani dan mengalir keluar lewat pori-pori. Badan tidak terasa lagi. Sepertinya sudah mati. Namun, saya tetap sadar. Sadar sepenuhnya bahwa sebelumnya saya tidak pernah sehidup seperti saat itu. Kesadaran saya meluas, merangkul segala sesuatu di luar diri.
Penglihatan saya yang sempit berubah menjadi pandangan yang amat sangat luas. Tiba-tiba saya bisa melihat dan merasakan segala sesuatu. Dan diatas segalanya, saya merasakan kesatuan, persatuan dengan semuanya. Sepertinya ada lautan cahaya, yang menyatukan semuanya. Itulah Yang disebut Tuhan…
Terasa pula getaran-getaran Ilahi dan terdengar Sabda Alam Semesta – Sabda Allah: Aum…
Tidak lama kemudian, nafas yang tadinya terasa ditarik keluar kembali ke paru-paru. Saya kecewa, karena dengan kembalinya nafas, pengalaman saya pun berakhir. Saya mulai merasakan kembali keterbatasan badan.
Saya sadar bahwa pengalaman tadilah yang sedang saya cari-cari selama itu. Saya menjatuhkan diri saya dikaki Sri Yukteswar. Sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mengucapkan terima kasih.
Badan saya seolah-olah membatu , tidak bisa bergerak. Dan sepertinya ada magnet raksasa yang menarik keluar nafas dari paru-paru. Jiwa dan pikiran terlepas dari ikatan jasmani dan mengalir keluar lewat pori-pori. Badan tidak terasa lagi. Sepertinya sudah mati. Namun, saya tetap sadar. Sadar sepenuhnya bahwa sebelumnya saya tidak pernah sehidup seperti saat itu. Kesadaran saya meluas, merangkul segala sesuatu di luar diri.
Penglihatan saya yang sempit berubah menjadi pandangan yang amat sangat luas. Tiba-tiba saya bisa melihat dan merasakan segala sesuatu. Dan diatas segalanya, saya merasakan kesatuan, persatuan dengan semuanya. Sepertinya ada lautan cahaya, yang menyatukan semuanya. Itulah Yang disebut Tuhan…
Terasa pula getaran-getaran Ilahi dan terdengar Sabda Alam Semesta – Sabda Allah: Aum…
Tidak lama kemudian, nafas yang tadinya terasa ditarik keluar kembali ke paru-paru. Saya kecewa, karena dengan kembalinya nafas, pengalaman saya pun berakhir. Saya mulai merasakan kembali keterbatasan badan.
Saya sadar bahwa pengalaman tadilah yang sedang saya cari-cari selama itu. Saya menjatuhkan diri saya dikaki Sri Yukteswar. Sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mengucapkan terima kasih.
Beliau mengangkat saya, “Jangan terlalu lama dalam
keadaan ekstase seperti tadi. Kamu masih punya banyak tugas dalam dunia ini.
Ayo, kita menyapu pekarangan Ashram. Setelah itu kita ketepi sungai Gangga.”
Kita memang harus menjaga keseimbangan antara pengalaman
rohani dan kewajiban jasmani. Sore itu, saya masih tetap dalam keadaan ekstase.
Terasa sekali, yang sedang jalan – yang sedang bergerak – bukanlah badan,
tetapi gumpalan cahaya.
“ Yang menggerakkan segala sesuatu dalam alam ini adalah
Tuhan. Kendati demikian, Ia juga melampaui segala sesuatu dalam alam ini.” Sang
Master melanjutkan, “Para suci yang telah menyadari Keilahian, menghayati hal
ini sepenuhnya. Aktif menunaikan kewajiban mereka dalam dunia ini, bagi dunia
ini, tetapi jiwa mereka, hati mereka selalu berada dalam alam keheningan,
kebahagiaan. Tuhan adalah sumber segala Kebahagiaan. Jiwa yang terperangkap
dalam badan kasar, yang serba terbatas ini, pada suatu ketika dapat melampaui
segala keterbatasan, dan menyadari hakikatnya, yaitu Kebahagiaan.”
Banyak pelajaran yang saya peroleh dari pengalaman itu.
Saya mulai meyakini bahwa badan kasar bukanlah identitas diri yang
sesungguhnya. Dengan latihan-latihan yang saya lakukan setiap hari, semakin
mudah bagi saya untuk menjinakkan pikiran yang liar dan berada dalam alam
Kesadaran Murni. Saya juga dapat menyimpulkan bahwa nafas dan pikiran saling
terkait. Nafas dan pikiran yang liar membuat kita melihat alam ini dalam
fragmen-fragmen kecil. Perbedaan antara bumi dan langit, antara makhluk hidup
dan benda mati – segala sesuatu yang bersifat dualitas – terlihat karena
pikiran yang masih bergejolak, masih liar. Dengan terjinakkannya pikiran,
dualitas pun sirna. Setiap kali pikiran saya terjinakkan, setiap kali nafas
saya tenang, saya akan merasakan kesatuan dan persatuan dengan alam semesta.
Semuanya seperti gelombang-gelombang lautan cahaya yang luas dan dasyat.
Seorang Master dapat membantu muridnya memperoleh
pengalaman ini. Namun sebelumnya, mind seorang murid harus dalam keadaan
reseptif dan siap. Dan reseptivitas semacam itu tidak bisa diperoleh atau
direkayasa lewat olah intelek atau keterbukaan pikiran. Reseptivitas semacam
itu hanya dapat diperoleh lewat latihan-latihan Yoga dan Bhakti atau penyerahan
diri sepenuhnya terhadap Kehendak Ilahi. Diatas segalanya, kerinduan seorang
murid akan pengalaman kosmis menjadi pemicu utama. Kelak saya akan menulis
sebuah puisi “Samadhi”. Dalam puisi ini, saya jelaskan keindahan pengalaman
kosmis, keindahan Kesadaran Murni :
Sirna sudah perbedaan antara gelap dan terang,
lenyap sudah pengalaman suka dan duka,
hilang sudah bayang-bayang yang terciptakan oleh panca indra.
Cinta dan benci, penyakit dan penyembuhan, kelahiran dan kematian, terlampaui sudah semuanya…
lenyap sudah pengalaman suka dan duka,
hilang sudah bayang-bayang yang terciptakan oleh panca indra.
Cinta dan benci, penyakit dan penyembuhan, kelahiran dan kematian, terlampaui sudah semuanya…
Tawa dan tangis, menyatu sudah dua-duanya,
dalam lautan luas kebahagiaan sejati…
dalam lautan luas kebahagiaan sejati…
Berlalu sudah badai ilusi
jernih sudah langit kesadaran…
Bagaikan awan gelap
kadang kala alam bawah sadarku
masih saja menutupi langit kesadaran…
jernih sudah langit kesadaran…
Bagaikan awan gelap
kadang kala alam bawah sadarku
masih saja menutupi langit kesadaran…
Bagaimanapun,
kesadaranku tak akan terpengaruh…
Alam jaga dan alam mimpi,
alam tidur pulas
bahkan alam lain diatasnya, tidak sesuatupun yang dapat menguasaiku…
kesadaranku tak akan terpengaruh…
Alam jaga dan alam mimpi,
alam tidur pulas
bahkan alam lain diatasnya, tidak sesuatupun yang dapat menguasaiku…
Masa kini, masa lalu dan masa depan,
tak sesuatu apa pun yang ada…
Yang Ada Hanyalah Aku…
Aku yang Maha Ada…
tak sesuatu apa pun yang ada…
Yang Ada Hanyalah Aku…
Aku yang Maha Ada…
Semesta ini berada dalam dirku…
Makhluk hidup dan benda mati,
dua-duanya dalam diriku…
Baik dan buruk, kebebasan dan keterikatan,
semuanya telah menyatu dengan lautan luas Diri Ku…
Makhluk hidup dan benda mati,
dua-duanya dalam diriku…
Baik dan buruk, kebebasan dan keterikatan,
semuanya telah menyatu dengan lautan luas Diri Ku…
Akulah Engkau, Engkaulah Aku!
Pengetahuan, Yang Mengetahui dan Yang Diketahui, semuanya satu!
Demikian Samadhi telah memperluas kesadaranku…
Pengetahuan, Yang Mengetahui dan Yang Diketahui, semuanya satu!
Demikian Samadhi telah memperluas kesadaranku…
Kebahagiaan Sejati itulah asal-usulku…
Dalam kebahagiaan pula aku berada…
Dan dengan Kebahagiaan itu aku bersatu,aku menyatu…
Dalam kebahagiaan pula aku berada…
Dan dengan Kebahagiaan itu aku bersatu,aku menyatu…
Keabadian, Kelanggengan, itulah jati diriku…
Setetes air laut, Aku pula Lautan Yang Luas itu…
Setetes air laut, Aku pula Lautan Yang Luas itu…
( PARAMHANSA YOGANANDA )
Sri Yukteswar mengajari saya cara untuk memperoleh
pengalaman kosmis, sewaktu-waktu. Beliau juga memberitahu cara untuk membantu
orang lain mengalami hal yang sama, apabila orang itu sudah cukup siap, cukup
reseptif. Kendati demikian, pada suatu hari saya masih saja mengeluh, “Guru,
saya ingin menemui Tuhan.”
“Kamu sudah menemui-Nya,” jawab Sri Yukteswar.
“Tidak Guru, sepertinya belum.” Saya masih tidak yakin.
Beliau ketawa, “Saya yakin kamu tidak berpikir bahwa
Tuhan berada di salah satu tempat, lengkap dengan takhta-Nya. Sepertinya, kamu
berpikir bahwa seorang ‘Manusia Allah’ menjadi orang sakti, lantas ia akan
menunjukkan mukjizat. Tidak demikian. Mukjizat dan lain sebagainya itu tidak
bisa dijadikan tolok ukur kesadaran rohani. Tolok ukurnya bukanlah kekuatan,
kesaktian dan mukjizat-mukjizat, seperti yang kamu pikirkan. Tolok ukurnya
adalah kedalaman rasa bahagia dia dalam meditasi.
“Tuhan adalah Kebahagiaan Sejati – Kebahagiaan yang tidak pernah usang, yang selalu baru, selalu segar. Mereka yang menyadari-Nya, merasakan-Nya, tidak akan pernah tergoda oleh kebahagiaan-kebahagiaan duniawi yang bersifat semu dan sementara.
Benda-benda diluar diri hanya bisa memberikan kesenangan sesaat. Kebahagiaan sejati tidak dapat diperoleh dari benda-benda tersebut. Kebahagiaan sejati harus ditemukan dalam diri sendiri, dalam Tuhan.
Ia tak terjangkau oleh pikiran manusia, namun juga sangat dekat dengan manusia. Latihan-latihan Kriya Yoga mengantar kita kealam meditasi. Dan dalam alam meditasi itu, kita menemukan Kebahagiaan Sejati. Kita menemukan Tuhan. Kita memperoleh bimbingan-Nya.”
“Tuhan adalah Kebahagiaan Sejati – Kebahagiaan yang tidak pernah usang, yang selalu baru, selalu segar. Mereka yang menyadari-Nya, merasakan-Nya, tidak akan pernah tergoda oleh kebahagiaan-kebahagiaan duniawi yang bersifat semu dan sementara.
Benda-benda diluar diri hanya bisa memberikan kesenangan sesaat. Kebahagiaan sejati tidak dapat diperoleh dari benda-benda tersebut. Kebahagiaan sejati harus ditemukan dalam diri sendiri, dalam Tuhan.
Ia tak terjangkau oleh pikiran manusia, namun juga sangat dekat dengan manusia. Latihan-latihan Kriya Yoga mengantar kita kealam meditasi. Dan dalam alam meditasi itu, kita menemukan Kebahagiaan Sejati. Kita menemukan Tuhan. Kita memperoleh bimbingan-Nya.”
“Terimakasih Guru, saya baru sadar. Ya, saya telah
menemukan Tuhan. Kebahagiaan yang saya peroleh dalam alam meditasi sekarang
sudah menjadi bagian dari hidup saya sehari-hari. Dan rasa bahagia itu pula
yang telah menuntun saya, mewarnai perilaku dan tindakan saya.”
“Sebelum menemukan Tuhan, sebelum menemukan Sumber
Kebahagiaan dalam diri sendiri, hidup ini penuh dengan duka. Namun setelah
menemukan-Nya, hidup ini menjadi sebuah perayaan. Ia akan senantiasa
membimbingmu. Kebijaksanaan-Nya memang sering sekali bertolak belakang dengan
apa yang terpikir olehmu. Kendati demikian, jangan menyangsikan
Kebijaksanaan-Nya. Yakinilah Dia!”
(Dari buku: Meniti Kehidupan Bersama Para Yogi, Fakir dan
Mistik-
Otobiografi Paramhansa Yogananda. Dikisahkan kembali oleh: Anand
Krishna
Halaman 163 – 172 Bab 14)
Halaman 163 – 172 Bab 14)
* Otobiografi
Seorang Yogi bukanlah buku biasa. Buku spiritual yang klasik ini sangat
berharga. Sejak pertama diterbitkan pada tahun 1946, sudah jutaan eksemplar
yang terjual diseluruh dunia, dan telah diterjemahkan kedalam lebih dari dua
puluh bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Bila kita mengikuti pesan-pesan
didalamnya, berarti kita memulai sebuah petualangan besar dalam kehidupan.
Paramhansa
Yogananda adalah salah seorang Yogi pertama yang meninggalkan India untuk
mengajar di Barat. Pada mulanya ia mengunjungi seluruh pelosok Amerika,
menyampaikan ceramah di aula-aula terbesar yang selalu dipenuhi oleh para
pendengarnya. Setelah kunjungan singkat ketanah kelahirannya, ia mendiami
sebuah rumah ditepi pantai dan menulis buku ini. Karya ini membantu
meluncurkan, dan senantiasa mengilhami revolusi spiritual di Barat.
___Kris Haahs, Ph.D
Komentar
Posting Komentar