Dikisahkan—Seorang Pendeta Kelima dalam sebuah biara
mengatakan: “Barang siapa mampu menulis syair yang menggambarkan kedalaman
capaian diri, niscaya syair akan membantunya.”
Pemimpin biara menulis:
“Raga adalah pohon bodhi,
pikiran bagaikan cermin yang jernih
Setiap waktu kita mesti menjernihkannya
Menyingkirkan debu penghalang cahaya”
pikiran bagaikan cermin yang jernih
Setiap waktu kita mesti menjernihkannya
Menyingkirkan debu penghalang cahaya”
Kita dapat memaknai syair sebagai berikut: Kalau saya
mampu mempertahankan kemurnian pikiran dan ketenangan batin, maka segala
sesuatunya akan berjalan sebagaimana mestinya. Debu yang dimaksud disini adalah
debu pikiran dan pendapat, konsep dan ide, segala macam bentuk keraguan yang
keluar masuk pikiran sehari-hari. Pemimpin biara tadi ingin mengatakan bahwa
pikiran, sebagai realitas paling asali, adalah dasar dari segala tindakan kita,
dan hanya amalan-amalan spiritual yang dapat menjaga kemurnian pikiran ini dari
debu-debu yang akan mengotorinya. Pikiran bagaikan cermin, yang memantulkan
benda di depannya sebagaimana adanya.
Saat Hui-neng membaca syair ini, dia tahu bahwa pemimpin
biara belum sampai pada inti kebenaran yang sesungguhnya, kemudian dia pun
menulis sebuah syair:
“Bodhi
sebenarnya tidak memiliki pohon apa pun
Cermin pun tidak memiliki tempat.
Sedari awal memang tidak ada apa-apa
Lalu di mana pula tempat bagi debu.”
Cermin pun tidak memiliki tempat.
Sedari awal memang tidak ada apa-apa
Lalu di mana pula tempat bagi debu.”
Hui-Neng hanya ingin mengatakan bahwa cermin sekalipun,
apakah ditutupi debu atau tidak, tetap saja merupakan satu benda, dank arena
itu tidak ada bedanya dengan “debu” tadi. Guru lain pun mengungkapkan maksud
Hui-Neng yang terakhir ini dengan “Kekosongan pun sebenarnya sebuah
kekosongan”.
Syair dari kepala biara tadi mewakili Aliran Buddhisme
Utara dalam Zen, sementara syair Hui-neng mewakili Aliran Selatan. Yang pertama
menempuh jalan pencerahan dengan bertahap, sementara yang kedua mengambil jalan
pencerahan dadakan. Perbedaan ini bukan hanya khusus pada aliran Zen di China,
tapi juga mendasari dua kecenderungan dasar dari kehidupan spiritual manusia
secara keseluruhan.
Cara lain menyatakan masalah ini adalah dengan mengatakan
bahwa kehidupan religius datang dari kesadaran bahwa penderitaan merupakan
gangguan terhadap eksistensi. Penderitaan ini lahir dari dualitas , dan karena
itulah keinginan untuk menyatu dapat dijadikan sebagai sarana menghilangkan
dualitas tersebut dan membebaskan diri dari penderitaan. Setiap agama memiliki
cara dan istilah masing-masing dalam mencapai kesatuan ini.
___Dari buku : Zen and the Sutras
Jalan Menuju Pencerahan
Halaman : 51 – 53
Oleh : Albert Low
Jalan Menuju Pencerahan
Halaman : 51 – 53
Oleh : Albert Low
***
* Bodhi : Pengetahuan tanpa refleksi
* Hui-neng : adalah seorang Guru Zen yang mengalami
pencerahan hanya karena mendengar seorang biksu membaca Sutra Intan. Sampai
saat itu, dia belum pernah mendengar Buddhisme atau pencerahan.
* Zen : adalah kata Jepang yang didasarkan pada ideogram
China—ch’an, yang merupakan aliterasi dari kata Sansekerta—dhyana.
Komentar
Posting Komentar