“Sri Krishna!” Saat itu saya berada dalam kamar hotel
Regent di Bombay, dan tiba-tiba muncul Wujud Sri Krishna (yang dimaksudkan
adalah Batara Krishna dalam pewayangan Jawa yang sebenarnya adalah seorang
avatar dan tokoh historis, ia lahir di India kurang lebih 3000 tahun sebelum
Masehi—a.k).
Beliau melambaikan tangannya, mengangguk-angguk dan
memberikan senyumannya yang khas. Kendati saya tidak dapat memahami maksud
penampakkan tersebut, jiwa saya terasa terangkat. Suatu pengalaman spiritual
yang indah sekali! Karena penundaan jadwal pemberangkatan, saya masih berada di
Bombay. Seminggu setelah penampakan Sri Krishna, pada tanggal 19 Juni 1936,
dalam alam meditasi saya melihat cahaya yang indah, mulia! Begitu
menyilaukannya cahaya tersebut, sehingga saya mengakhiri meditasi dan membuka
mata. Ternyata memang seluruh ruangan bermandikan cahaya. Sepertinya, suatu
alam yang berbeda—alam cahaya murni. Dan dalam cahaya itu, saya melihat Wujud
Sri Yukteswar, berdarah daging—wujud jasmani beliau! (dalam cerita ini, Sri
Yukteswar—guru dari Paramhansa Yogananda telah meninggal. __Agus)
“Nak,” begitu mendengar suaranya, saya bergegas untuk
mendekati dan merangkul beliau—sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelum
itu. Biasanya, saya akan selalu bersungkem.
“Master, kenapa saya dibiarkan pergi ke Kumbha Mela,
kenapa saya tidak dilarang? Saya belum bisa memaafkan diri saya untuk kesalahan
itu.“ Saya langusung mengeluh.
“Aku tidak ingin menganggu rencanamu. Bagaimanapun juga,
toh sekarang aku bersamamu lagi.”
Saya masih ragu-ragu, “Apakah ini betul-betul wujud fisik
Guru? Wujud fisik yang pernah saya perabukan?”
“Ya, Nak. Wujud fisik yang sama—berdarah daging. Walaupun
bagiku wujud ini adalah wujud etheric, tetapi kamu tidak akan bisa melihat perbedaannya.
Aku mengumpulkan atom-atom kosmis dari alam dan menyusunnya sedemikian rupa,
sehingga terwujudlah badan etheric ini—wujud etheric yang persis sama seperti
wujud fisik yang telah kamu perabukan. Kebangkitanku ini sebetulnya terjadi
dalam alam
astral. Dan dalam astral yang sama pula, pada suatu
ketika kamu dan teman-temanmu akan bergabung denganku.”
Saya masih ingin memperoleh penjelasan yang lebih rinci,
dan beliau melanjutkan:
“Sebagaimana para nabi diutus ke dunia untuk membimbing
umat manusia, begitu pula aku di utus kealam astral sebagai pemandu. Dalam alam
itu pun hukum karma masih berlaku. Aku ditugaskan untuk membantu mereka yang
berada dalam alam tersebut.
Para nabi dan avatar adalah manusia-manusia yang mati
dalam keadaan sadar. Dalam masa kehidupan mereka terakhir di dunia, mereka
telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi—nirbikalpa Samadhi, keseimbangan
diri yang total, tak terganggu.
Kamu telah membaca tentang tiga macam lapisan kepribadian
manusia, tiga macam badan:
Pertama, badan fisik, terbuat dari darah, daging dan lain sebagainya. Kedua, badan mental, emosional. Dan ketiga, badan penyebab.
Pertama, badan fisik, terbuat dari darah, daging dan lain sebagainya. Kedua, badan mental, emosional. Dan ketiga, badan penyebab.
(Istilah-istilah yang digunakan oleh Paramhansa Yogananda
dalam bukunya adalah gross physical body untuk badan fisik, subtle astral body,
seat of man’s mental and emotional natures untuk badan mental, emosional, dan
the idea, or causal body untuk badan penyebab. Referensi yang diberikan oleh
Sri Yukteswar bersumber dari Upanishad yang juga disebut Vedanta (intisari
ajaran Veda), serta Garuda Purana (salah satu teks klasik tentang fenomena
“kematian”). Dalam buku Reinkarnasi: Hidup Tak Pernah Berakhir yang juga
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, saya menerjemahkannya sebagai berikut:
Pertama, badan fisik, kedua, badan etheric dan ketiga, badan astral. Memang ada
perbedaan “label” walaupun produknya sama. Konsep dasarnya sama, karena
sumbernya memang sama dan pengalaman setiap orang sama hanya berbeda
“sebutan”.—a.k.)
“Selama masih berada dalam dunia ini, badan manusia
dilengkapi dengan panca indera. Dalam alam astral ia tidak lagi memiliki panca
indera, tetapi masih bisa berpikir, dan merasakan. Badan dia terbuat dari
“prana”—energi.
(Paramhansa sendiri agak bingung, lantas menerjemahkan
istilah “prana” yang digunakan oleh Sri Yukteswar sebagai “lifetron”. Demikian
yang beliau kemukakan dalam catatan kaki. Terjemahan itu tepat sekali. Itu pula
sebabnya saya menggunakan istilah etheric body bagi badan yang satu ini.—a.k.)
“Mereka yang berada dalam badan ketiga, badan penyebab
senantiasa ‘merasakan’ kebahagiaan sejati. Aku diberi tugas untuk membantu
mereka yang berada dalam alam kedua, dan akan memasuki alam ketiga.”
Saya masih ingin tahu lebih banyak. Dan beliau pun
menjelaskan:
“Alam astral juga memiliki planet-planet, lengkap dengan
penghuninya. Wahana transportasi antar planet yang digunakan adalah massa
cahaya dengan kecepatan lebih tinggi dari listrik dan energi-energi radioaktif.
Alam tersebut ratusan kali lebih luas daripada alam materi, yang dihuni oleh
manusia. Dan juga memiliki bintang, bulan dan matahari yang takterhitung
jumlahnya. Alam ini tidak mengenal pergantian cuaca, sehingga tidak terjadi kontaminasi
seperti di bumi. Tidak ada bakteri, serangga, ular dan lain sebagainya.
(Sri Yukteswar ingin menjelaskan bahwa dalam alam
tersebut, tidak ada “bentuk-bentuk kehidupan yang rendah”. Jelas karena
“manusia” saja, yang kita anggap sebagai “bentuk kehidupan tertinggi” dalam
alam kita, tidak bisa memasuki alam tersebut, sebelum meninggalkan badan
kasatnya. Kendati demikian, Sri Yukteswar menjelaskan adanya
tingkatan-tingkatan dalam alam astral yang saya sebut “etheric”. Berada pada
tingkatan-tingkatan tersebut, mereka yang mati “tanpa kesadaran” masih bingung
dan masih terikat dengan badan kasat yang sudah tertinggal di bumi. Mereka ini
yang biasanya dihubungi dan digunakan oleh para dukun. Ada yang menyebutnya
“roh-roh yang masih gentayangan”, yang belum rela mati, dan masih terobsesi
dengan dunia benda, sehingga dapat dihubungi dengan mudah sekali. Deskripsi
selanjutnya yang diberikan oleh Sri Yukteswar sangat metaforis. Pendek kata,
alam tersebut terbuat dari “cahaya murni”.—a.k.)
“Para penghuni alam astral hanya menggunakan ‘niat’ untuk
mengubah atau memperbaiki sesuatu, termasuk suatu keadaan. Mereka bisa berubah
wujud dan bisa saling berkomunikasi. Tidak setiap orang yang ‘mati’ di bumi
dapat memasuki alam ini. Hanya mereka yang sudah mencapai tingkat kesadaran
spiritual tertentu yang dapat memasukinya. Badan astral juga memiliki ‘otak’
yang terbuat dari ‘cahaya’. Selain itu, masih ada 6 pusat energi lainnya.
(Pusat energi ini biasanya disebut “chakra”. Banyak
sekali penulis mengaitkan chakra-chakra dengan badan kasat, padahal kaitannya
jelas-jelas dengan badan “etheric”. Latihan-latihan yoga yang sebagaimana saya
berikan dalam buku Kundalini Yoga Dalam Hidup Sehari-hari yang juga diterbitkan
oleh Gramedia Pustaka Utama dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran semasa
kita masih berada dalam badan kasat. Dengan demikian, kita bisa mempercepat
evolusi jiwa, sehingga tidak perlu berada lama dalam “etheric body”. Setelah
meninggalkan “etheric body” kita harus bisa memasuki alam astral, yang oleh
Paramhansa Yogananda disebut alam “causal”.—a.k.)
“Dalam alam ini pula, kita bisa bertemu kembali dengan
kawan dan kerabat dari masa-masa kehidupan sebelumnya, di bumi. Begitu banyak
yang kita temui, sehingga tidak bisa terikat dengan kawan-kerabat dari satu
masa kehidupan. Sekian banyak ayah, dan sekian banyak ibu, dan sekian banyak
anak dari sekian banyak masa kehidupan. Dengan sendirinya, kesadaran kasih akan
muncul. Keterikatan dan rasa kepemilikan akan terlampaui!
Karena senantiasa dalam keadaan tenang, damai dan
bahagia, mereka jarang tidur. Mereka juga tidak perlu bernapas seperti manusia
di bumi. Cahaya adalah sumber energi yang menghidupi mereka.
Ada yang bisa tinggal lama dalam alam ini, ada yang
singgah sebentar saja. Ada yang langsung lahir kembali. Semuanya itu ditentukan
oleh ‘karma’ seseorang semasa hidupnya di dunia.”
Menjawab pertanyaan saya tentang reinkarnasi dan
kaitannya dengan alam-alam yang di ceritakan, beliau menjawab, “Pada dasarnya
jiwa atau roh individu bersifat causal (“astral” dalam bahasa saya—a.k.) dan
terdiri dari 35 elemen. Diantaranya, 19 elemen di gunakan untuk menciptakan
astral body (“etheric” dalam bahasa saya—a.k.) dan 16 elemen untuk badan fisik,
badan kasat.
Berarti dengan ‘matinya’ badan fisik, badan astral tidak
akan langsung mati. Masih ada 19 elemen yang tersisa.
(Uraian Sri Yukteswar memang panjang lebar, dan luar
biasa, namun pada saat yang sama bisa membuat kita begitu tertarik dengan alam
etheric yang beliau sebut astral sehingga kita akan lupa melewatinya. Kita akan
berjalan di tempat. Banyak sekali para suci yang masih terperangkap dalam alam
ether. Inilah yang biasanya disebut sorga. Kita bisa lupa tujuan, bisa kelamaan
berada dalam alam ini. Apa artinya 2—3,000 tahun? Anda bisa berada dalam alam
ini selama puluhan ribu tahun. Itu sebabnya, banyak orang yang menganggap sorga
sebagai tujuan akhir. Padahal tidak demikian. Masih banyak lapisan-lapisan
keberadaan yang lain! Sri Yukteswar justru diberi tugas untuk menyadarkan
mereka yang sudah kelamaan berada dalam alam astral, yang saya sebut etheric.
Mereka harus disadarkan bahwa perjalanan mereka masih panjang. —a.k.)
“Setelah meninggalkan alam astral, seseorang baru bisa
memasuki alam causal. Dalam alam ini, roh individu menyadari betapa tidak
berartinya kenikmatan-kenikmatan fisik dan astral. Ia mulai merasakan
‘kebahagiaan sejati’ yang bersumber dari dalam dirinya sendiri.
(Saya harus merujuk pada sumber-sumber asli dalam bahasa
Sansekerta yang juga menjadi rujukan Sri Yukteswar dan Paramhansa Yogananda.
Berada pada alam causal atau apa yang saya sebut alam astral, roh masih
mempertahankan individualitasnya—sangat halus, sangat lembut, tetapi masih
tetap memiliki ciri-ciri khas yang membuat satu roh berbeda dari yang lain.
Pengalaman utama roh dalam alam ini adalah “pengalaman ananda”. Paramhansa
Yogananda menerjemahkan sebagai “bliss”. Betul sekali, jadi bukan sekedar
“happiness” yang selalu mengalami pasang surut, tetapi “bliss” yang langgeng,
kekal dan abadi.
Badan fisik kita biasanya hanya mengejar “kenikmatan”
atau “pleasure”, padahal yang sedang dicari oleh roh adalah “happiness” atau
“kebahagiaan”—bahkan “bliss” atau “kebahagiaan kekal abadi, langgeng dan tidak
pernah mengalami pasang surut”.
Berdasarkan perkembangan jiwa dan kesadaran orang, ada
yang bicara tentang “kenikmatan”, ada yang bicara tentang “kebahagiaan”, ada
pula yang bicara tentang “kebahagiaan kekal abadi”. Berada dalam badan
fisik, apabila kita sudah mulai mengenal “ananda” atau kebahagiaan yang kekal
abadi—dan tidak tergoda oleh kenikmatan dan kebahagiaan sesaat—maka setelah
meninggalkan badan fisik, setelah mati, kita tidak perlu berlama-lama lagi di
alam-alam etheric, astral dan lain sebagainya.
Merasakan kebahagiaan yang kekal abadi dan bersumber dari
“diri sendiri”, tidak bersandar pada objek-objek di luar diri, masih merupakan
salah satu “terminal” dalam perjalanan roh. Terminal itu pun harus
dilewati!—a.k.)
“ Kita bisa berada dalam alam causal selama beribu-ribu
tahun, namun alam causal atau astral itu pun harus dilewati. Setelah
terbebaskan dari alam-alam tersebut, kita menyatu dengan Keberadaan, dengan
Semesta.”.
(Diterjemahkan oleh Paramhansa Yogananda sebagai
“Ever-Existent”. Saya menerjemahkannya sebagai “Keberadaan”. Itu pula sebabnya,
selama ini dalam buku-buku lain pun, saya selalu menggunakan istilah
Keberadaan. “Allah” yang menurut sumber-sumber kuno berarti “All That Is” juga
memiliki arti yang sama yang dalam bahasa Sansekerta disebut “Tat Sat”.—a.k.)
“Persatuan dengan Keberadaan sekalipun masih menyisihkan
sedikit “individualitas”—inilah yang disebut “Kesadaran Kristus”. Seorang Yesus
telah mencapai kesadaran tersebut.
(Paramhansa sengaja menggunakan istilah-istilah
Kristiani, karena sedang berhadapan dengan masyarakat yang mayoritasnya
beragama Kristen. Saya menyebutnya “Kesadaran Murni”—a.k.)
“Apabila seorang master sudah mencapai Kesadaran Murni,
ia bisa memilih lahir kembali di dunia, untuk membimbing, menuntun umat
manusia.
(Para utusan, para avatar, para mesias dan para Buddha
adalah master-master yang telah mencapai tingkat kesadaran tersebut. Mereka
sadar betul akan tugas mereka.—a.k.)
“Ia juga bisa memilih berada di alam astral dan menuntun
roh-roh yang ada dalam alam tersebut. Kendati demikian, yang paling penting
adalah penyelesaian karma—penyelesaian keinginan-keinginan dan obsesi-obsesi
duniawi. Setelah semuanya itu terselesaikan, kita baru bisa memasuki alam-alam
yang lain. Selama keterikatan dengan dunia benda belum terlampaui, tidak akan
terjadi peningkatan kesadaran dalam diri manusia. Ia akan mati dan lahir
kembali di dunia yang sama ini, berulang kali—ratusan, ribuan kali.”
Selama itu, saya baru membaca tentang alam-alam kesadaran
tersebut dari teks-teks kuno. Sekarang saya mendengarkan penjelasan dari
seseorang yang tengah mengalaminya!
Sri Yukteswar meneruskan, “Dalam hidup sehari-hari,
seorang manusia sebenarnya sudah mengalami ketiga alam tersebut. Apabila ia
sedang berinteraksi dengan benda-benada duniawi, sesungguhnya ia berada dalam
alam fisik. Saat ia sedang berpikir tentang sesuatu atau membayangkan sesuatu,
ia berada dalam alam astral. Dan saat berada dalam alam meditasi, sebenarnya ia
tengah mengalami alam causal.
Dalam keadaan jaga selama kurang lebih 16 jam setiap
hari, seorang manusia lebih banyak berada pada alam fisik. Dalam keadaan tidur,
apabila ia sedang mimpi, ia berada dalam alam astral; dan dalam keadaan tidur
pulas tanpa mimpi, ia berada dalam alam causal. Itu sebabnya seorang yang
bermimpi, sebenarnya belum berkontak dengan alam causal dan setelah bangun
tidur tidak sesegar orang yang tidur pulas, tanpa mimpi.
(Para dukun, ahli nujum dan lain-lain yang sangat
memperhatikan mimpi sesungguhnya masih belum punya pengalaman tentang alam-alam
kesadaran yang lebih tinggi.—a.k.)
“Setelah mengetahui kebenaran tentang ‘kematian’ dan
‘kelahiran’ hendaknya seseorang tidak terikat pada dunia benda. Sampaikan
cerita ini kepada setiap orang, yang masih hidup dalam mimpi, yang masih takut
mati. Semasa hidup di bumi, saya sering memarahi dan menguji kamu. Ternyata
kamu lulus. Cintamu, kasihmu dan kesungguhanmu untuk memahami Kebenaran telah
teruji! Pada suatu ketika nanti, badanmu dan badanku—badan kita yang tampaknya
berbeda ini—akan bersatu, menyatu dengan Keberadaan. Setelah itu, tidak akan
ada perpisahan lagi.”
Sri Yukteswar masih menjelaskan beberapa hal lain, yang
tidak dapat saya jelaskan dalam buku ini. Sebelum berpisah, beliau memberi
janji, “Setiap saat, apabila kamu memasuki alam nirbikalpa Samadhi—alam
meditative di mana jiwa tidak bergejolak dan tengah mengalami keseimbangan
sejati—dan memanggilku, aku akan menampakkan diri, persis seperti pengalamanmu
sekarang ini.”
Semoga cerita ini membuat kita semakin sadar akan sifat
sementara yang melekat pada dunia benda ini—betapa temporernya kenikmatan yang
kita peroleh dari semua ini.
(Dari buku: Meniti Kehidupan Bersama Para Yogi, Fakir Dan
Mistik
Otobiografi Paramhansa Yogananda
Halaman: 476 — 489
Dikisahkan kembali oleh: Anand Krishna)
Otobiografi Paramhansa Yogananda
Halaman: 476 — 489
Dikisahkan kembali oleh: Anand Krishna)
* Otobiografi Seorang Yogi bukanlah buku biasa. Buku
spiritual yang klasik ini sangat berharga. Sejak pertama diterbitkan pada tahun
1946, sudah jutaan eksemplar yang terjual diseluruh dunia, dan telah diterjemahkan
kedalam lebih dari dua puluh bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Bila kita
mengikuti pesan-pesan didalamnya, berarti kita memulai sebuah petualangan besar
dalam kehidupan.
Paramhansa Yogananda adalah salah seorang Yogi pertama
yang meninggalkan India untuk mengajar di Barat. Pada mulanya ia mengunjungi
seluruh pelosok Amerika, menyampaikan ceramah di aula-aula terbesar yang selalu
dipenuhi oleh para pendengarnya. Setelah kunjungan singkat ketanah
kelahirannya, ia mendiami sebuah rumah ditepi pantai dan menulis buku ini.
Karya ini membantu meluncurkan, dan senantiasa mengilhami revolusi spiritual di
Barat. – Kris Haahs, Ph.D
Komentar
Posting Komentar