Dan janganlah engkau bergeser dari maqam yang
mengumpulkan antara syari’at dan hakikat, sesuai dengan perkataan diatas.
Setelah hamba tersebut mencapai hakikat pada segala maqam itu, maka diapun
menjadi hamba Allah ta’ala yang sebenarnya dan bebas dari apa yang selain Allah
swt. Itulah tujuan yang agung dan tuntutan yang utama. Maqam ini yang dinamakan
maqam kehambaan yang mutlak. Penghambaan yang mutlak, yaitu derajat yang paling
tinggi bagi seorang hamba. Hal ini disebut oleh Allah ta’ala sebagai
penghargaan bagi hamban-Nya Muhammad saw dalam firman-Nya:
“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamban-Nya pada
suatu malam.”
Tuhan tidak berfirman dengan menggunakan kata rasul-Nya,
nabi-Nya, atau kekasih-Nya, karena tidak ada tingkatan yang lebih mulia bagi
seorang hamba kecuali tingkat ketuhanan yang hanya khusus dimiliki Pencipta
swt. Dalam tingkatan ini juga seorang hamba yang ingat akan menjadi yang
diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat menjadi
yang dilihat, yang menyaksikan menjadi yang disaksikan, yang berkehendak
menjadi yang dikehendaki, yang mencintai menjadi yang dicintai, Tuhan itu
adalah hamba, dan hamba itu adalah Tuhan, karena ia telah fana pada Allah
ta’ala dan baqa dengan baqa-Nya Allah swt dan ia menghabiskan waktunya untuk
memandang kebesaran yang indah dan keindahan yang besar dengan menyaksikan-Nya
terus-menerus, seakan-akan dirinya telah lenyap dan pupus, seakan-akan ia
adalah Dia karena ia berakhlak dengan akhklak Tuhannya. Kemudian, bisa jadi
seorang hamba tenggelam dalam maqam ini dengan terus menerus menyaksikan yang
banyak dalam yang satu dan yang satu dalam yang banyak, sehingga ia dikuasai
oleh keadaan itu, dimana al-Haq ta’ala menampakkan kebesaran-Nya, dan
kekuasaan-Nya, sehingga ia tidak dapat melihat wujud selain al-Maujud yang
berdiri sendiri, dan yang pengetahuan serta penemuan-Nya tampak dalam bentuk
segala sesuatu. Maka sampailah dia ke maqam ainiyyah (Zat Tuhan Yang Maha Esa)
yang menghapuskan dualisme.
Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda: “Orang
mukmin adalah cermin orang mukmin.”
Artinya seorang mukmin yang baharu adalah cermin mukmin
yang qadim. Maka akan tampaklah salah satunya pada yang lain. Maka terucaplah
apa yang terucap melalui lidah hamba yang sedang dalam keadaan fana dan
tenggelam dalam penyaksian ke-Esaan mutlak, pada saat itu keluarlah ucapan
tanpa disengaja seperti ucapan Abu Mansur al-Hallaj al Bagdadi, “Akulah al-Haq”
,ucapan Nasim al-Halabi, “Akulah Tuhan”, dan ucapan Abu Yazid al-Bustami, “Maha
suci aku, alangkah agungnya keadaanku”, ucapan Abu Bakr al-Syibli, “Yang ada
dalam jubahku hanyalah Allah”, dan ucapan Abu al-Gais Ibn Jamil al-Yamani,
“Jadilah Aku maha kuasa atas segala sesuatu”. Dan lain-lain ucapan yang
diucapkan tanpa sadar oleh para sufi dalam keadaan ekstasi. Pada hakikatnya Allah
ta’ala lah yang menampakkan diri dan berbicara melalui lidah hambanya, bukan
hamba itu sendiri.
Hadis Qudsi: “Senantiasa hamba-Ku mendekatkan dirinya
kepada-Ku dengan mengerjakan yang sunah sehingga Aku mengasihinya. Bila Aku
telah mengasihinya, Akulah yang menjadi telinganya untuk mendengar, menjadi
matanya untuk melihat, menjadi tangannya untuk berbuat, menjadi kakinya untuk
berjalan, dan menjadi lidahnya untuk berbicara”
Dan firman Allah swt dalam hadis Qudsi, “Barang siapa
mencari-Ku, dia akan mendapatkan Aku, dan barang siapa telah mendapatkan Aku,
akan Kucintai dia. Dan barang siapa yang Aku cintai, Aku akan asyiki dia, dan
siapa yang Aku asyiki, Ku-bunuh dia, dan barang siapa yang telah Ku-bunuh,
Akulah yang membayar diatnya dan Aku sendirilah yang menjadi diatnya”.
Ketika itu jadilah Dia Yang Maha-Haq, Yang Maha Suci dan
Maha Tinggi. Dalam maqam ini, jadilah Dia maqam semua hamba yang selalu
mendekatkan dirinya kepada-Nya ta’ala. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menunaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya”. Pada tingkat ini seorang hamba dapat juga dinamakan
al-insan al-kamil. Maka ia menjadi suatu rahasia dari rahasia-rahasia Allah
ta’ala, sesuai dengan firman-Nya ta’ala dalam hadis qudsi:
“Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya”.
Yang dimaksud dengan manusia disini adalah manusia
sempurna, yang mengenal Tuhan dan sampai kemakam ini, bukan manusia biasa yang
tidak sempurna, yang dikatakan sebagai binatang yang berbentuk manusia. Maka arti
yang terkandung dalam hadis ini bahwa manusia sempurna ialah manusia yang tidak
lalai dalam mengingat Allah ta’ala walaupun dalam sekejap mata. Ia dalam segala
hal dan dalam segala urusannya adalah dari Allah kepada Allah, atas (kemauan)
Allah dalam diri Allah, untuk Allah bersama Allah disisi Allah. Kalau tidak
demikian, maka bukanlah manusia yang sempurna. Kemudian Allah selalu berada
dalam hatinya karena ia tidak pernah lupa kepada Tuhan dalam hatinya. Dengan
demikian, maka Allah swt menjadi rahasia hatinya, dan Allah swt pun demikian
pula, ketika Dia melihat hamba-Nya itu telah siap untuk penampakkan khusus
diri-Nya lalu Dia memberikan kepadanya berbagai macam sifat-Nya. Seolah-olah
hamba telah berakhlak dengan akhlak-Nya menjadi Dia, dan menjadi khalifah-Nya
dan menyerupai-Nya, karena Tuhan menciptakan Adam untuk dijadikan khalifah-Nya,
karena khalifah adalah gambaran dari yang mengangkatnya menjadi khalifah. Jika
demikian halnya, maka Ia juga memandang hamba-Nya dengan mata-Nya yang tidak
pernah tidur dan menggantikannya dalam segala hal. Dengan demikian dapat
dikatakan ia adalah rahasia Allah ta’ala.
Sebagian ahli tasawuf berkata, “Bahwa yang dimaksud oleh
hadis, “Manusia adalah rahasia-Ku”, ialah tetapnya manusia itu dalam ilmu Tuhan
sebelum ia dilahirkan dan sebelum ia berada di alam luar. Karena Allah ta’ala
selalu berada dalam hati hamba ini. Karena itu hatinya dinamakan “Arsy Allah”
sesuai dengan hadis Rasulullah saw: “Hati orang mukmin adalah Arsy Allah”,
yaitu mukmin yang sempurna yang disebut dengan al-Insan al-Kamil, seperti
halnya mesjid dinamakan rumah Tuhan. Dalam hal ini sebagian orang yang
dilindungi oleh Allah dari segala dosa berkata, “Dimana aku dapat menemui
Engkau?”, Allah menjawab, “Carilah Aku di hati orang miskin”. Hal ini sesuai pula
dengan hadis qudsi dimana Allah swt mewahyukan kepada nabi Dawud as:
“Wahai Dawud, kosongkanlah hatimu agar Aku mendiaminya”,
karena seorang hamba bagaikan penjaga pintu rumah
Tuhannya, dan rumah Tuhan itulah hatinya, maka hamba yang dikehendaki oleh Allah,
akan menjadi pemegang amanat itu. Dan menurut ahli hakikat yang mengenal Allah,
“Tidak akan memasuki rumah Tuhan-Nya yang disebut dengan “Rumah Yang Makmur”
itu walau bagaimanapun, kecuali yang memiliki rumah itu.”
Kemudian dapat dikatakan sebab kerahasiaan hamba bagi
Allah ta’ala dan kerahasiaan Allah ta’ala bagi hamba-Nya sesuai dengan
firman-Nya, “Ingatlah pada-Ku, Aku akan ingat pula padamu”.
Dan firman-Nya dalam hadis qudsi, “Apabila seorang hamba
mengingat-Ku dalam hatinya, niscaya Aku mengingatnya dalam hati-Ku, dan apabila
ia mengingat-Ku didepan orang banyak, maka Aku akan mengingatnya di depan orang
yang lebih baik dari pada mereka”…
(Dikutip dari buku: Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makasari –
halaman 93 sampai 103. “MENYINGKAP INTISARI SEGALA RAHASIA”) Oleh; Nabilah
Lubis
Komentar
Posting Komentar