“Agama sejati”. Tuturnya, “adalah berbeda dari yang
diduga orang. Oleh sebab itu, tidak ada nilainya untuk mengkaji dan menguji
dogma.” “Di dunia ini”, ucapnya, “tidak ada padanan dari hal-hal yang disebut
sebagai Arasy (Tuhan), Kitab, Malaikat, Hari Hisab. Perumpamaan digunakan, dan
semua itu secara pasti sekedar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain.”
Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi
Mafihi (Didalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya), yang digunakan sebagai
buku-buku rujukan para Sufi, Rumi bahkan melangkah lebih jauh. “Manusia”,
tuturnya, “melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja;
Manusia,
perempuan,
uang,
anak-anak,
bumi atau tanah
dan batu.
perempuan,
uang,
anak-anak,
bumi atau tanah
dan batu.
Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan.
Pada akhirnya, ia tidak berkata, ‘Aku menyembah Tuhan,’ Maupun, ‘Aku tidak
menyembah Tuhan.’ Ia telah melewati tahapan ketiga.”
Untuk mendekati jalan Sufi, sang salik (orang yang sedang
menempuh dalam perjalanan) harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar
merupakan serangkaian dari apa yang saat ini disebut pengkondisian –
gagasan-gagasan kaku dan prasangka, kadang-kadang respon otomatis yang telah
terjadi melalui pelatihan orang lain. Manusia tidaklah sebebas yang diduga.
Tahapan pertama bagi seseorang adalah untuk melepaskan diri dari pemikiran
bahwa dirinya mengerti dan benar-benar mengerti. Tetapi manusia telah diajari
bahwa dirinya bisa memahami melalui proses yang sama, yaitu proses logika.
Ajaran ini telah melemahkannya.
“Jika engkau mengikuti cara-cara yang telah diajarkan
kepadamu, yang mungkin telah engkau warisi, karena hanya ada alasan lain selain
ini, maka engkau tidak logis.”
Ketika Sufi berbicara tentang Tuhan, ia tidak memaksudkan
ketuhanan dalam pengertian sebagaimana dipahami oleh seorang yang telah dilatih
oleh teolog. (Tuhan dalam pengertian teologis) ini diterima oleh sebagian
orang, yakni orang yang saleh; ditolak oleh yang lain, yakni para atheis.
Bahkan ia merupakan suatu penolakan, atau penerimaan terhadap sesuatu yang
telah diberikan oleh kalangan skolastik dan kependetaan. Tuhan para Sufi tidak
dilihat dalam kontroversi ini. Sebab bagi Sufi, Tuhan merupakan persoalan
pengalaman pribadi.
Semua ini tidak berarti bahwa seorang Sufi berusaha
membuang pelatihan fakultas penalaran. Rumi menjelaskan bahwa akal adalah
esensial, tetapi ia memiliki tempatnya tersendiri.
“Jika engkau ingin membuat baju, kunjungilah penjahit,
maka akal akan mengatakan kepadamu penjahit mana yang dipilih. Akan tetapi
setelah itu akal harus menahan diri. Engkau harus memberikan kepercayaan penuh
kepada penjahit bahwa ia akan menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar.”
“Logika”, kata Rumi, “Membawa seorang pasien ke dokter,
setelah itu, secara utuh ia berada di tangan sang dokter.”
Tetapi seorang materialis yang terlatih baik, meskipun ia
mengaku bahwa dirinya ingin mendengar apa yang bisa dikatakan seorang mistikus
kepadanya, tidak bisa diberitahu semua kebenaran. Ia tidak akan mempercayainya.
Kebenaran tidak didasarkan materialisme lebih daripada logika.
“Mereka yang tidak memahami suatu hal,” ucap Rumi, “akan
mengatakan bahwa hal itu tidak berguna. Tangan dan alat adalah bagaikan batu
dan baja. Pukullah batu dengan tanah, apakah percikan api akan terjadi?”
Salah satu alasan mengapa Sufi tidak mengajar secara umum
adalah karena agamawan yang telah terkondisikan, atau seorang materialis, tidak
akan memahaminya.
Seekor burung rajawali raja bertengger di sebuah
reruntuhan bangunan yang dihuni oleh burung-burung hantu. Mereka berpendapat
bahwa rajawali itu datang untuk mengusir mereka dari rumahnya dan untuk
ditempatinya sendiri.
“Reruntuhan ini tampak mewah bagi kalian. Bagiku, tempat
yang lebih baik adalah ditangan Raja,” tutur si rajawali. Sebagian burung hantu
tersebut berteriak, “Jangan mempercayainya. Ia menggunakan tipuan untuk
mengambil rumah kita!”
Penggunaan dongeng dan ilustrasi seperti fabel di atas
sangat luas di kalangan Sufi, dan Rumi dikenal sebagai pakarnya. Pemikiran yang
sama seringkali disampaikan oleh Rumi dalam banyak bentuk, agar bisa dipahami
pikiran. Para Sufi mengatakan bahwa suatu ide akan memasuki pikiran yang
terkondisikan (tertabiri) hanya jika ia disusun begitu baik sehingga mampu
melewati dinding kondisional. Kenyataan bahwa non Sufi sangat sedikit memiliki
kesamaan dengan Sufi itu berdasarkan yang ada dalam setiap diri manusia, dan
yang tidak seluruhnya bisa dimatikan oleh bentuk pengkondisian apapun. Unsur-unsur
inilah yang mendasari perkembangan Sufi. Salah satu unsur dasar dan permanen
adalah unsur cinta. Cinta merupakan factor yang membawa seseorang dan semua
orang pada pencerahan.
___Dari buku: Mahkota Sufi
Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Oleh: Idries Shah
Halaman: 158 – 161
Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Oleh: Idries Shah
Halaman: 158 – 161
Komentar
Posting Komentar