Anand Krishna: Salah satu “fenomena” yang mungkin
masih belum bisa diterima oleh dunia medis adalah “Reinkarnasi”. Pandangan
Dokter bagaimana? Tentu saja dari sudut pandang medis….
Dr. Setiawan: “Belum bisa” diterima—ya. Tetapi,
sesungguhnya “reinkarnasi” bisa dijelaskan secara ilmiah.
Fisik atau tubuh yang telah mati, terurai menjadi
partikel kembali. Demikian pula dengan synap saraf beserta reseptornya—baik
yang asli, maupun yang artifisial.
Namun saya berpendapat bahwa “Medan Energi Bio-Electric
Subconscious Mind” tidak ikut mati, karena energi memang tidak dapat mati. Ada
hukum fisika tentang kekekalan energi!
Nah, energi itu ke mana? Menurut saya—tetapi banyak orang
tentu memandang ini sebagai “di luar kompetensi saya sebagai dokter”—oleh
superconscious mind energi tersebut “dikelola” dan disimpan dalam bentuk
“potensi” dan pada “saat”-nya diwujudkan kembali dalam wujud materi yang solid.
Karena seluruh proses ini sedang kita pandang dari dimensi ruang dan waktu,
maka saya menggunakan tanda kutip untuk “saat”. Demikian, terjadilah kelahiran
kembali!
Anand Krishna: Kesimpulan Dokter tepat sekali.
Setelah kematian tubuh, subconscious mind yang tidak ikut mati dan akan Iahir
kembali itu mengalami proses “pengolahan”. Dan “pengolahan” tersebut dilakukan
oleh superconscious mind. Berarti lapisan superconscious mind pun sudah ada
dalam diri setiap orang. Ada lapisan mind, dan subconscious mind dan
superconscious mind. Setiap lapisan sudah ada. Berkembang atau belum—itu soal
lain. Tetapi, sudah ada.
Selama ini, lapisan superconscious mind berfungsi seperti
accu mobil—dibutuhkan untuk start pertama. Setelah start, energi selanjutnya
diperoleh dari bensin.
Jika masih mau lahir kembali, superconscious mind sama
pentingnya—bahkan mungkin jauh lebih penting—daripada subconscios mind. Tanpa
superconscious mind, siapa yang akan mengelola dan menyimpan subconscious mind,
lalu meneruskannya dalam tubuh lain?
Tetapi, jika tidak mau lahir kembali, superconscious mind
pun harus dilampaui. Dan harus dilampaui ketika kita masih “hidup”—masih
ber-“tubuh”. Ditembus, dilewati, dilampaui, apa pun istilahnya, yang jelas
superconscious mind harus berhenti bekerja, tidak berfungsi lagi. Demikian,
pada saat kematian tidak ada yang dapat mengelola subconscious mind dan tidak
terjadi kelahiran kembali.
Kembali pada mekanisme reinkarnasi lagi….
Dr.Setiawan: “Medan Energi Bio-Electric Subconscious
Mind” yang tidak ikut mati membentuk synap-synap asli dalam otak bayi yang baru
lahir. Demikian, otak bayi mewarisi informasi, keinginan, dan obsesi yang
tersimpan dalam “Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind” tersebut.
Selanjutnya, terbentuk pula bagian-bagian tubuh lainnya
sebagai pelengkap pelaksana. Bahkan, “Medan Energi Bio-Electric Subconscious
Mind” bisa memilih tempat dan situasi, di mana tersedia stimulus-stimulus
sesuai dengan yang dibutuhkannya.
Anand Krishna: Dalam arti kata lain, “kita” memilih
tempat lahir. Bahkan orangtua pun pilihan kita sendiri!
“Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind” seorang
musikus bisa memilih lahir dalam keluarga yang senang dengan musik. Begitu pula
“Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind” seorang penjahat, bisa memilih
lahir dalam keluarga di mana ia bisa melakukan kejahatan. Semuanya tergantung
pada kualitas “Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind” kita sendiri!
Semasa hidup, jika kualitas “Medan Energi Bio-Electric Subconscious
Mind” kita masih rendah sekali, setelah kematian pun kita akan memilih lahir
dalam keluarga yang anggotanya sama-sama memiliki “Medan Energi Bio-Electric
Subconscious Mind” kualitas rendah.
Kendati demikian, ada saja pengecualian. Seorang pemilik
“Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind” berkualitas baik, bisa memilih
lahir dalam keluarga dengan kualitas rendah. Itu pun karena adanya “keinginan”
yang tersimpan dalam “Medan Energi Bio-Electric Subconsious Mind”. Biasanya ada
keterikatan dengan keluarga tersebut. Ada keinginan untuk membantu keluarga
tersebut, dan sebagainya.
Dr. Setiawan: Setelah terjadi kelahiran
kembali—tergantung pada proses evolusi seseorang—bisa terbentuk synap-synap
baru beserta reseptornya. Dan synap baru ini bisa memperkuat atau melemahkan
synap-synap asli.
Jadi saya berpendapat bahwa proses evolusi justru terjadi
pada saat mind terwujud sebagai wujud materi yang solid—yaitu tubuh. Dengan
kata lain, tubuh beserta otaknya adalah alat untuk berevolusi.
Anand Krishna: Betul sekali, Dokter. Karena itu,
kita perlu lahir kembali berulang kali. Tanpa tubuh, kesadaran kita tidak akan
meningkat. Kita membutuhkan tubuh sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran
diri. Sayang sekali, jika tubuh ini disia-siakan, digunakan untuk hal-hal yang
tidak penting.
Dr. Setiawan: Seperti orang yang bergaul dengan
sekelompok masyarakat jahat, misalnya, kemudian ia pun menjadi orang jahat.
Dari segi neuro-psikologis, jika ditelusuri dalam diri orang tersebut memang
sudah ada reseptor synap untuk stimulus kejahatan.
Anand Krishna: Betul, tetapi reseptor synap asli pun
bisa diubah. Seperti anjing-anjing di India yang bisa beralih ke diet nabati.
Mereka tidak mencari daging lagi. Bahkan diberi daging pun mereka tolak.
Esperimen ini pernah dilakukan oleh almarhum kakak saya.
Bukan di India, tetapi di Indonesia. Ia memelihara seekor anjing yang sejak
kecil dibiasakan makan apa saja yang mereka masak di rumah plus susu sapi.
Sampai mati, delapan tahun kemudian, makanan dia itu saja. Padahal, hampir setiap
hari anjing itu juga dibawa ke luar. Dan, karena tidak selalu dirantai, ia pun
kadang-kadang keluar sendiri. Mungkin sempat bersosialisasi dengan
anjing-anjing lain. Dan tidak terpengaruh.
Tetapi, saya pikir, jika anjing tersebut dibiarkan
bergaul dengan anjing-anjing lain untuk waktu yang cukup lama, bisa saja ia
terpengaruh. Dan seleranya terhadap daging kembali lagi.
Jadi, seseorang yang sudah memiliki reseptor synap untuk
stimulus kejahatan harus “super hati-hati”. Jika ia ingin berubah, ia harus menjauhkan
diri dari pergaulan yang dapat menyeret dia ke dalam dunia kejahatan.
Dr. Setiawan: Betul, Pak. Dengan kata lain, manusia
harus hidup dalam kesadaran. Dia harus aware! Dengan kesadaran, dengan
awareness, dia bisa menentukan mau mengembangkan kecenderungan-kecenderungannya
atau mau menghambatnya. Kesadaran atau awareness seperti itu perlu dijaga dan
dipelihara agar terus ada, karena hanya awareness, hanya kesadaran yang dapat
mengoreksi dan mengendalikan arah maupun laju evolusi.
Demikian, dengan adanya reinkarnasi atau kelahiran
kembali, ia tidak akan jalan di tempat, atau hanya maju selangkah, kendati
sudah ratusan kali mengalami reinkarnasi.
Anand Krishna: Sebelum kita melanjutkan dialog ini
ada satu hal yang perlu saya jelaskan.
“Conscious” atau kadang disebut “Unconscious Mind” dalam
bahasa psikologi sama dengan “Mind” dalam bahasa meditasi. Yang dimaksudkan
adalah kesadaran jaga, sehari-hari.
“Subconscious Mind” atau kadang-kadang disebut
“Unconscious Mind” dalam bahasa psikologi disebut dengan sebutan yang sama
dalam bahasa meditasi, yakni “Subconscious Mind” juga.
Kemudian, apa yang disebut “Superconscious Mind” dalam
bahasa psikologi bisa disebut “Cosmic Mind” atau “Super Mind” dalam bahasa
meditasi. Pengertiannya adalah “Kesadaran Tinggi” atau “Kesadaran Supra ”. Jika
hidup kita diarahkan oleh yang satu ini, kita baru bisa menemukan jati diri.
Kita baru bisa membebaskan diri dari synap-synap yang sudah terbentuk.
Yang belum ada sebutan psikologisnya ‘adalah keadaan
“No-Mind”, di mana “setiap lapisan mind” terlampaui. “Superconscious Mind” atau
”Super Mind” atau “Cosmic Mind” pun terlampaui. Yang ada hanyalah “Kesadaran
Murni”—di luar jangkauan pikiran, rasa, dan sebagainya. Buddha menyebutnya
Nirvana atau “Nothingness”—Ketiada apa-apaan”. Para Rishi menyebutnya Moksha
atau “Kebebasan”. Yang dimaksudkan adalah “kebebasan” dari cengkeraman
pikiran”. Bebas dari semua—dari conscious mind, dari subconscious mind dan
superconscious mind. Tradisi Timur Tengah menyebutnya “keselamatan”, “rumah
Bapa” atau “surga” dan ada deskripsinya yang harus dimengerti secara metaforis.
Nah, awareness Iahir dari keadaan no-mind. Jadi bukan
produk mind.
(Dikutip dari buku (Anand Krishna. (2001). Medis dan
Meditasi, Dialog Anand Krishna dengan Dr. B. Setiawan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama)
Komentar
Posting Komentar