Langsung ke konten utama

Kisah Hui neng


Jadi sesungguhnya, untuk seorang Buddha, untuk siapa saja yang tercerahkan, tidak perlu untuk bertanya kepada orang lain, siapakah dia. Auranya menunjukkan segalanya. Dan ketika seseorang menjadi tercerahkan, sang guru tahu akan hal itu, karena auranya mengungkapkan segalanya.

Aku akan bercerita padamu … Hui Neng, seorang master dari Cina, berkerja untuk gurunya. Ketika Hui Neng pergi ke gurunya, gurunya berkata, “Untuk apa kau datang ke sini? Tidak perlu datang padaku.” Dia tidak bisa mengerti. Hui Neng berpikir bahwa ia belum siap untuk diterima, tetapi sang guru melihat sesuatu yang lain. Dia melihat aura Hui Neng yang tumbuh. Sang guru mengatakan ini: “Bahkan jika engkau tidak datang padaku, hal ini pasti akan terjadi cepat atau lambat, di mana saja. Engkau sudah di situ, sehingga tidak perlu datang padaku.”

Tapi Hui Neng berkata, “Janganlah menolakku.” Jadi sang guru menerimanya dan menyuruhnya pergi ke belakang biara, di dapur biara. Itu adalah sebuah biara besar dengan lima ratus bhikkhu. Sang guru berkata kepada Hui Neng, “Pergilah ke belakang biara dan bantulah di dapur, dan jangan datang lagi padaku. Setiap kali diperlukan, aku akan datang padamu. ”

Tidak ada meditasi yang diberikan kepada Hui Neng, tidak ada kitab suci untuk dibaca, dipelajari atau direnungkan. Tidak ada yang diajarkan kepadanya, ia hanya dilemparkan ke dapur. Seluruh biara bekerja. Ada cendekiawan, akademisi, dan ada meditator, dan ada yogi, dan seluruh biara itu penuh kehidupan. Semua orang bekerja dan Hui Neng ini hanya membersihkan beras dan melakukan pekerjaan dapur.

Dua belas tahun berlalu. Hui Neng tidak pergi lagi ke sang guru karena ia tidak diperbolehkan. Dia menunggu, menunggu, dan menunggu … ia hanya menunggu. Dia hanya dijadikan seorang pembantu. Pelajar akan datang, meditator akan datang, dan tak seorang pun akan menaruh perhatian kepadanya. Dan ada pelajar-pelajar besar di biara.

Kemudian sang guru menyatakan bahwa kematiannya sudah dekat, dan sekarang ia ingin menunjuk seseorang untuk mengambil alih posisinya, maka ia berkata, “Mereka yang berpikir telah tercerahkan harus menulis puisi kecil yang terdiri dari empat baris. Dalam empat baris itu engkau harus menuliskan semua yang telah engkau peroleh. Dan jika aku menyetujui satu puisi dan melihat dalam baris-baris itu bahwa pencerahan telah terjadi, aku akan memilihnya sebagai penerusku.”

Ada seorang pelajar besar di biara, dan tidak ada yang berusaha menulis puisi karena semua orang tahu bahwa ia akan menang. Dia adalah seorang yang sangat mengenal kitab suci, maka ia menulis empat barisnya. Empat baris yang isinya seperti ini … artinya itu seperti ini:

“Pikiran adalah seperti cermin, dan debu berkumpul di atasnya. Bersihkanlah debu, dan engkau tercerahkan.”

Tetapi bahkan pelajar besar ini takut, karena sang guru akan tahu. Dia sudah tahu siapa yang tercerahkan dan siapa yang tidak. Walaupun semua yang ditulisnya indah, itu adalah inti dari semua kitab suci – pikiran adalah seperti cermin, dan debu berkumpul di atasnya; buanglah debu, dan engkau tercerahkan – Ini adalah seluruh inti dari semua Veda, tapi hanya semua itu yang dia tahu. Dia tidak tahu apa-apa, jadi dia takut.

Dia tidak pergi langsung ke sang guru, namun pada malam hari ia pergi ke pondok, ke pondok sang guru, dan menulis semua empat baris ini di dindingnya tanpa menulis namanya – tanpa tanda tangan. Dengan cara ini, jika sang guru setuju dan berkata, “Baiklah, ini benar,” maka ia akan berkata, “Akulah yang telah menulisnya.” Jika dia berkata, “Tidak! Siapa yang telah menulis baris-baris ini?” maka ia akan tetap diam, pikirnya.

Tapi sang guru setuju. Di pagi hari sang guru berkata, “Baiklah!” Dia tertawa dan berkata, “Baik! Orang yang telah menulis ini adalah orang yang tercerahkan.” Sehingga seluruh biara mulai berbicara tentang hal itu. Semua orang tahu siapa yang menulisnya. Mereka membahas dan menghargai, dan baris-baris itu indah – benar-benar indah. Kemudian beberapa bhikkhu datang ke dapur. Mereka minum teh dan mereka berbicara, dan Hui Neng ada di sana melayani mereka. Dia mendengar apa yang telah terjadi. Saat ia mendengar empat baris itu, ia tertawa. Jadi seseorang bertanya, “Kenapa kau tertawa, bodoh? Engkau tidak tahu apa-apa; selama dua belas tahun engkau telah melayani di dapur. Mengapa kamu tertawa?”

Tidak ada yang pernah mendengar dia tertawa sebelumnya. Dia hanya dianggap sebagai orang bodoh yang bahkan tidak akan bicara. Jadi dia berkata, “Aku tidak bisa menulis, dan aku bukan orang tercerahkan pula, tetapi baris-baris ini salah. Jadi jika seseorang datang denganku, aku akan mengarang empat baris. Jika seseorang datang denganku, dia bisa menulis di dinding. Aku tidak bisa menulis; Aku tidak tahu tulisan.”

Jadi seseorang mengikutinya – hanya sebagai lelucon. Kerumunan datang ke sana dan Hui Neng berkata, ‘Tulislah: tidak ada pikiran dan tidak ada cermin, jadi di mana debu dapat berkumpul ? Orang yang tahu ini telah tercerahkan.” Tetapi sang guru keluar dan dia berkata, “Engkau salah,” kepada Hui Neng. Hui Neng menyentuh kakinya dan kembali ke dapur.

Pada malam hari ketika semua orang sedang tidur, sang guru datang pada Hui Neng dan berkata, “Engkau benar, tapi aku tidak bisa mengatakan begitu di depan orang-orang bodoh itu – dan mereka orang bodoh terpelajar. Jika aku mengatakan bahwa engkau ditunjuk sebagai penggantiku, mereka akan membunuhmu. Jadi larilah dari sini! Engkau penggantiku, tapi jangan ceritakan ini kepada siapa pun. Dan aku tahu ini pada hari engkau datang. Auramu sedang tumbuh; itu sebabnya tidak ada meditasi yang diberikan kepadamu. Itu tidak perlu. Engkau sudah berada dalam meditasi. Dan dua belas tahun diam – tidak melakukan apa-apa, bahkan tidak bermeditasi – telah mengosongkanmu sepenuhnya dari pikiranmu, dan auramu telah menjadi penuh. Engkau telah menjadi bulan purnama. Tapi larilah dari sini! Jika tidak, mereka akan membunuhmu.

“Engkau telah berada di sini selama dua belas tahun, dan cahaya telah terus-menerus menyebar dari dirimu, tetapi tidak ada yang memperhatikan itu. Dan mereka telah datang ke dapur, setiap orang telah datang ke dapur setiap hari – tiga kali, empat kali. Semua orang lewat disini; itu sebabnya aku tempatkan engkau di dapur. Tapi tidak ada yang mengenali auramu. Jadi engkau larilah dari sini.”

Osho, Vigyan Bhairav Tantra Vol. 1, Chpt. 9

So really, for a buddha, for anyone who is enlightened, there is no need to ask anyone what he is. The aura shows everything. And when someone becomes enlightened the master knows it, because the aura reveals everything.

I will tell you one story… Hui Neng, a Chinese master, was working under his master. When Hui Neng went to his master, the master said, ”For what have you come here? There is no need to come to me.” He couldn’t understand. Hui Neng thought that he was not yet ready to be accepted, but the master was seeing something else. He was seeing his growing aura. He was saying this: ”Even if you do not come to me, the thing is bound to happen sooner or later, anywhere. You are already in it, so there is no need to come to me.”

But Hui Neng said, ”Do not reject me.” So the master accepted him and told him to go just behind the monastery, in the kitchen of the monastery. It was a big monastery of five hundred monks. The master said to Hui Neng, ”Just go behind the monastery and help in the kitchen, and do not come again to me. Whenever it will be needed, I will come to you.”

No meditation was given to Hui Neng, no scriptures to read, study or meditate upon. Nothing was taught to him, he was just thrown into the kitchen. The whole monastery was working. There were pundits, scholars, and there were meditators, and there were yogis, and the whole monastery was agog. Everyone was working and this Hui Neng was just cleaning rice and doing kitchen work.

Twelve years passed. Hui Neng didn’t go again to the master because it was not allowed. He waited, he waited, he waited… he simply waited. He was just taken as a servant. Scholars would come, meditators would come, and no one would even pay any attention to him. And there were big scholars in the monastery.

Then the master declared that his death was near, and now he wanted to appoint someone to function in his place, so he said, ”Those who think they are enlightened should compose a small poem of four lines. In those four lines you should put all that you have gained. And if I approve any poems and see that the lines show that enlightenment has happened, I will choose someone as my successor.”

There was a great scholar in the monastery, and no one attempted the poem because everyone knew that he was going to win. He was a great knower of scriptures, so he composed four lines. Those four lines were just like this… the meaning of it was like this: ”Mind is like a mirror, and dust gathers on it. Clean the dust, and you are enlightened.” But even this great scholar was afraid because the master would know. He already knows who is enlightened and who is not. Though all he has written is beautiful, it is the very essence of all the scriptures – mind is like a mirror, and dust gathers on it; remove the dust, and you are enlightened – this was the whole gist of all the Vedas, but he knew that was all that it was. He had not known anything, so he was afraid.

He didn’t go directly to the master, but in the night he went to the hut, to his master’s hut, and wrote all the four lines on the wall without signing – without any signature. In this way, if the master approved and said, ”Okay, this is right,” then he would say, ”I have written them.” If he said, ”No! Who has written these lines?” then he would keep silent, he thought.

But the master approved. In the morning the master said, ”Okay!” He laughed and said, ”Okay! The man who has written this is an enlightened one.” So the whole monastery began to talk about it. Everyone knew who had written it. They were discussing and appreciating, and the lines were beautiful – really beautiful. Then some monks came to the kitchen. They were drinking tea and they were talking, and Hui Neng was there serving them. He heard what had happened. The moment he heard those four lines, he laughed. So someone asked, ”Why are you laughing, you fool? You do not know anything; for twelve years you have been serving in the kitchen. Why are you laughing?”

No one had even heard him laugh before. He was just taken as an idiot who would not even talk. So he said, ”I cannot write, and I am not an enlightened one either, but these lines are wrong. So if someone comes with me, I will compose four lines. If someone comes with me, he can write it on the wall. I cannot write; I do not know writing.”

So someone followed him – just as a joke. A crowd came there and Hui Neng said, ”Write: There is no mind and there is no mirror, so where can the dust gather? One who knows this is enlightened.”

But the master came out and he said, ”You are wrong,” to Hui Neng. Hui Neng touched his feet and returned back to his kitchen.

In the night when everyone was asleep, the master came to Hui Neng and said, ”You are right, but I could not say so before those idiots – and they are learned idiots. If I had said that you are appointed as my successor, they would have killed you. So escape from here! You are my successor, but do not tell it to anyone. And I knew this the day you came. Your aura was growing; that was why no meditation was given to you. There was no need. You were already in meditation. And these twelve years’ silence – not doing anything, not even meditation – emptied you completely of your mind, and the aura has become full. You have become a full moon. But escape from here! Otherwise they will kill you.

”You have been here for twelve years, and the light has been constantly spreading from you, but no one observed it. And they have been coming to the kitchen, everyone has been coming to the kitchen every day – thrice, four times. Everyone passes through here; that is why I posted you in the kitchen. But no one has recognized your aura. So you escape from here.”

Osho, Vigyan Bhairav Tantra Vol. 1, Chapter 9.
Posted by Osho Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salah Satu Syair Rumi Tentang Reinkarnasi

Sebagai tahapan yang harus dilalui wujud lahir, tingkatan wujud berikutnya akan berproses sesuai dengan rancangan wujud sebelumnya. Dengan jalan seperti ini muncullah ribuan perubahan. Dan tiap perubahan selalu lebih baik dari sebelumnya. Sadarilah selalu wujudmu saat ini karena jika kau berpikir tentang wujudmu di masa lalu, maka kau akan memisahkan dirimu dari Diri Sejatimu. Inilah semua keadaan yang tetap yang kau saksikan dalam kematian. Lalu mengapa harus kau palingkan mukamu dari kematian? Ketika tahapan kedua lebih baik dari tahapan pertama, maka matilah dengan senyum suka cita. Dan arahkan pandanganmu ke depan untuk menempati wujud baru yang lebih baik dari wujud sebelumnya. Sadarilah, dan jangan tergesa-gesa. Kau harus mati terlebih dulu sebelum memperbaiki diri. Laksana sang surya, hanya jika kau tenggelam di Barat, maka di Timur, kau akan menyaksikan wajahmu yang cerlang gemilang.  ( Jalaluddin Rumi ) Tulisan Di Batu Nisan Jalaluddin...

Kata-Kata Indah Dari Osho

Kita telah hidup dalam pikiran selama begitu banyak kehidupan, dan kita telah menjadi selaras dengan kegelapannya, dengan keburukannya, kesia-siaannya. Ketika engkau bertindak tanpa pikiran, seluruh keberadaanmu bergetar. Engkau bergerak di jalur yang berbahaya. Pikiran berkata, “Waspada! Pikirkan dulu, baru kemudian bertindak.” Tetapi jika engkau berpikir dulu dan baru kemudian melakukan sesuatu, perbuatanmu akan selalu mati, basi. Ini akan keluar dari pikiran, ini tidak akan menjadi nyata dan otentik. Maka engkau tidak bisa mencintai, Maka engkau tidak bisa bermeditasi, Maka engkau tidak bisa benar-benar hidup dan engkau tidak bisa mati. Engkau menjadi hantu, keberadaan yang palsu. Cinta mengetuk hatimu dan engkau berkata, “Tunggu! Aku akan memikirkannya.” Kehidupan terus mengetuk pintumu dan engkau berkata, “Tunggu! Aku akan memikirkannya.” OSHO, A Bird on the wing, Chpt 9, Save the cat “Kuasai hanya satu hal: dirimu sen...

Osho, aku ingin berdoa kepada Tuhan. Tolong ajari aku caranya

“Prayer means gratefulness, prayer means no complaint. Prayer means ”I am thankful for all that has been given to me; more I could not have asked for.” In that very prayerfulness one becomes graceful”. ___Osho Doa berarti rasa syukur, doa berarti tidak ada keluhan. Doa berarti “Saya bersyukur untuk semua yang telah diberikan kepada saya; lebih saya tidak bisa meminta.” Dalam penuh rasa syukur itu orang menjadi graceful.. ------------------------------------------- “Osho, aku ingin berdoa kepada Tuhan. Tolong ajari aku caranya” Osho: “JANGAN MEREPOTKAN ALLAH, DIA PUNYA MASALAH SENDIRI. Tidakkah anda lihat apa pun yang Dia ciptakan adalah mati? Anda menyimpan masalah anda kepada diri sendiri. Mengapa orang harus ingin berdoa kepada Allah? ALLAH TIDAK MEMBUTUHKAN DOA-DOA ANDA. Anda mungkin memerlukan doa-doa itu — tapi mereka tidak akan sesuatu yang lebih dari suara keinginan anda, tuntutan anda, mengekspresikan keluhan anda. Itulah apa yang dilakukan orang atas nama d...