Aku tidak berpikir bahwa dunia hanya membutuhkan satu
agama. Dunia membutuhkan kesadaran beragama, dan kemudian dari kesadaran itu
dapat mengalir sebanyak mungkin arus alirang sungai. Bahkan, ideku sendiri
tentang agama adalah seharusnya ada sebanyak mungkin agama sebanyak jumlah
manusia itu sendiri – setiap orang seharusnya memiliki agamanya sendiri.
Ini adalah sulit untuk memiliki bahasamu sendiri; setiap
orang tidak dapat memiliki bahasanya sendiri, jika begitu maka tak seorang pun
akan dapat memahaminya.
Mulla Nasruddin telah melamar sebuah pekerjaan. Sang
Manajer menatapnya dan merasa bahwa dia tidak memenuhi syarat kualifikasi yang
dibutuhkan untuk pekerjaan itu. Dia bertanya, “Dapatkah engkau membaca dan
menulis?”
Mulla Nasruddin mengatakan, “Aku tidak dapat membaca,
tapi aku dapat menulis.”
Manajer itu terkejut; ini adalah situasi yang jarang – ia
tidak dapat memahami bagaimana ada seseorang yang tidak dapat membaca tapi
dapat menulis. Ia mengatakan, “Maka menulis lah!” Dia memberinya kertas dan
Mulla segera mulai menulis di atasnya. Dia menulis dengan cepat – satu halaman,
dua halaman, tiga halaman.
Manajer itu mengatakan, “Sekarang berhenti lah menulis!
coba engkau baca apa yang telah kau tulis, karena aku tidak dapat membaca.”
Nasruddin mengatakan, “Bukankah telah kukatakan
sebelumnya — Aku hanya dapat menulis! Aku tidak dapat membaca”
Jika engkau berbicara bahasa yang hanya dirimu yang dapat
mengerti, akan menjadi tidak mungkin untuk dapat berkomunikasi dengan orang
lain. Tetapi untuk agama – engkau dapat memiliki bahasamu sendiri, karena agama
tidak perlu dikomunikasikan. Agama bukanlah dialog antara dirimu dan orang
lain; agama adalah dialog antara dirimu dengan keberadaan/ketuhanan. Jadi bahasa
apapun akan dapat melakukan hal itu, atau malah tanpa bahasa, atau mungkin
dengan menciptakan bahasa yang baru – seperti bahasa Esperanto, atau apa pun.
Semua agama-agama yang ada ini harus dianggap sebagai
bahasa yang berbeda, maka fanatisme akan kehilangan bahayanya. Maka itu akan
menjadi indah! Ada gereja dan kuil dan masjid dan Gurudwaras – jika kita
berpikir ini semua hanyalah bahasa yang berbeda, maka tidak ada masalah. Engkau
tidak melihat orang bertengkar tentang bahasa manakah yang paling benar –
Hindi, Marathi, Inggris, Jerman, Perancis. Bahasa yang manakah yang merupakan
bahasa yang paling benar? Tidak ada yang akan mengajukan pertanyaan seperti
itu, karena semua bahasa yang sesuatu yang dibuat. Mereka tidak benar atau
salah, mereka hanya sangat berguna.
Pria Inggris, Prancis dan Jerman sedang berdebat tentang
manfaat masing-masing bahasa mereka. Orang Prancis mengatakan, “Perancis adalah
bahasa cinta, bahasa asmara, bahasa yang paling indah dan murni di dunia.”
Sang pria Jerman mengumumkan, “Jerman adalah bahasa yang
paling kuat, bahasa filsuf, bahasa Goethe, bahasa yang paling dapat beradaptasi
dengan dunia modern ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Ketika giliran pria Inggris tiba dia berkata, “Aku tidak
mengerti apa yang saudara-saudara bicarakan. Begini” – Dan ia memegang sebuah
pisau makan. “Engkau di Perancis menyebutnya UN COUTEAU, engkau di Jerman
menyebutnya EIN MESSER. Kami di Inggris hanya menyebutnya pisau, dimana, semua
telah dikatakan dan dilakukan, adalah tepat demikian seperti itu.”
Ini adalah bagaimana agama-agama telah berdebat. Persis
seperti inilah perdebatan yang telah terjadi antara agama: siapa yang paling
benar? Kristen, Hindu, Muslim, Buddha, Jain – ini hanyalah bahasa yang berbeda
untuk mengekspresikan fenomena yang sama. Jika ini telah dipahami maka tidak
ada masalah; Aku ingin lebih banyak LAGI agama untuk berkembang.
Bahkan di dunia yang lebih baik setiap orang akan
memiliki agamanya sendiri, karena agama adalah jalan bagimu untuk mengungkapkan
tak terungkapkan. Hal ini adalah seperti estetika: jika engkau menyukai mawar
dan aku tidak menyukai mawar, maka tidak ada masalah. Kita tidak akan
bertengkar karenanya; kita tidak akan mengambil pedang dan kita tidak akan
melakukan perang salib: “Siapa yang paling benar – karena orang ini mengatakan
teratai yang lebih indah, dan aku mengatakan mawar yang lebih indah. Apakah
sekarang itu harus diputuskan di medan perang?”
Bagaimana engkau akan memutuskannya? Engkau dapat
membunuhku, tapi itu tidak akan membuat perbedaan. Bahkan saat sekarat, aku
akan tetap mengatakan teratai adalah bunga yang paling indah; kematianku tidak
akan membuat perubahan dalam visiku. Engkau dapat membunuh seorang Hindu,
engkau dapat membunuh seorang Muslim: itu tidak akan mengubah apapun sama
sekali.
Tapi ini adalah apa yang terjadi, sepanjang masa, orang
telah melakukan ini – memerangi kekonyolan. Seseorang menyebut Tuhan “Allah” –
maka ia salah. Mengapa? Seseorang menyebut Tuhan “Ram” – maka ia salah.
Mengapa? – Karena engkau memanggilnya “Tuhan.” Tuhan, Ram, Allah, semua itu
hanya nama, nama yang diciptakan untuk sesuatu yang tidak memiliki nama bagi
dirinya sendiri, yang merupakan pengalaman yang tak bernama.
Ada begitu banyak agama, Nagesh, karena ada begitu banyak
orang, jenis orang yang berbeda. Orang yang berbeda memiliki kesukaan yang
berbeda, orang yang berbeda memiliki pendekatan yang berbeda terhadap realitas,
dan realitas itu multidimensi.
Oleh karena itu penekananku adalah: kita membutuhkan
kesadaran beragama, sebuah kebangkitan universal dari kesadaran beragama. Tentu
saja itu akan tetap memiliki banyak bentuk, tetapi bentuk tidak penting; sejauh
menyangkut jiwa yang hidup di dalamnya, bentuk tidak penting. Dan setiap bentuk
itu indah. Ada begitu banyak orang: masing-masing memiliki wajah yang berbeda,
keindahan yang berbeda. Sidik jari setiap orang adalah berbeda dengan setiap
orang lainnya di seluruh dunia – tetapi ini tidak menciptakan masalah. Jejak
langkah kaki setiap orang menuju pintu Tuhan akan selalu berbeda.
Setelah kita memahami itu persaudaraan umat manusia yang
agung menjadi mungkin. Jika tidak omong kosong fanatisme agama ini – bahwa
“Hanya aku yang benar” – telah sangat merusak. Hal ini telah menghancurkan
agama itu sendiri; telah mengutuk agama dan umat beragama. Itulah mengapa ada
begitu banyak orang tidak beragama, orang-orang yang anti-agama. Ini adalah apa
yang telah dilakukan agama terhadap kemanusiaan sampai hari ini yang telah
menciptakan orang-orang anti-agama – tidak beragama (atheis), orang-orang yang
tidak berketuhanan, orang-orang yang menyangkal-Tuhan. Ini adalah merupakan
tanggung jawab para imam, rabi, paus, pundit, shankaracharyas – mereka ini
adalah orang-orang yang harus bertanggung jawab. Mereka telah membuat agama
menjadi begitu buruk, sangat tidak manusiawi, penuh kekerasan, begitu bodoh,
sehingga setiap orang yang rasional akan merasa malu menjadi bagian dari setiap
gerakan keagamaan.
Kita harus menghancurkan warisan buruk dari masa lalu.
Kita harus membersihkan ruang ini bagi masa depan. Semua dapat diterima:
Alkitab memiliki keindahannya sendiri, begitu pula Al-quran, begitu pula Gita.
Dan jika engkau beragama engkau akan dapat menikmati Alkitab sebagaimana engkau
dapat menikmati Al-Quran dan Gita, karena engkau tahu bahwa hanya bahasa yang
berbeda. Dan perbedaan bahasa menciptakan keindahan yang berbeda. Nyanyikan lah
Al-Quran, dan engkau akan melihat perbedaannya. Alkitab tidak dapat menjadi
seindah itu; Al-Quran memiliki kualitas bernyanyi didalamnya. Engkau dapat
menyanyikan Al-Quran; bahkan jika engkau tidak mengerti maknanya, musik itu
sendiri akan menjadi kekuatan yang men-transformasi-kan. Bahkan, Al-quran tidak
memiliki banyak makna; itu memiliki puisi yang besar tapi tidak memiliki banyak
makna.
Banyak teman-teman Muslim, banyak Sannyasins Muslim,
menanyakan kapan aku akan berbicara tentang Al-Quran. Aku memikirkannya
berkali-kali. Seringkali aku telah membawa Al-Quran di tanganku, membaca di
sana-sini, dan menunda hal itu lagi – karena Al-Quran tidak memiliki banyak
makna. Ia memiliki puisi, ia memiliki kecantikan yang sama sekali berbeda. Ini
adalah sebuah karya seni!
Jika engkau ingin yang lebih bermakna maka Gita memiliki
makna yang lebih mendalam, tapi tidak memiliki banyak puisi didalamnya; maka
Alkitab memiliki lebih banyak makna, tapi tidak banyak puisi. Alkitab memiliki
keindahannya tersendiri. Itu sangat sederhana, kitab yang paling sederhana di
dunia, dan karena sederhana maka ia memiliki kepolosan, kemurnian. Yesus
berbicara dalam bahasa orang-orang pedesaan: semua perumpamaan dan metaforanya
primitif. Tetapi karena mereka primitif mereka memiliki kemurnian, mereka belum
tercemar – tercemar oleh pikiran modern. Mereka sangat lurus, langsung menuju
ke hatimu seperti sebuah anak panah. Tetapi jika engkau ingin yang bermakna
maka engkau harus melihat ke dalam Veda, yang penuh filosofi. Mereka memiliki
keindahannya sendiri – keindahan intelektualitas.
Setiap kitab suci memiliki sesuatu untuk dikontribusikan
kepada dunia, dan tidak ada satupun kitab suci yang dapat melakukan segalanya.
Tapi karena engkau tidak mengerti bahasa yang berbeda, maka muncul masalah. Itu
akan baik untuk memiliki beberapa pertemuan dengan agama-agama yang berbeda.
Itu sebabnya aku terus berbicara, kadang-kadang dalam
Buddhisme, kadang-kadang dalam Hinduisme, kadang-kadang dalam Kristen,
kadang-kadang dalam Yudaisme, dalam Hassidsme, dalam Zen, dalam Sufi – untuk
alasan tertentu: untuk memberikan kepadamu visi yang berbeda, sehingga matamu
sendiri dapat menjadi kaya, sehingga engkau juga sedikit dapat memahami bahasa
yang berbeda.
Foster, pergi ke Tokyo untuk urusan bisnis, ia tidak
memahami bahasa Jepang. Meski begitu, ia merayu seorang gadis yang menarik,
yang tidak dapat berbicara dalam bahasa Inggris, untuk datang ke kamar
hotelnya. Pada saat mereka bercinta, gadis Oriental itu terus berteriak
“Machigai ana!” dengan perasaan yang hebat.
Foster merasa bangga bahwa ia dapat membuat gadis itu
begitu terangsang sehingga terus berteriak, “Machigai ana!” Foster pasti telah
berpikir bahwa ini adalah sesuatu seperti “Fantastis! Luar biasa!”
Sore hari berikutnya ia bermain golf dengan seorang
taipan industri Jepang. Ketika pria Oriental itu membuat sebuah pukulan satu
lubang dalam golf (hole-in-one), Foster berusaha untuk membuat kesan yang baik
dan berseru “Machigai ana! Machigai ana!”
“Apa maksudmu,” bentak taipan itu, “lubang yang salah?”
Adalah baik untuk mengetahui sedikit bahasa lain juga.
Ini akan sangat membantumu dengan memiliki sekilas tentang Alquran, Alkitab,
Gita, Dhammapada. Hal itu dapat membuatmu menjadi lebih liberal, lebih
berwawasan-luas, lebih manusiawi.
Osho
– The Dhammapada – The Way of the Buddha, Vol 3
I don’t think that the world needs one religion. The
world needs religious consciousness, and then that consciousness can flow into
as many streams as possible. In fact, my own idea of religion is that there
should be as many religions as there are people — each person having his own
religion.
It is difficult to have your own language; each person
cannot have his own language, otherwise nobody will understand it.
Mulla Nasruddin has applied for a job. The manager looked
at him and did not feel that he’s even qualified to apply for it. He asked him,
“Can you read and write?”
Mulla Nasruddin said, “I cannot read, but I can write.”
The manager was surprised; this is a rare situation — he
could have never conceived of a man who cannot read but can write. He said,
“Then write!” He gave him a paper and Mulla immediately started writing on it.
He went fast — one page, two pages, three pages.
The manager said, “Now you stop! You please read what you
have written, because I cannot read.”
Nasruddin said, “That I have told you before — I can only
write! I can’t read.”
If you speak a language that only you understand, it will
be impossible to communicate with people. But a religion — you can have your
own, because religion need not be communicated. Religion is not a dialogue
between you and other people; religion is a dialogue between you and existence.
So any language will do, or no language, or any invented languages — Esperanto,
or anything.
All these religions should be taken as different
languages, then fanaticism loses its danger. Then it is beautiful! There are
churches and temples and mosques and GURUDWARAS — if we think these are all
different languages, there is no problem. You don’t see people fighting about
which language is the true language — Hindi, Marathi, English, German, French.
Which language is the true language? Nobody will ask such a question, because
all languages are arbitrary, made-up. They are not true or false, they are
useful.
An Englishman, a Frenchman and a German were arguing
about the respective merits of their languages. The Frenchman said, “French is
the language of love, the language of romance, the most beautiful and pure
language in the world.”
The German announced, “German is the most vigorous
language, the language of philosophers, the language of Goethe, the language
most adaptable to the modern world of science and technology.”
When the Englishman’s turn came he said, “I don’t
understand what you fellows are talking about. Take this” — and he held up a
table knife. “You in France call it UN COUTEAU, you Germans call it EIN MESSER.
We in England simply call it a knife, which, all said and done, is precisely
what it is.”
This is how religions have been arguing. Exactly like
this has been the argument between religions: who is right? Christians, Hindus,
Mohammedans, Buddhists, Jainas — these are only different languages to express
the same phenomenon. If once this is understood then there is no problem; I
would like many MORE religions to evolve.
In fact in a better world every person will have his own
religion, because religion is your way of expressing the inexpressible. It is
like aesthetics: if you love roses and I don’t love roses, there is no problem.
We don’t fight it out; we don’t take swords and we don’t go on a crusade: “Who
is right? — because this man says lotuses are beautiful, and I say roses are
beautiful. Now it has to be decided on a battlefield.”
How will you decide? You can kill me, but that won’t make
any difference. Even dying, I will go on saying lotuses are the most beautiful
flowers; my death will not make any change in my vision. You can kill a Hindu,
you can kill a Mohammedan: that does not change anything at all.
But this is what, down the ages, people have been doing
to each other — fighting ridiculously. Somebody calls God “Allah” — he is
wrong. Why? Somebody calls God “Ram” — he is wrong. Why? — because you call him
“God.” God, Ram, Allah, are all names, invented names for something which has
no name of its own, which is a nameless experience.
There are so many religions, Nagesh, because there are so
many people, different types of people. Different people have different
likings, different people have different approaches towards reality, and
reality is multidimensional.
Hence my emphasis is: we need a religious consciousness,
a universal upsurge of religious consciousness. Of course it will take many
forms, but forms don’t matter; as far as the spirit is alive, forms don’t
matter. And each form is beautiful. There are so many people: each has a
different face, a different beauty. Each person’s fingerprints are different
from every other person’s in the world — but this does not create any trouble.
Each person’s footprints towards God’s door are going to be different.
Once we understand it a great brotherhood is possible.
Otherwise this nonsense of religious fanaticism — that “Only I am right” — has
been very destructive. It has destroyed religion itself; it has condemned
religion and religious people. That’s why there are so many irreligious people,
antireligious people. It is what religion has done to humanity up to now that
has created antireligious people — atheists, godless people, God-denying
people. The responsibility is of the priests, rabbis, popes, pundits,
shankaracharyas — these are the responsible people. They have made religion so
ugly, so inhuman, so violent, so stupid, that any rational person feels a
little ashamed of being part of any religious movement.
We have to destroy the ugly heritage of the past. We have
to clean the space for the future. All are accepted: the Bible has its own
beauty, so has the Koran, so has the Gita. And if you are religious you will
enjoy the Bible as much as you will enjoy the Koran and the Gita, because you
will know only languages are different. And the difference of languages creates
different beauty. Sing the Koran, and you will see the difference. The Bible
cannot be beautiful that way; the Koran has a singing quality to it. You can
sing the Koran; even if you don’t understand the meaning, the very music of it
will be a transforming force. In fact, the Koran does not have much meaning; it
has great poetry but not much meaning.
Many Mohammedan friends, many Mohammedan sannyasins, ask
me when I am going to speak on the Koran. I have thought many times. Many times
I have taken the Koran into my hand, looked here and there, and postponed it
again — because the Koran has not much meaning. It has poetry, it has a totally
different beauty. It is a piece of art!
If you want meaning then the Gita has more meaning, but
not that much poetry; then the Bible has more meaning, but not that much
poetry. The Bible has its own beauty. It is so simple, the simplest scripture
in the world, and because it is simple it has innocence, purity. Jesus speaks
in the language of a villager: the parables and the metaphors are all
primitive. But because they are primitive they have a purity, they are
unpolluted — unpolluted by the modern mind. They are straight, they go direct
to the heart like an arrow. But if you want meaning then you should look into
the Vedas, which are full of philosophy. They have their own beauty — the
beauty of intellectuality.
Each scripture has something to contribute to the world,
and no scripture can do everything. But because you don’t understand different
languages, the problem arises. It will be good to have a few encounters with
different religions.
That’s why I go on speaking, sometimes on Buddhism,
sometimes on Hinduism, sometimes on Christianity, sometimes on Judaism, on
Hassids, on Zen, on Sufis — for a certain reason: to give you different
visions, so your own eyes can become rich, so that you can understand different
language also a little bit.
Foster, in Tokyo on business, knew no Japanese. Even so,
he persuaded an attractive girl, who spoke no English, to come to his hotel
room. All during their lovemaking, the Oriental kept shouting “Machigai ana!”
with great feeling.
Foster felt proud that he could get the girl so aroused
to keep yelling, “Machigai ana!” Foster must have been thinking that this is
something like “Fantastic! Far out!”
The next afternoon he played golf with a Japanese
industrial tycoon. When the Oriental made a hole-in-one, Foster attempted to
make a good impression and exclaimed “Machigai ana! Machigai ana!”
“What do you mean,” snapped the tycoon, “the wrong hole?”
It is good to know a little bit of other languages too.
It will be a great help to you to have a few glimpses of the Koran, the Bible,
the Gita, THE DHAMMAPADA. That will make you more liberal, more broad-minded,
more human.
Osho – The Dhammapada – The Way of the Buddha, Vol 3
#Posted by Osho Indonesia
Komentar
Posting Komentar