Setiap aksi selalu menimbulkan reaksi, siapa yang menanam
benih, pada suatu saat akan memetik buah akibat penanaman benihnya. Benih padi
akan panen setelah 4 bulan. Benih buah mangga akan panen setelah 6 tahun. Benih
pohon jati akan panen setelah 25-50 tahun. Ada aksi yang reaksinya kembali
dengan cepat dan ada aksi yang reaksinya menunggu matang dan dalam waktu lama
baru reaksinya kembali. Bila dalam satu kehidupan belum datang akibat, bisa
jadi akan datang pada kehidupan berikutnya. Setiap ucapan dan tindakan kita
adalah benih yang telah kita tanam, hanya kita tidak tahu kapan hasil panen
dari penanaman benih tersebut.
Sehingga bila saat ini kehidupan kita sejak lahir relatif
baik, maka benih-benih yang kita tanam di kehidupan masa lalu juga baik. Tetapi
kita sama-sama mengalami, walau relatif kondisi baik, apakah dalam hidup ini
kita tidak akan menerima godaan untuk berbuat sesuatu yang menurunkan
kesadaran? Katakanlah Anda tampan/cantik, kaya, berpendidikan, apakah Anda
dijamin tidak mengalami godaan yang dapat menurunkan tingkat kesadaran lagi?
Atau apakah godaan justru akan semakin besar?
Berikut penjelasan Soul Awareness tentang godaan duniawi
yang semakin besar setelah tahun 70-an…….
“Saya Tidak Berkepentingan dengan Kepercayaan mana pun,
pokoknya berbuat baik, itu saja tujuan hidup saya. Untuk apa mempelajari
reinkarnasi segala?” kata seorang pengusaha yang saat itu sedang naik daun.
Memang betul, berbuat baik adalah laku tertinggi. Itu
yang dibutuhkan. Tetapi, selama masih ada “aku” berbuat baik, selama masih ada
keangkuhan, perbuatan baik sebaik apa pun akan ternoda olehnya.
Mereka yang betul-betuI berbuat baik, berbuat tanpa
upaya, tanpa menyadari bila kebaikan sedang terjadi lewat mereka. Ada orang
yang menyumbang 100 juta, dan mengeluarkan 20 juta untuk media supaya perbuatan
baiknya diberitakan. Perbuatan baik? Atau, sekadar memberikan angin kepada ego?
Setiap kali terjadi kebaikan lewat Anda, dan terlintas,
“Aku sedang berbuat baik,” maka dengarlah nasihat para resi, idam na mama—semua
ini terjadi bukan karenaku, bukan karenaku, semua adalah berkah-Mu, berkah-Mu,
berkah-Mu.
Mohandas Karamchand Gandhi, Sang Mahatma, memopulerkan
istilah Daridra Narayana. Baginya, Wajah Tuhan ada di mana-mana, di Utara dan
Selatan, di Barat, dan di Timur; dan Wujud Gusti, Wujud Narayana meliputi
seantero alam. Ya, namun di dalam diri seorang hina, dina, dan papa, dalam diri
para miskin, para daridra, kehadiran-Nya paling terasa.
Sang Mahatma melayani sesama, melayani mereka yang
terlupakan oleh masyarakat, bukan dengan semangat membantu, berdana punia atau
beramal saleh.Tetapi dengan semangat menyembah Tuhan, Sang Narayana, Hyang
berada di dalam diri mereka.
Semangat pelayanan seperti itulah yang dibutuhkan untuk
mengakhiri siklus kelahiran dan kematian yang tidak berkesudahan. Dalam
semangat seperti ini, tiada lagi perbedaan, tiada Iagi perpisahan antara yang
melayani dan yang dilayani.Yang ada hanyalah kemurnian, ketulusan, kemuliaan
pelayanan.
Paman Saya Seorang Dokter, saya pernah bercerita tentang
dirinya dalam salah satu jilid trilogi Cakrawala Sufi. Ia menjalankan profesinya
dengan semangat pelayanan. Sayang, tidak semua dokter memiliki semangat yang
sama.
Apalagi sekarang!
Rumah sakit sudah menjadi tempat usaha. Para dokter
menjadi pegawai yang dibayar gaji plus komisi. Kacau. Sekarang semangatnya:
Makin banyak orang sakit, makin menguntungkan. Makin banyak peralatan terpakai,
makin baik bagi usaha.
Lain sekarang, lain dulu.
Dulu, anak-anak yang lahir dan menjadi dokter adalah
mereka yang sejak masa kehidupan sebelumnya sudah memiliki niat yang kuat,
keinginan yang kuat untuk melayani sesama. Mungkin terdorong oleh pengalaman
pribadi, oleh seorang anggota keluarga yang meninggal karena tidak mendapatkan
bantuan medis yang memadai. Atau, mungkin diri mereka sendiri meninggal karena
penyakit yang belum ada obatnya. Jadi, mereka “lahir kembali” untuk tujuan yang
jelas.
Sayang, Tidak Demikian Lagi SejakTahun 1970-an. Mayoritas
anak-anak yang lahir dan menjadi dokter tidak memiliki semangat pelayanan.
Keinginan mereka untuk menjadi dokter supaya “bisa beli mobil besar seperti…..”
Supaya bisa punya rumah besar, supaya bisa punya uang banyak. Semangatnya
adalah semangat perdagangan, semangat dagang.
Keadaan itu kian hari kian parah, sebab makin banyak
dokter yang memang menjalankan “usaha kedokteran”. Tidak lagi melayani para
pasien sebagai pelayan kesehatan dan penyembuhan.
Ada pula dokter-dokter turun-temurun, “Habis bagaimana?
Orang tua dokter, mertua dokter, saudara dokter, kakak ipar dokter……”
Tidak ada yang salah jika seorang anak mengikuti jejak
orang tuanya dan menjadi dokter; atau anak pengacara menjadi pengacara; anak
seniman menjadi seniman; anak pengusaha menjadi pengusaha, selama alasannya
bukanlah, “habis bagaimana?” Alasannya mestilah dorongan dari dalam diri
sendiri. Bukan terpicu oleh materi di luar.
Keadaan Seperti Itu Telah Mengacaukan Tatanan Dunia.
Reinkarnasi berulang kali pun tidak cukup untuk menyelesaikan satu perkara.
Dunia kita—masyarakat planet bumi ini—masih memiliki
banyak perkara pending. Masih banyak kasus yang belum selesai. Masih banyak
pertikaian yang berlanjut sejak berabad-abad lalu. Ditambah lagi dengan
persoalan-persoalan baru.
Alhasil, kemajuan teknologi dan perkembangan di bidang
sains pun belum mampu membahagiakan manusia. Teknologi dan sains malah
digunakan untuk saling mencelakakan, bahkan saling membunuh.
Adakah harapan bagi kita?
Adakah harapan bagi dunia kita? Jawabannya: Ada. Hukum
Alam terkait dengan Reinkarnasi adalah bukti bila keberadaan masih memercayai
kita, masih berharap bila tiap-tiap di antara kita. akan bertindak sebagai wali
planet. Setiap kali gagal, kita masih juga mendapatkan kesempatan baru.
(Dari buku (Anand Krishna (2016). Soul Awareness,
Menyingkap Rahasia Roh dan Reinkarnasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Komentar
Posting Komentar