Langsung ke konten utama

Jalan Tengah Cinta Buddha Bukan Cinta Biasa

Setelah ribuan tahun, kitab kuno Vigyana Bhairava Tantra pertama kali dibabarkan untuk umum oleh OSHO. Belakangan buku ini di publish dengan judul “The Book of Secrets”. Vigyana Bhairava Tantra berisi 112 teknik yang diberikan oleh Shiva kepada Parvati. Sutra berikut ini adalah teknik untuk tetap berada pada jalan tengah.

SUTRA / AYAT :

Teknik kelima: PIKIRAN TAK SADAR, JAGALAH DI TENGAH – SAMPAI.

The fifth technique: UNMINDING MIND, KEEP IN THE MIDDLE – UNTIL.

Hanya sepanjang ini sutranya. Sama seperti setiap sutra ilmiah itu pendek, tapi bahkan beberapa kata ini dapat benar-benar mengubah hidupmu. PIKIRAN TAK SADAR, JAGALAH DI TENGAH – SAMPAI.

Only this much is the sutra. Just like any scientific sutra it is short, but even these few words can transform your life totally. UNMINDING MIND, KEEP IN THE MIDDLE – UNTIL.

JAGALAH DI TENGAH … Buddha mengembangkan seluruh teknik meditasinya pada sutra ini. JalanNya dikenal sebagai MAJJHIM NIKAYA – jalan tengah. Buddha mengatakan, “Tetap selalu di tengah – Dalam segalanya “.

KEEP IN THE MIDDLE… Buddha developed his whole technique of meditation on this sutra. His path is known as MAJJHIM NIKAYA – the middle path. Buddha says, ”Remain always in the middle – in everything.”

Seorang Pangeran, Shrown, mengambil inisiasi, Buddha menginisiasikannya menjadi petapa. Pangeran itu manusia yang jarang ada, dan ketika ia menjadi petapa, ketika ia diinisiasi, seluruh kerajaannya menjadi heran. Kerajaannya tidak bisa percaya, orang-orang tidak percaya bahwa Pangeran Shrown bisa menjadi seorang murid. Tidak ada yang bahkan pernah membayangkan hal itu, karena ia adalah seorang pria dari dunia ini – memuaskan diri dalam segalanya, memuaskan diri sampai tingkat ekstrim. Anggur dan wanita adalah seluruh dunianya.

One Prince Shrown took initiation, Buddha initiated him into sannyas. That prince was a rare man, and when he took sannyas, when he was initiated, his whole kingdom was just amazed. The kingdom couldn’t believe it, the people couldn’t believe that Prince Shrown could become a sannyasin. No one had ever even imagined it, as he was a man of this world – indulging in everything, indulging to the extreme. Wine and women were his whole milieu.

Lalu tiba-tiba Buddha datang ke kota, dan sang pangeran pergi menemuinya untuk DARSHAN – satu pertemuan spiritual. Dia menjatuhkan diri di kaki Buddha dan dia berkata, “Inisiasikan aku. Aku akan meninggalkan dunia ini. “Mereka yang datang bersamanya bahkan tidak sadar …kejadiannya begitu tiba-tiba. Jadi mereka bertanya pada Buddha, “Apa yang terjadi? Ini adalah sebuah keajaiban. Shrown bukan tipe orang seperti itu, dan dia telah hidup sangat mewah. Hingga kini kami bahkan tidak bisa membayangkan bahwa Shrown akan mengambil Sannyas, jadi apa yang terjadi? Engkau telah melakukan sesuatu.”

Then suddenly Buddha came to the town, and the prince went to see him for a DARSHAN – A spiritual encounter. He fell at Buddha’s feet and he said, ”Initiate me. I will leave this world.” Those who had come with him were not even aware… this was so sudden. So they asked Buddha, ”What is happening? This is a miracle. Shrown is not that type of man, and he has lived very luxuriously. Up to now we couldn’t even imagine that Shrown is going to take sannyas, so what has happened? You have done something.”

Buddha berkata, “Aku tidak melakukan apa-apa. Pikiran dapat dengan mudah berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Itulah jalan pikiran – untuk berpindah dari satu ekstrem ke yang lain. Jadi Shrown tidak melakukan sesuatu yang baru. Hal ini bisa diharapkan. Karena engkau tidak tahu hukum pikiran, itu sebabnya mengapa engkau begitu kaget.”

Buddha said, ”I have not done anything. Mind can move easily from one extreme to the other. That is the way of the mind – to move from one extreme to another. So Shrown is not doing something new. It is to be expected. Because you do not know the law of the mind, that is why you are so much taken aback.”

Pikiran bergerak dari satu ekstrem ke yang lain, itu adalah jalan pikiran. Jadi itu terjadi setiap hari: seorang yang tergila-gila akan kekayaan lalu meninggalkan segalanya, menjadi fakir telanjang. Kita berpikir, “Sungguh suatu keajaiban!” Tapi itu bukan apa-apa – hanya hukum biasa. Seseorang yang tidak tergila-gila akan kekayaan tidak bisa diharapkan untuk meninggalkan segalanya, karena hanya dari satu ekstrem engkau dapat pindah ke yang lain – seperti pendulum, dari satu ekstrem ke yang lain.

The mind moves from one extreme to another, that is the way of the mind. So it happens every day: a person who was mad after wealth renounces everything, becomes a naked fakir. We think, ”What a miracle!” But it is nothing – just the ordinary law. A person who was not mad after wealth cannot be expected to renounce, because only from one extreme can you move to another – just like a pendulum, from one extreme to the other.

Jadi seorang yang mengejar kekayaan, tergila-gila akan kekayaan, akan menjadi marah terhadapnya, tapi kegilaan itu tetap tinggal – itulah pikiran. Seorang pria yang hidup hanya untuk seks, bisa menjadi selibat, mungkin pindah ke kehidupan yang terisolasi, tetapi kegilaannya tetap tinggal. Sebelumnya ia hidup hanya untuk sex, sekarang ia akan hidup melawan sex, namun sikapnya, pendekatannya, akan tetap sama.

So a person who was after wealth, mad after wealth, will become mad against it, but the madness will remain – that is the mind. A man who lived just for sex may become a celibate, may move into isolation, but the madness will remain. Before he was living only for sex, now he will be living only against sex – but the attitude, the approach, remains the same.

Jadi seorang Brahmachari, yang selibat, tidak sesungguhnya melampaui seks; seluruh pikirannya berorientasi seks. Dia melawan, tapi tidak melampauinya. Jalan melampaui selalu di tengah, tidak pernah di ekstrim. Maka Buddha berkata, “Hal ini bisa diharapkan. Tidak ada keajaiban yang telah terjadi. Ini adalah bagaimana pikiran bekerja. ”

So a BRAHMACHARI, a celibate, is not really beyond sex; his whole mind is sex-oriented. He is against, but not beyond. The way of beyond is always in the middle, it is never at the extreme. So Buddha says, ”This could have been expected. No miracle has happened. This is how mind works.”

Shrown menjadi pengemis, seorang petapa. Ia menjadi seorang bhikkhu, seorang rahib, dan segera murid-murid Buddha lainnya mengamati bahwa ia pindah ke ekstrem yang lain. Buddha tidak pernah meminta siapa pun untuk menjadi telanjang, tapi Shrown menjadi telanjang. Buddha tidak mendukung ketelanjangan. Ia berkata, “Itu hanyalah ekstrim yang lain.”

Shrown became a beggar, a sannyasin. He became a BHIKKHU, a monk, and soon other disciples of Buddha observed that he was moving to the other extreme. Buddha never asked anyone to be naked, but Shrown became naked. Buddha was not for nakedness. He said, ”That is just another extreme.”

Ada orang yang hidup untuk pakaian seolah-olah itu adalah hidup mereka, dan ada orang lain yang menjadi telanjang – tetapi keduanya percaya pada hal yang sama. Buddha tidak pernah mengajarkan ketelanjangan, tapi Shrown menjadi telanjang. Dia adalah satu-satunya murid Buddha yang telanjang. Dia menjadi sangat, sangat menyiksa diri. Buddha memperbolehkan satu kali makan setiap hari untuk para petapa, tapi Shrown akan makan satu kali setiap dua hari. Ia menjadi ramping dan kurus. Sementara semua murid-murid lainnya akan duduk untuk meditasi di bawah pohon, di tempat teduh, ia tidak akan pernah duduk di bawah pohon manapun. Dia akan selalu tinggal di panas matahari. Dia dulunya seorang pria yang tampan dan memiliki tubuh yang sangat bagus, tapi dalam waktu enam bulan tidak ada yang bisa mengenali bahwa ia adalah orang yang sama. Ia menjadi jelek, gelap, hitam, terbakar.

There are persons who live for clothes as if that is their life, and there are other persons who become naked – but both believe in the same thing. Buddha never taught nakedness, but Shrown became naked. He was the only disciple of Buddha who was naked. He became very, very self-torturing. Buddha allowed one meal every day for the sannyasins, but Shrown would take only one meal on alternate days. He became lean and thin. While all the other disciples would sit for meditation under trees, in the shade, he would never sit under any tree. He would always remain in the hot sun. He was a beautiful man and he had a very lovely body, but within six months no one could recognize that he was the same man. He became ugly, dark, black, burned.

Buddha pergi ke Shrown suatu malam dan bertanya, “Shrown, aku telah mendengar bahwa ketika engkau adalah pangeran, sebelum inisiasi, engkau sering bermain Veena, sebuah sitar, dan engkau adalah seorang musisi besar. Sehingga aku datang untuk mengajukan satu pertanyaan padamu. Jika senar dari veena sangat longgar, apa yang terjadi? ” Shrown berkata, “Jika senar sangat longgar, maka tak ada musik yang mungkin.” Dan kemudian Buddha berkata, “Dan jika senar sangat ketat, terlalu ketat, lalu apa yang terjadi? “Shrown berkata,” Maka musik juga tidak bisa dihasilkan. Senar harus berada di tengah – tidak longgar atau ketat, tapi persis di tengah. “Shrown berkata,” Sangat mudah untuk bermain veena, tetapi hanya seorang ahli dapat mengatur senar ini dengan benar, di tengah.”

Buddha went to Shrown one night and asked him, ”Shrown, I have heard that when you were a prince, before initiation, you used to play on a VEENA, a sitar, and you were a great musician. So I have come to ask you one question. If the strings of the veena are very loose, what happens?” Shrown said, ”If the strings are very loose, then no music is possible.” And then Buddha said, ”And if the strings are very tight, too tight, then what happens?” Shrown said, ”Then too music cannot be produced. The strings must be in the middle – neither loose nor tight, but just exactly in the middle.” Shrown said, ”It is easy to play the veena, but only a master can set these strings right, in the middle.”

Jadi Buddha berkata, “Sebanyak inilah yang harus kukatakan kepadamu, setelah mengamatimu selama enam bulan terakhir – bahwa dalam hidup dan juga musik, terjadi hanya saat senarnya itu tidak longgar atau ketat, tetapi persis di tengah. Jadi untuk meninggalkan segalanya itu mudah, tetapi hanya seorang ahli yang tahu bagaimana berada di tengah. Jadi Shrown, jadilah seorang ahli, dan biarkan senar-senar kehidupan ini persis di tengah – dalam segala hal. Jangan pergi ke ekstrim ini, jangan pergi ke extrim yang lain. Semua hal memiliki dua ekstrem, tapi engkau tetap tinggal persis di tengah.”

So Buddha said, ”This much I have to say to you, after observing you for the last six months – that in life also the music comes only when the strings are neither loose nor tight, but just in the middle. So to renounce is easy, but only a master knows how to be in the middle. So Shrown, be a master, and let these strings of life be just in the middle – in everything. Do not go to this extreme, do not go to that one. Everything has two extremes, but you remain just in the middle.”

Tapi pikiran sangat lengah. Itulah sebabnya sutra mengatakan, PIKIRAN TAK SADAR… Engkau akan mendengar ini, engkau akan memahami hal ini, tapi pikiran tidak akan memperhatikannya. Pikiran akan selalu terus memilih yang ekstrem.

But the mind is very unmindful. That is why the sutra says, UNMINDING MIND… You will hear this, you will understand this, but the mind will not take note. The mind will always go on choosing extremes.

Yang ekstrem memiliki daya tarik bagi pikiran. Mengapa? Karena di tengah, pikiran mati. Lihatlah sebuah pendulum: jika engkau memiliki jam tua, lihatlah pendulumnya. Pendulum bisa terus bergerak sepanjang hari jika ia pergi ke titik ekstrem. Ketika ia pergi ke kiri ia mengumpulkan momentum (daya gerak) untuk pergi ke kanan. Ketika ia pergi ke kanan, jangan berpikir bahwa ia sedang pergi ke kanan – ia sedang mengumpulkan momentum untuk pergi ke arah kiri. Jadi titik ekstremnya adalah kanan-kiri, kanan-kiri.

The extreme has a fascination for the mind. Why? Because in the middle, mind dies. Look at a pendulum: if you have any old clock, look at the pendulum. The pendulum can go on moving the whole day if it goes to the extremes. When it goes to the left it is gathering momentum to go to the right. When it goes toward the right, do not think that it is going toward the right – it is accumulating momentum to go toward the left. So the extremes are right-left, right-left.

Biarkanlah pendulum tinggal di tengah, maka seluruh momentumnya hilang. Maka pendulum tidak memiliki energi, karena energi berasal dari salah satu ekstrem. Kemudian ekstrem itu melemparnya ke arah lain, dan sekali lagi, dan itu adalah sebuah lingkaran … pendulum terus bergerak. Biarlah dia di tengah, dan seluruh gerakan itu akan berhenti.

Let the pendulum stay in the middle, then the whole momentum is lost. Then the pendulum has no energy, because the energy comes from one of the extremes. Then that extreme throws it toward another, then again, and it is a circle… the pendulum goes on moving. Let it be in the middle, and the whole movement will then stop.

Pikiran adalah seperti pendulum dan setiap hari, jika engkau amati, engkau akhirnya akan mengetahuinya. Engkau memutuskan satu hal pada satu ekstrim, dan kemudian engkau pindah ke yang lain. Engkau marah; lalu engkau menyesal. Engkau memutuskan, “Tidak, ini sudah cukup. Sekarang aku tidak akan pernah marah lagi. “Tapi engkau tidak melihat ekstrem itu.

Mind is just like a pendulum and every day, if you observe, you will come to know this. You decide one thing on one extreme, and then you move to another. You are angry; then you repent. You decide, ”No, this is enough. Now I will never be angry.” But you do not see the extreme.

“Tidak pernah” adalah ekstrim. Bagaimana engkau begitu yakin bahwa engkau tidak akan pernah marah? Apa yang engkau katakan? Pikirkan sekali lagi – tidak pernah? Lalu pergilah ke masa lalu dan ingatlah berapa kali engkau telah memutuskan bahwa “Aku tidak akan pernah marah.” Ketika engkau berkata, “Aku tidak akan pernah marah,” engkau tidak tahu bahwa dengan menjadi marah engkau telah mengumpulkan momentum untuk pergi ke ekstrim lainnya.

”Never” is an extreme. How are you so certain that you will never be angry? What are you saying? Think once more – never? Then go to the past and remember how many times you have decided that ”I will never be angry.” When you say, ”I will never be angry,” you do not know that by being angry you have accumulated momentum to go to the other extreme.

Sekarang engkau merasa menyesal, engkau merasa buruk. Citra dirimu terganggu, terguncang. Engkau sekarang tidak bisa mengatakan bahwa engkau adalah orang yang baik, engkau tidak bisa mengatakan bahwa engkau adalah orang yang religius. Engkau telah marah, dan bagaimana orang yang religius bisa marah? Bagaimana orang yang baik bisa marah? Jadi engkau bertobat untuk mendapatkan kembali kebaikanmu lagi. Setidaknya di matamu sendiri, engkau dapat merasa nyaman – bahwa engkau telah bertobat dan engkau telah memutuskan bahwa sekarang tidak akan ada lagi kemarahan. Citra yang terguncang telah kembali ke situasi lama. Sekarang engkau merasa nyaman, engkau telah pindah ke ekstrim lain.

Now you are feeling repentant, you are feeling bad. Your self-image is disturbed, shaken. Now you cannot say you are a good man, you cannot say that you are a religious man. You have been angry, and how can a religious man be angry? How can a good man be angry? So you repent to regain your goodness again. At least in your own eyes you can feel at ease – that you have repented and you have decided that now there will be no more anger. The shaken image has come back to the old status quo. Now you feel at ease, you have moved to another extreme.

Tetapi pikiran yang berkata, “Sekarang aku tidak akan pernah marah lagi,” akan marah lagi. Dan ketika engkau marah lagi, engkau akan lupa sepenuhnya penyesalanmu, keputusanmu – semuanya. Setelah kemarahan, sekali lagi keputusan akan datang dan penyesalan akan datang, dan engkau tidak akan pernah merasakan penipuan itu. Hal ini telah berlangsung seperti itu, selalu.

But the mind that says, ”Now I will never be angry,” will again be angry. And when you are again angry, you will forget completely your repentance, your decision – everything. After anger, again the decision will come and the repentance will come, and you will never feel the deception of it. This has been so always.

Pikiran bergerak dari kemarahan kepada penyesalan, dari penyesalan ke kemarahan. Tetaplah di tengah. Jangan menjadi marah dan jangan menyesal. Jika engkau telah marah, maka silakan, setidaknya lakukan hal ini: tidak menyesal. Jangan berpindah ke ekstrem yang lain. Tetaplah di tengah. Katakan, “Aku telah marah dan aku adalah orang jahat, orang yang kasar. Aku telah marah. Ini adalah bagaimana aku. “Tetapi jangan menyesal; jangan pindah ke ekstrim lain. Tetap di tengah. Jika engkau dapat tetap (di tengah), engkau tidak akan mengumpulkan momentum, energi untuk marah lagi.

Mind moves from anger to repentance, from repentance to anger. Remain in the middle. Do not be angry and do not repent. If you have been angry, then please, at least do this: do not repent. Do not move to the other extreme. Remain in the middle. Say, ”I have been angry and I am a bad man, a violent man. I have been angry. This is how I am.” But do not repent; do not move to the other extreme. Remain in the middle. If you can remain, you will not gather the momentum, the energy to be angry again.

Jadi sutra ini mengatakan, PIKIRAN TAK SADAR, JAGALAH DI TENGAH – SAMPAI. Dan apa yang dimaksud dengan SAMPAI? Sampai engkau meledak! Jagalah di tengah sampai pikiran mati. Jagalah di tengah sampai tak ada pikiran lagi. Jadi, PIKIRAN TAK SADAR, JAGALAH DI TENGAH – SAMPAI tidak ada pikiran. Jika pikiran ada di titik ekstrim, maka di tengah tak ada-pikiran.

So this sutra says, UNMINDING MIND, KEEP IN THE MIDDLE – UNTIL. And what is meant by UNTIL? Until you explode! Keep in the middle until the mind dies. Keep in the middle until there is no mind. So, UNMINDING MIND, KEEP IN THE MIDDLE – UNTIL there is no mind. If mind is at the extremes, then the middle will be no-mind.

Tetapi ini adalah hal yang paling sulit di dunia untuk dilakukan. Ini terlihat mudah, terlihat sederhana; mungkin tampaknya engkau dapat melakukan hal ini. Dan engkau akan merasa senang jika engkau berpikir bahwa tidaklah perlu untuk penyesalan apapun. Cobalah ini, dan kemudian engkau akan tahu bahwa ketika engkau telah marah pikiran akan bersikeras untuk menyesal.

But this is the most difficult thing in the world to do. It looks easy, it looks simple; it may appear as if you can do this. And you will feel good if you think that there is no need for any repentance. Try this, and then you will know that when you have been angry the mind will insist on repenting.

Suami dan istri terus bertengkar, dan selama berabad-abad dan lebih telah ada konselor, penasehat, orang-orang besar yang telah mengajarkan bagaimana caranya untuk hidup dan mencintai – tapi mereka terus bertengkar. Freud, untuk pertama kalinya, menyadari fenomena bahwa setiap kali engkau dalam cinta – yang-disebut cinta – engkau juga dalam benci. Di pagi hari ada cinta, di malam hari ada kebencian, dan pendulum terus bergerak. Setiap suami, setiap istri tahu ini, tapi Freud memiliki wawasan yang sangat luar biasa. Freud mengatakan bahwa jika pasangan telah berhenti bertengkar, ketahuilah bahwa cinta telah mati.

Husbands and wives continue to quarrel, and for centuries and centuries there have been counsellors, advisors, great men who have been teaching how to live and love – but they go on quarreling. Freud, for the first time, became aware of the phenomenon that whenever you are in love – so-called love – you are also in hate. In the morning it is love, in the evening it is hate, and the pendulum goes on moving. Every husband, every wife knows this, but Freud has a very uncanny insight. Freud says that if a couple has stopped fighting, know well that love has died.

Cinta yang hidup bersama kebencian dan perkelahian tidak bisa bertahan, jadi jika engkau melihat pasangan yang tidak pernah berkelahi, janganlah berpikir bahwa mereka adalah pasangan yang ideal. Ini berarti mereka bukan pasangan sama sekali. Mereka hidup secara paralel, tapi tidak dengan satu sama lain. Mereka adalah garis paralel yang tidak pernah bertemu di mana pun, bahkan tidak untuk bertengkar. Mereka berdua sendirian saja bersama-sama – paralel.

That love which existed with hate and fight cannot remain, so if you see a couple never fighting, do not think that this is the ideal couple. It means no couple at all. They are living parallel, but not with each other. They are parallel lines never meeting anywhere, not even to fight. They are both alone together – parallel.

Pikiran harus pindah ke yang sebaliknya, maka psikologi kini memberikan saran yang lebih baik. Sarannya lebih baik, lebih dalam, lebih tajam. Dikatakan bahwa jika engkau ingin benar-benar mencintai – dengan pikiran – maka jangan takut untuk bertengkar. Sesungguhnya, engkau harus bertengkar dengan benar sehingga engkau dapat pindah ke ekstrem yang lain yaitu cinta yang benar. Jadi, ketika engkau bertengkar dengan istrimu, jangan menghindarinya; jika tidak, cinta juga akan dihindari. Ketika waktu untuk bertengkar itu sampai, bertengkarlah sampai akhir. Lalu sampai malamnya engkau akan dapat mencintai: pikiran akan telah mengumpulkan momentum. Cinta biasa tidak bisa hidup tanpa pertengkaran karena ada pergerakan pikiran. Hanya cinta yang bukan dari pikiran bisa hidup tanpa pertengkaran, tapi kemudian itu adalah hal yang berbeda sama sekali.

Mind has to move to the opposite, so psychology now gives better advice. The advice is better, more deep, more penetrating. It says that if you really want to love – with the mind – then do not be afraid to fight. Really, you must fight authentically so you can move to the other extreme of authentic love. So when you are fighting with your wife, do not avoid it; otherwise the love will also be avoided. When the time for fight is there, fight until the end. Then by evening you will be able to love: the mind will have gathered momentum. The ordinary love cannot exist without fight because there is a movement of the mind. Only a love which is not of the mind can exist without fight, but then it is a different thing altogether.

Seorang Buddha mencintai … itu adalah hal yang berbeda sama sekali. Tetapi jika Buddha datang untuk mencintaimu, engkau tidak akan merasa nyaman karena tidak akan ada cacat di dalamnya. Ini akan hanya terasa manis dan manis dan manis – dan membosankan, karena bumbunya berasal dari pertengkaran. Seorang Buddha tidak bisa marah, ia hanya bisa mencintai. Engkau tidak akan merasakan cintanya karena engkau hanya bisa merasakan hal yang berlawanan; engkau dapat merasakannya hanya dalam kontras.

A Buddha loving… that is a different thing altogether. But if Buddha comes to love you, you will not feel good because there will be no fault in it. It will be simply sweet and sweet and sweet – and boring, because the spice comes from fight. A Buddha cannot be angry, he can only love. You will not feel his love because you can feel only opposites; you can feel it only in contrast.

Ketika Buddha kembali ke kota asalnya setelah dua belas tahun, istrinya tidak mau datang untuk menyambutnya. Seluruh kota berkumpul untuk menyambutnya kecuali istrinya. Buddha tertawa, dan ia berkata kepada murid utamanya, Ananda, “Yashodhara belum datang. Aku kenal dia dengan baik. Tampaknya dia masih mencintaiku. Dia bangga, dan dia merasa sakit hati. Aku berpikir bahwa dua belas tahun adalah waktu yang lama dan dia mungkin tidak mencintaiku sekarang, tetapi tampaknya dia masih cinta – masih marah. Dia tidak datang untuk menerimaku. Aku harus pergi ke rumah.”

When Buddha came back to his home town after twelve years, his wife wouldn’t come to receive him. The whole city gathered to receive him except his wife. Buddha laughed, and he said to his chief disciple, Ananda, ”Yashodhara has not come. I know her well. It seems she still loves me. She is proud, and she feels hurt. I was thinking that twelve years is a long time and she might not be in love now, but it seems she is still in love – still angry. She has not come to receive me. I will have to go to the house.”

Jadi Buddha pergi. Ananda menemaninya; itu adalah perjanjian dengan Ananda. Ketika Ananda mengambil inisiasi ia membuat suatu perjanjian dengan Buddha, yang Buddha setujui, bahwa ia akan selalu tinggal bersamanya. Dia adalah seorang saudara sepupu tua, jadi Buddha harus mengizinkannya.

So Buddha went. Ananda was with him; it was a condition with Ananda. When Ananda took initiation he made a condition with Buddha, to which Buddha agreed, that he would always remain with him. He was an elder cousin-brother, so Buddha had to concede.

Ananda mengikutinya ke dalam rumah, ke istana, sehingga Buddha berkata, “Setidaknya untuk kali ini engkau tinggal di belakang dan tidak datang bersamaku, karena dia akan sangat marah. Aku datang kembali setelah dua belas tahun, dan aku pergi begitu saja tanpa memberitahunya. Dia masih marah, jadi jangan datang denganku; kalau tidak dia akan merasa bahwa aku bahkan tidak mengijinkannya untuk mengatakan apa-apa. Dia harus merasa untuk mengatakan banyak hal, jadi biarkan dia marah, jangan ikut denganku.”

Ananda followed him into the house, into the palace, so Buddha said, ”At least for this you remain behind and do not come with me, because she will be furious. I am coming back after twelve years, and I just ran away without even telling her. She is still angry, so do not come with me; otherwise she will feel that I have not even allowed her to say anything. She must be feeling to say many things, so let her be angry, do not come with me.”

Buddha masuk. Tentu saja, Yashodhara bagaikan gunung berapi. Dia meletus, meledak. Dia memulai menangis dan meratap dan mengatakan banyak hal. Buddha tinggal di sana, menunggu di sana, dan perlahan-lahan ia reda dan menyadari bahwa Buddha tidak mengucapkan satu kata pun. Dia mengusap matanya dan menatap sang Buddha, dan Buddha berkata, “Aku datang untuk mengatakan bahwa aku telah mendapatkan sesuatu, aku telah mengenal sesuatu, aku telah menyadari sesuatu. Jika engkau menjadi tenang aku bisa memberikan pesan – kebenaran yang telah kusadari. Aku telah menunggu begitu lama agar engkau bisa melalui katarsis (melepaskan emosi yang kuat). Duabelas tahun adalah hal yang panjang. Engkau pasti telah mengumpulkan banyak luka, dan kemarahanmu dapat dimengerti; aku harapkan ini. Itu menunjukkan bahwa engkau masih mencintai aku. Tapi ada cinta yang melampaui cinta ini, dan hanya karena cinta itu aku telah datang kembali untuk mengatakan sesuatu padamu.”

Buddha went in. Of course, Yashodhara was just a volcano. She erupted, exploded. She started crying and weeping and saying things. Buddha stayed there, waited there, and by and by she cooled down and realized that Buddha had not even uttered a single word. She wiped her eyes and looked at Buddha, and Buddha said, ”I have come to say that I have gained something, I have known something, I have realized something. If you become cool I can give you the message – the truth that I have realized. I have waited so much in order that you could go through a catharsis. Twelve years is a long affair. You must have gathered many wounds, and your anger is understandable; I expected this. That shows that you are still in love with me. But there is a love beyond this love, and only because of that love have I come back to tell you something.”

Tetapi Yashodhara tidak bisa merasakan cinta itu. Sulit untuk merasakannya karena ia begitu diam. Ia sangat diam, seolah-olah ia tidak ada. Ketika pikiran berhenti, maka cinta yang berbeda terjadi. Tapi cinta itu yang tidak memiliki lawan. Ketika pikiran berhenti, sesungguhnya, apapun yang terjadi tidak memiliki lawan. Dengan pikiran, kutub sebaliknya akan selalu ada dan pikiran bergerak seperti pendulum. Sutra ini indah, dan mukjizat menjadi mungkin melaluinya: PIKIRAN TAK SADAR, JAGALAH DI TENGAH – SAMPAI.

But Yashodhara could not feel that love. It is difficult to feel it because it is so silent. It is so silent, it is as if absent. When mind ceases, then a different love happens. But that love has no opposite to it. When mind ceases, really, whatsoever happens has no opposite to it. With the mind there is always the polar opposite, and mind moves like a pendulum. This sutra is wonderful, and miracles are possible through it: UNMINDING MIND, KEEP IN THE MIDDLE – UNTIL.

Jadi cobalah. Dan sutra ini untuk seluruh hidupmu. Engkau tidak dapat melatihnya kadang-kadang saja, engkau harus menyadarinya terus menerus. Lakukan, berjalan, makan, dalam hubungan, di mana-mana – tetaplah di tengah. Cobalah setidaknya, dan engkau akan merasakan ketenangan tertentu yang berkembang, ketenangan datang kepadamu, pusat yang tenang tumbuh dalam dirimu.

So try it. And this sutra is for your whole life. You cannot practice it sometimes, you have to be aware continuously. Doing, walking, eating, in relationship, everywhere – remain in the middle. Try at least, and you will feel a certain calmness developing, a tranquility coming to you, a quiet center growing within you.

Bahkan jika engkau tidak berhasil dalam menjadi persis di tengah, cobalah untuk berada di tengah. Perlahan-lahan engkau akan memiliki perasaan apa artinya tengah. Apapun yang bisa menjadi halnya – benci atau cinta, kemarahan atau penyesalan – ingatlah selalu kutub yang berlawanan dan tetaplah di antaranya. Dan cepat atau lambat engkau akan menemukan titik tengah yang tepat.

Even if you are not successful in being exactly in the middle, try to be in the middle. By and by you will have the feel of what middle means. Whatsoever may be the case – hate or love, anger or repentance – always remember the polar opposites and remain in between. And sooner or later you will stumble upon the exact middle point.

Setelah engkau tahu itu engkau tidak pernah bisa melupakannya lagi, karena titik tengah itu berada di luar pikiran. Titik tengah itu adalah semua arti spiritualitas.

Once you know it you can never forget it again, because that middle point is beyond the mind. That middle point is all that spirituality means.

(Osho. Vigyana Bhairava Tantra. Chapter 11. Techniques to penetrate the inner centers)
#Posted By Osho Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salah Satu Syair Rumi Tentang Reinkarnasi

Sebagai tahapan yang harus dilalui wujud lahir, tingkatan wujud berikutnya akan berproses sesuai dengan rancangan wujud sebelumnya. Dengan jalan seperti ini muncullah ribuan perubahan. Dan tiap perubahan selalu lebih baik dari sebelumnya. Sadarilah selalu wujudmu saat ini karena jika kau berpikir tentang wujudmu di masa lalu, maka kau akan memisahkan dirimu dari Diri Sejatimu. Inilah semua keadaan yang tetap yang kau saksikan dalam kematian. Lalu mengapa harus kau palingkan mukamu dari kematian? Ketika tahapan kedua lebih baik dari tahapan pertama, maka matilah dengan senyum suka cita. Dan arahkan pandanganmu ke depan untuk menempati wujud baru yang lebih baik dari wujud sebelumnya. Sadarilah, dan jangan tergesa-gesa. Kau harus mati terlebih dulu sebelum memperbaiki diri. Laksana sang surya, hanya jika kau tenggelam di Barat, maka di Timur, kau akan menyaksikan wajahmu yang cerlang gemilang.  ( Jalaluddin Rumi ) Tulisan Di Batu Nisan Jalaluddin...

Kata-Kata Indah Dari Osho

Kita telah hidup dalam pikiran selama begitu banyak kehidupan, dan kita telah menjadi selaras dengan kegelapannya, dengan keburukannya, kesia-siaannya. Ketika engkau bertindak tanpa pikiran, seluruh keberadaanmu bergetar. Engkau bergerak di jalur yang berbahaya. Pikiran berkata, “Waspada! Pikirkan dulu, baru kemudian bertindak.” Tetapi jika engkau berpikir dulu dan baru kemudian melakukan sesuatu, perbuatanmu akan selalu mati, basi. Ini akan keluar dari pikiran, ini tidak akan menjadi nyata dan otentik. Maka engkau tidak bisa mencintai, Maka engkau tidak bisa bermeditasi, Maka engkau tidak bisa benar-benar hidup dan engkau tidak bisa mati. Engkau menjadi hantu, keberadaan yang palsu. Cinta mengetuk hatimu dan engkau berkata, “Tunggu! Aku akan memikirkannya.” Kehidupan terus mengetuk pintumu dan engkau berkata, “Tunggu! Aku akan memikirkannya.” OSHO, A Bird on the wing, Chpt 9, Save the cat “Kuasai hanya satu hal: dirimu sen...

Osho, aku ingin berdoa kepada Tuhan. Tolong ajari aku caranya

“Prayer means gratefulness, prayer means no complaint. Prayer means ”I am thankful for all that has been given to me; more I could not have asked for.” In that very prayerfulness one becomes graceful”. ___Osho Doa berarti rasa syukur, doa berarti tidak ada keluhan. Doa berarti “Saya bersyukur untuk semua yang telah diberikan kepada saya; lebih saya tidak bisa meminta.” Dalam penuh rasa syukur itu orang menjadi graceful.. ------------------------------------------- “Osho, aku ingin berdoa kepada Tuhan. Tolong ajari aku caranya” Osho: “JANGAN MEREPOTKAN ALLAH, DIA PUNYA MASALAH SENDIRI. Tidakkah anda lihat apa pun yang Dia ciptakan adalah mati? Anda menyimpan masalah anda kepada diri sendiri. Mengapa orang harus ingin berdoa kepada Allah? ALLAH TIDAK MEMBUTUHKAN DOA-DOA ANDA. Anda mungkin memerlukan doa-doa itu — tapi mereka tidak akan sesuatu yang lebih dari suara keinginan anda, tuntutan anda, mengekspresikan keluhan anda. Itulah apa yang dilakukan orang atas nama d...