…agar manusia selamat, tujuan hidupnya harus ditegakkan
diatas keabadian atau nilai-nilai yang abadi, bukan di atas kesementaraan atau
nilai-nilai yang bersifat sementara. Segala yang bersifat sementara, seperti
halnya tubuh jasmani, mudah lapuk, begitu pula dengan materialisme, hedonisme
material, konsumerisme, relativisme budaya, dan lain-lain yang sejenis.
Rumi tampil sebagai tokoh terkemuka pada zamannya setelah
menyadari bahwa banyak orang di sekelilingnya memeluk suatu agama disebabkan
situasi-situasi tertentu yang tidak disadari penyebabnya. Setelah mereka
memeluk suatu agama dan memperoleh pengetahuan formal tentang agama yang
dianut, merekapun merasa puas. Dalam kenyataan, perilaku, kepribadian, dan
pikiran mereka tidak mengalami perubahan yang berarti. Begitu pula pengajaran
yang diberikan kepada mereka selama ini ternyata tidak dengan serta-merta mampu
mendorong hati dan perasaan mereka tumbuh dengan baik, dalam arti tertuju pada sesuatu
yang lebih positif dan bermakna. Perilaku, jiwa, kepribadian, dan pemikiran
seseorang bisa berubah apabila sikap, pandangan hidup, dan gambaran dunia
(worldview)dalam jiwa mereka mengalami perubahan. Agar itu bisa terjadi, maka
kesadaran batinnya harus diubah. Ini merupakan tugas ilmu-ilmu agama, khususnya
tasawuf dan falsafah.
Rumi juga berpendapat bahwa pikiran seseorang akan terang
dan memperoleh ‘pencerahan’ apabila orang tersebut memiliki perasaan positif
terhadap segala sesuatu. Rumi menyadari – dalam pengalamannya – bahwa
pertentangan berlarut-larut yang timbul antar golongan masyarakat, juga di
kalangan penganut agama yang sama namun berlainan mazhab, sering terjadi karena
satu sama lain tidak saling mengetahui keadaan masing-masing. Sebagai seorang
guru yang telah bertahun-tahun mengajar berbagai ilmu kepada santrinya, Rumi
insaf bahwa ternyata ilmu syariat, fiqih, dan ilmu mantik (logika) yang
diajarkan kepada murid-muridnya tidak lebih sebagai sarana belaka, yang bisa
saja melahirkan kebaikan atau keburukan.
Semua itu mendorong Rumi mengajukan pertanyaan-pertanyaan
mendasar. Misalnya,
Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat orang semakin
pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama menimbulkan permusuhan?
Mengapa orang beriman berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan?
Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar?
Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman?
Apakah hanya untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas kehidupan?
Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci gagal dalam tindakan dan muamalah?
Jika rasa cinta tumbuh dalam diri seseorang, mengapa sikapnya lantas berubah, pemahaman yang segar lantas muncul, dan perbedaan pendapat tentang hal-hal yang bersifat furu lantas dilupakan?
Mengapa orang beriman berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan?
Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar?
Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman?
Apakah hanya untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas kehidupan?
Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci gagal dalam tindakan dan muamalah?
Jika rasa cinta tumbuh dalam diri seseorang, mengapa sikapnya lantas berubah, pemahaman yang segar lantas muncul, dan perbedaan pendapat tentang hal-hal yang bersifat furu lantas dilupakan?
Cinta bagi Rumi memiliki arti “Perasaan sejagat”, “Sebuah
roh persatuan degan alam semesta”. Cinta adalah pemulihan terhadap kesombongan
yang melekat dalam diri manusia, tabib segala kelemahan dan duka cita. Cinta juga
adalah kekuatan yang menggerakkan perputaran dunia dan alam semesta. Dan cinta
pulalah yang memberikan makna bagi kehidupan dan keberadaan kita. Makin
seseorang mencintai, makin larutlah ia terserap dalam tujuan-tujuan ilahiah
kehidupan. Dalam tujuan-tujuan ilahiah penciptaan inilah manusia memperoleh
makna yang sebenarnya dari kehidupannya di dunia dan itu pulalah yang
memberinya kebahagiaan rohaniah yang tidak terkira nilainya.
___Dari buku: Matsnawi
Senandung Cinta Abadi
Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.
Halaman: (xxiii ) – ( xxvi– xxx)
Senandung Cinta Abadi
Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.
Halaman: (xxiii ) – ( xxvi– xxx)
***
F.C. Happold (1960) memasukkan Rumi ke dalam tokoh
terkemuka mistisisme cinta dan persatuan mistis (unio mystica). Mistisisme
jenis ini berusaha membebaskan diri dari rasa terpisah dan kesebatangkaraan
diri, dengan menyatukan diri dengan alam dan Tuhan, yang membawa rasa damai dan
memberi kepuasan kepada jiwa. Merasa sebatang kara, mistikus cinta berusaha
menanggalkan ‘diri khayali’ yang rendah (nafs) dan pergi menuju diri yang lebih
agung, Diri Hakiki. Menurut pandangan mistikus cinta, manusia adalah makhluk
yang paling mampu menyadari individualitasnya. Pada saat yang sama, manusia
mampu berperan serta dalam segala sesuatu melalui pikiran, perasaan, dan
imajinasinya. Tujuan mistisisme cinta ialah melakukan perjalanan rohani menuju
Diri Hakiki dan kebakaan, dimana Yang Satu bersemayam.
Rumi – sebagaimana telah dikemukakan – berpendapat bahwa
untuk memahami kehidupan dan asal usul ketuhanan dirinya, manusia dapat
melakukannya melalui Jalan Cinta, tidak semata-mata melalui jalan pengetahuan.
Cinta adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah keinginan
yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi malahan
menyamakan cinta dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi
makna keimanan, yang hasilnya ialah haqq al-yaqin, keyakinan yang penuh kepada
Yang Haq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Cinta
yang sejati dan mendalam, kata Rumi, dapat membawa seseorang mengenal hakikat
sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik
bentuk-bentuk formal kehidupan. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran
tertinggi, Rumi berpendapat bahwa cinta merupakan sarana manusia terpenting
dalam mentransendensikan dirinya terbang tinggi menuju Yang Satu. Kata Rumi,
“Inilah Cinta: Terbang tinggi kelangit
Setiap saat mencampakkan ratusan hijab
Mula-mula menyangkal dunia (zuhd)
Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa jasad
Cinta memandang dunia benda-benda telah raib
Dan tak memedulikan yang hanya tampak di mata
Ia memandang jauh ke balik dunia rupa
Menembus hakikat segala sesuatu”. – (Divan)
Setiap saat mencampakkan ratusan hijab
Mula-mula menyangkal dunia (zuhd)
Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa jasad
Cinta memandang dunia benda-benda telah raib
Dan tak memedulikan yang hanya tampak di mata
Ia memandang jauh ke balik dunia rupa
Menembus hakikat segala sesuatu”. – (Divan)
Dalam bait puisinya yang lain dalam Divan, Rumi
mengatakan bahwa Jalan Cinta dalam tasawuf berangkat dari diri yang satu dan
menuju ke diri yang lain. Yang pertama adalah nafs yang rendah yang merupakan
diri yang palsu dan sering diidentikkan dengan hawa nafsu. Sedangkan yang kedua
merupakan diri hakiki, yang di dalamnya terpancar keindahan ilahiah dari Sang
Pencipta. Diri palsu atau hawa nafsu ini diumpamakan sebagai ‘orang asing’ oleh
Rumi dalam sebuah puisinya,
“Jangan bangun rumahmu di tanah orang lain
Bekerjalah demi cita-cita dirimu yang hakiki di dunia ini
Jangan sampai kau terjerat oleh bujukan orang asing
Siapa orang asing itu kecuali nafsumu yang berlebihan pada dunia?
Dialah sumber bencana dan kepiluan hidupmu
Selama hanya tubuh yang kau rawat dan kau manjakan
Jiwamu tidak akan subur, juga tidak akan teguh”.
Bekerjalah demi cita-cita dirimu yang hakiki di dunia ini
Jangan sampai kau terjerat oleh bujukan orang asing
Siapa orang asing itu kecuali nafsumu yang berlebihan pada dunia?
Dialah sumber bencana dan kepiluan hidupmu
Selama hanya tubuh yang kau rawat dan kau manjakan
Jiwamu tidak akan subur, juga tidak akan teguh”.
Pada bagian lain dalam Matsnawi, sang sufi menuturkan,
“Hawa nafsumu adalah ibu semua berhala:
Berhala benda ialah ular, berhala jiwa ialah naga
Menghancurkan berhala itu mudah,
namun menganggap mudah menghancurkan hawa nafsu itu tolol
Wahai anakku, apabila kau ingin mengetahui bentuk hawa nafsu
bacalah uraian tentang neraka dengan tujuh pintunya
Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu muslihat
Dan dari setiap tipu muslihat seratus Fir’aun dan bala tentaranya terjerumus.”
Berhala benda ialah ular, berhala jiwa ialah naga
Menghancurkan berhala itu mudah,
namun menganggap mudah menghancurkan hawa nafsu itu tolol
Wahai anakku, apabila kau ingin mengetahui bentuk hawa nafsu
bacalah uraian tentang neraka dengan tujuh pintunya
Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu muslihat
Dan dari setiap tipu muslihat seratus Fir’aun dan bala tentaranya terjerumus.”
___Dari buku: Matsnawi
Senandung Cinta Abadi
Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.
Halaman: xx – xxii
Senandung Cinta Abadi
Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.
Halaman: xx – xxii
***
Dengar lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu
perpisahan.
Tuturnya, “Sejak aku berpisah dengan asal usulku, pokok bambu yang rimbun, ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.
Kuingin sebuah dada koyak sebab terpisah jauh dari orang yang dicintai. Dengan demikian, dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta. Setiap orang yang hidup jauh dari kampung halamannya akan merindukan saat-saat tatkala dia masih berkumpul dengan sanak keluarganya.
Tuturnya, “Sejak aku berpisah dengan asal usulku, pokok bambu yang rimbun, ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.
Kuingin sebuah dada koyak sebab terpisah jauh dari orang yang dicintai. Dengan demikian, dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta. Setiap orang yang hidup jauh dari kampung halamannya akan merindukan saat-saat tatkala dia masih berkumpul dengan sanak keluarganya.
Nada-nada senduku senantiasa kunyanyikan dalam setiap
majelis pertemuan, aku duduk bersama mereka yang riang dan sedih. Rahasia
laguku tidak jauh dari asal usul ratapku. Namun, apakah ada telinga yang
mendengar dan mata melihat?
Tubuh tidak terdinding dari roh, pun roh tak terdinding dari tubuh. Namun, tak seorangpun diperbolehkan melihat roh.
Tubuh tidak terdinding dari roh, pun roh tak terdinding dari tubuh. Namun, tak seorangpun diperbolehkan melihat roh.
Bunyi seruling yang riuh ialah kobaran api, bukan desir
angin yang berhembus: mereka yang tak mempunyai api akan sia-sia hidupnya.
Inilah api Cinta yang tersembunyi dalam seruling bambu, inilah bara semangat Cinta yang dikandung anggur.
Inilah api Cinta yang tersembunyi dalam seruling bambu, inilah bara semangat Cinta yang dikandung anggur.
Seruling ialah sahabat mereka yang terpisah dari sahabat
karipnya: lagunya menyayat kalbu.
Siapa pernah melihat racun dan obat penawarnya sekaligus seperti seruling? Siapa pernah menyaksikan orang berkabung dan pecinta menuturkan rindu dendamnya seperti seruling?
Siapa pernah melihat racun dan obat penawarnya sekaligus seperti seruling? Siapa pernah menyaksikan orang berkabung dan pecinta menuturkan rindu dendamnya seperti seruling?
Seruling menyanyikan kisah jalan tergenang darah dan
menyingkap lagi rindu dendam Majenun. Hanya untuk mereka yang tidak mengerti
pemahaman dan kepahaman disampaikan: Lidah tak mempunyai pelanggan selain
telinga.
Dalam pilu hari-hari hayat kami berlalu tak kenal waktu:
hari-hari kami berjalan bersama kepiluan membara. Kalau hari-hari kami mesti
pergi, biarlah ia pergi! Kami tidak peduli. Kekallah Engkau, sebab tiada
sekudus Engkau.
Mereka yang tidak puas pada air-Nya bukanlah ikan: Mereka
yang tidak punya roti untuk makanan sehari-hari akan merasa betapa lamanya
detik-detik waktu berjalan.
Tidak ada barang mentah yang mengerti makna kemasakan.
Karena itu, kini akan kuringkas kata-kataku! Selamat tinggal!
Anakku, patahkan belenggu yang mengikatmu dan bebaskan
dirimu! Berapa lama kamu akan terikat pada perak dan emas?
Apabila air laut kutuang kedalam kendi, berapa teguk yang
dapat ditampung? Paling-paling hanya cukup untuk minuman sehari. Kendi itu,
mata yang tak pernah kenyang itu, tak akan pernah penuh: ingatlah, kerang tidak
akan berisi mutiara sebelum dirinya penuh.
Dia yang meminjamkan jubahnya dengan rasa cinta akan
bersih dari ketamakan dan kekurangan.
Selamat datang, o, Cinta yang memberi keberuntungan indah – Kaulah tabib segala sakit kami, pemulih keangkuhan dan kesombongan, Filosof dan Dokter kami!
Selamat datang, o, Cinta yang memberi keberuntungan indah – Kaulah tabib segala sakit kami, pemulih keangkuhan dan kesombongan, Filosof dan Dokter kami!
Dengan Cinta, tubuh tanah liat ini dapat terbang ke
angkasa raya, mikraj: gunung menari dan tangkas geraknya. Cinta menurunkan
ilham kepada Gunung Sinai, o Pecinta, karena itu Gunung Sinai mabuk dan ‘Musa
jatuh pingsan’.
Apabila aku mengikuti bibir yang sehaluan denganku, aku
akan seperti seruling, menazamkan semua yang dapat kunazamkan. Tetapi, dia yang
dipisahkan darinya akan membisu, walaupun tahu ratusan syair dan gurindam.
Apabila mawar pergi dan taman lenyap, kisah burung bulbul
tak akan terdengar lagi olehmu. Kekasih ialah segala-galanya, dan pecinta ialah
tabirnya. Kekasih ialah hidup dan pecinta itu benda mati. Kalau Cinta tak
memperdulikannya, jadilah dia burung tanpa sayap.
Bagaimana kesadaran ada didepan dan disamping jika Cahaya Kekasihku tidak ada didepan dan sampingku?
Bagaimana kesadaran ada didepan dan disamping jika Cahaya Kekasihku tidak ada didepan dan sampingku?
Cinta ingin Dunia ini dijelmakan: Jika cermin tak
memantulkan bayangan, apa sebabnya?
Tahukah kamu mengapa cermin jiwa tak memantulkan satupun bayangan? Karena karatnya tidak dibersihkan.
Tahukah kamu mengapa cermin jiwa tak memantulkan satupun bayangan? Karena karatnya tidak dibersihkan.
O, Sahabat, dengar kisah ini: hanya dalam Kebenaran
sumsum keperiadaan roh kami terkandung.”
___Dari buku: Matsnawi
Senandung Cinta Abadi
Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.
Halaman: 7 – 10
Senandung Cinta Abadi
Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.
Halaman: 7 – 10
***
Maulana Rumi juga mengetahui bahwa kita masing-masing
bergiliran dalam salat-salat kita – yaitu, sesuai pikiran dan kemauan kita –
menuju suatu qiblat yang berbeda, “arah salat”, dan setiap orang mempunyai qiblat
yang berbeda. Di akhir kehidupannya ia menyebut satu-persatu berbagai arah yang
diambil oleh pikiran-pikiran orang yang merindu:
“Ka’bah bagi para ruh dan Jibril: pohon Sida,
Qiblat orang yang rakus: yaitu taplak meja.
Qiblat bagi gnostikus: cahaya persatuan dengan Tuhan.
Qiblat filsafat, akal, ialah: pemikiran yang sia-sia!
Qiblat sang asketis: Tuhan yang murah hati.
Qiblat orang yang tamak: kantung yang penuh dengan emas.
Qiblat orang yang menatap pada makna sejati, adalah
kesabaran yang teguh.
Qiblat orang yang memuja bentuk-bentuk belaka: sebuah
patung batu.
Qiblat orang-orang esoterik adalah Ia, Tuhan Rahmat.
Qiblat orang-orang eksoteris ini tak lain adalah wajah
wanita”.
(Matsnawi VI 1896) – Maulana Jalaluddin Rumi
___Dari buku DUNIA RUMI
Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi
Halaman: 201 – 202
Oleh: Annemarie Schimmel
Penerbit: Pustaka Sufi, 2002
Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi
Halaman: 201 – 202
Oleh: Annemarie Schimmel
Penerbit: Pustaka Sufi, 2002
Komentar
Posting Komentar