Langsung ke konten utama

Rumi


Pandangan Iqbal, seorang tokoh pembaharu pemikiran keagamaan, “Filosof – Penyair Kebangkitan Timur” dan “Jembatan antara Pemikiran Barat dan Timur” sebagaimana dinyatakan Annemarie Schimmel (1972). Sebuah puisi Iqbal dalam antologinya Pas Chih Bayad Kard Ay Aqwam-I Sharq (Apa yang Harus Dilakukan Bangsa-Bangsa Timur) berjudul “Kepada Matahari yang Menerangi Dunia” khusus ditujukan kepada Rumi. Iqbal menyebut Rumi sebagai Raushan Damir, yaitu orang yang memiliki penglihatan rohani yang tajam sehingga mampu membaca rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang tersembunyi. Dari Rumi kita dapat memetik banyak pelajaran bagaimana membenahi jiwa umat yang sedang kusut dan morat-marit. Pikiran-pikiran Rumi yang profetik (mengandung pesan kenabian)memiliki tenaga pembebasan dan pencerahan, terutama bagi mereka yang bersedia meresapi ajaran Rumi secara mendalam.

…agar manusia selamat, tujuan hidupnya harus ditegakkan diatas keabadian atau nilai-nilai yang abadi, bukan di atas kesementaraan atau nilai-nilai yang bersifat sementara. Segala yang bersifat sementara, seperti halnya tubuh jasmani, mudah lapuk, begitu pula dengan materialisme, hedonisme material, konsumerisme, relativisme budaya, dan lain-lain yang sejenis.

Rumi tampil sebagai tokoh terkemuka pada zamannya setelah menyadari bahwa banyak orang di sekelilingnya memeluk suatu agama disebabkan situasi-situasi tertentu yang tidak disadari penyebabnya. Setelah mereka memeluk suatu agama dan memperoleh pengetahuan formal tentang agama yang dianut, merekapun merasa puas. Dalam kenyataan, perilaku, kepribadian, dan pikiran mereka tidak mengalami perubahan yang berarti. Begitu pula pengajaran yang diberikan kepada mereka selama ini ternyata tidak dengan serta-merta mampu mendorong hati dan perasaan mereka tumbuh dengan baik, dalam arti tertuju pada sesuatu yang lebih positif dan bermakna. Perilaku, jiwa, kepribadian, dan pemikiran seseorang bisa berubah apabila sikap, pandangan hidup, dan gambaran dunia (worldview)dalam jiwa mereka mengalami perubahan. Agar itu bisa terjadi, maka kesadaran batinnya harus diubah. Ini merupakan tugas ilmu-ilmu agama, khususnya tasawuf dan falsafah.

Rumi juga berpendapat bahwa pikiran seseorang akan terang dan memperoleh ‘pencerahan’ apabila orang tersebut memiliki perasaan positif terhadap segala sesuatu. Rumi menyadari – dalam pengalamannya – bahwa pertentangan berlarut-larut yang timbul antar golongan masyarakat, juga di kalangan penganut agama yang sama namun berlainan mazhab, sering terjadi karena satu sama lain tidak saling mengetahui keadaan masing-masing. Sebagai seorang guru yang telah bertahun-tahun mengajar berbagai ilmu kepada santrinya, Rumi insaf bahwa ternyata ilmu syariat, fiqih, dan ilmu mantik (logika) yang diajarkan kepada murid-muridnya tidak lebih sebagai sarana belaka, yang bisa saja melahirkan kebaikan atau keburukan.

Semua itu mendorong Rumi mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar. Misalnya,

Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat orang semakin pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama menimbulkan permusuhan?
Mengapa orang beriman berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan?
Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar?
Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman?
Apakah hanya untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas kehidupan?
Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci gagal dalam tindakan dan muamalah?
Jika rasa cinta tumbuh dalam diri seseorang, mengapa sikapnya lantas berubah, pemahaman yang segar lantas muncul, dan perbedaan pendapat tentang hal-hal yang bersifat furu lantas dilupakan?

Cinta bagi Rumi memiliki arti “Perasaan sejagat”, “Sebuah roh persatuan degan alam semesta”. Cinta adalah pemulihan terhadap kesombongan yang melekat dalam diri manusia, tabib segala kelemahan dan duka cita. Cinta juga adalah kekuatan yang menggerakkan perputaran dunia dan alam semesta. Dan cinta pulalah yang memberikan makna bagi kehidupan dan keberadaan kita. Makin seseorang mencintai, makin larutlah ia terserap dalam tujuan-tujuan ilahiah kehidupan. Dalam tujuan-tujuan ilahiah penciptaan inilah manusia memperoleh makna yang sebenarnya dari kehidupannya di dunia dan itu pulalah yang memberinya kebahagiaan rohaniah yang tidak terkira nilainya.

___Dari buku: Matsnawi
Senandung Cinta Abadi
Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.
Halaman: (xxiii ) – ( xxvi– xxx)
***
F.C. Happold (1960) memasukkan Rumi ke dalam tokoh terkemuka mistisisme cinta dan persatuan mistis (unio mystica). Mistisisme jenis ini berusaha membebaskan diri dari rasa terpisah dan kesebatangkaraan diri, dengan menyatukan diri dengan alam dan Tuhan, yang membawa rasa damai dan memberi kepuasan kepada jiwa. Merasa sebatang kara, mistikus cinta berusaha menanggalkan ‘diri khayali’ yang rendah (nafs) dan pergi menuju diri yang lebih agung, Diri Hakiki. Menurut pandangan mistikus cinta, manusia adalah makhluk yang paling mampu menyadari individualitasnya. Pada saat yang sama, manusia mampu berperan serta dalam segala sesuatu melalui pikiran, perasaan, dan imajinasinya. Tujuan mistisisme cinta ialah melakukan perjalanan rohani menuju Diri Hakiki dan kebakaan, dimana Yang Satu bersemayam.

Rumi – sebagaimana telah dikemukakan – berpendapat bahwa untuk memahami kehidupan dan asal usul ketuhanan dirinya, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, tidak semata-mata melalui jalan pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi malahan menyamakan cinta dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi makna keimanan, yang hasilnya ialah haqq al-yaqin, keyakinan yang penuh kepada Yang Haq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Cinta yang sejati dan mendalam, kata Rumi, dapat membawa seseorang mengenal hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk formal kehidupan. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi berpendapat bahwa cinta merupakan sarana manusia terpenting dalam mentransendensikan dirinya terbang tinggi menuju Yang Satu. Kata Rumi,

“Inilah Cinta: Terbang tinggi kelangit
Setiap saat mencampakkan ratusan hijab
Mula-mula menyangkal dunia (zuhd)
Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa jasad
Cinta memandang dunia benda-benda telah raib
Dan tak memedulikan yang hanya tampak di mata
Ia memandang jauh ke balik dunia rupa
Menembus hakikat segala sesuatu”. – (Divan)

Dalam bait puisinya yang lain dalam Divan, Rumi mengatakan bahwa Jalan Cinta dalam tasawuf berangkat dari diri yang satu dan menuju ke diri yang lain. Yang pertama adalah nafs yang rendah yang merupakan diri yang palsu dan sering diidentikkan dengan hawa nafsu. Sedangkan yang kedua merupakan diri hakiki, yang di dalamnya terpancar keindahan ilahiah dari Sang Pencipta. Diri palsu atau hawa nafsu ini diumpamakan sebagai ‘orang asing’ oleh Rumi dalam sebuah puisinya,

“Jangan bangun rumahmu di tanah orang lain
Bekerjalah demi cita-cita dirimu yang hakiki di dunia ini
Jangan sampai kau terjerat oleh bujukan orang asing
Siapa orang asing itu kecuali nafsumu yang berlebihan pada dunia?
Dialah sumber bencana dan kepiluan hidupmu
Selama hanya tubuh yang kau rawat dan kau manjakan
Jiwamu tidak akan subur, juga tidak akan teguh”.

Pada bagian lain dalam Matsnawi, sang sufi menuturkan,

“Hawa nafsumu adalah ibu semua berhala:
Berhala benda ialah ular, berhala jiwa ialah naga
Menghancurkan berhala itu mudah,
namun menganggap mudah menghancurkan hawa nafsu itu tolol
Wahai anakku, apabila kau ingin mengetahui bentuk hawa nafsu
bacalah uraian tentang neraka dengan tujuh pintunya
Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu muslihat
Dan dari setiap tipu muslihat seratus Fir’aun dan bala tentaranya terjerumus.”

___Dari buku: Matsnawi
Senandung Cinta Abadi
Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.
Halaman: xx – xxii
***
Dengar lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu perpisahan.
Tuturnya, “Sejak aku berpisah dengan asal usulku, pokok bambu yang rimbun, ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.
Kuingin sebuah dada koyak sebab terpisah jauh dari orang yang dicintai. Dengan demikian, dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta. Setiap orang yang hidup jauh dari kampung halamannya akan merindukan saat-saat tatkala dia masih berkumpul dengan sanak keluarganya.

Nada-nada senduku senantiasa kunyanyikan dalam setiap majelis pertemuan, aku duduk bersama mereka yang riang dan sedih. Rahasia laguku tidak jauh dari asal usul ratapku. Namun, apakah ada telinga yang mendengar dan mata melihat?
Tubuh tidak terdinding dari roh, pun roh tak terdinding dari tubuh. Namun, tak seorangpun diperbolehkan melihat roh.

Bunyi seruling yang riuh ialah kobaran api, bukan desir angin yang berhembus: mereka yang tak mempunyai api akan sia-sia hidupnya.
Inilah api Cinta yang tersembunyi dalam seruling bambu, inilah bara semangat Cinta yang dikandung anggur.

Seruling ialah sahabat mereka yang terpisah dari sahabat karipnya: lagunya menyayat kalbu.
Siapa pernah melihat racun dan obat penawarnya sekaligus seperti seruling? Siapa pernah menyaksikan orang berkabung dan pecinta menuturkan rindu dendamnya seperti seruling?

Seruling menyanyikan kisah jalan tergenang darah dan menyingkap lagi rindu dendam Majenun. Hanya untuk mereka yang tidak mengerti pemahaman dan kepahaman disampaikan: Lidah tak mempunyai pelanggan selain telinga.

Dalam pilu hari-hari hayat kami berlalu tak kenal waktu: hari-hari kami berjalan bersama kepiluan membara. Kalau hari-hari kami mesti pergi, biarlah ia pergi! Kami tidak peduli. Kekallah Engkau, sebab tiada sekudus Engkau.

Mereka yang tidak puas pada air-Nya bukanlah ikan: Mereka yang tidak punya roti untuk makanan sehari-hari akan merasa betapa lamanya detik-detik waktu berjalan.

Tidak ada barang mentah yang mengerti makna kemasakan. Karena itu, kini akan kuringkas kata-kataku! Selamat tinggal!

Anakku, patahkan belenggu yang mengikatmu dan bebaskan dirimu! Berapa lama kamu akan terikat pada perak dan emas?

Apabila air laut kutuang kedalam kendi, berapa teguk yang dapat ditampung? Paling-paling hanya cukup untuk minuman sehari. Kendi itu, mata yang tak pernah kenyang itu, tak akan pernah penuh: ingatlah, kerang tidak akan berisi mutiara sebelum dirinya penuh.

Dia yang meminjamkan jubahnya dengan rasa cinta akan bersih dari ketamakan dan kekurangan.
Selamat datang, o, Cinta yang memberi keberuntungan indah – Kaulah tabib segala sakit kami, pemulih keangkuhan dan kesombongan, Filosof dan Dokter kami!

Dengan Cinta, tubuh tanah liat ini dapat terbang ke angkasa raya, mikraj: gunung menari dan tangkas geraknya. Cinta menurunkan ilham kepada Gunung Sinai, o Pecinta, karena itu Gunung Sinai mabuk dan ‘Musa jatuh pingsan’.

Apabila aku mengikuti bibir yang sehaluan denganku, aku akan seperti seruling, menazamkan semua yang dapat kunazamkan. Tetapi, dia yang dipisahkan darinya akan membisu, walaupun tahu ratusan syair dan gurindam.

Apabila mawar pergi dan taman lenyap, kisah burung bulbul tak akan terdengar lagi olehmu. Kekasih ialah segala-galanya, dan pecinta ialah tabirnya. Kekasih ialah hidup dan pecinta itu benda mati. Kalau Cinta tak memperdulikannya, jadilah dia burung tanpa sayap.
Bagaimana kesadaran ada didepan dan disamping jika Cahaya Kekasihku tidak ada didepan dan sampingku?

Cinta ingin Dunia ini dijelmakan: Jika cermin tak memantulkan bayangan, apa sebabnya?
Tahukah kamu mengapa cermin jiwa tak memantulkan satupun bayangan? Karena karatnya tidak dibersihkan.

O, Sahabat, dengar kisah ini: hanya dalam Kebenaran sumsum keperiadaan roh kami terkandung.”

___Dari buku: Matsnawi
Senandung Cinta Abadi
Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.
Halaman: 7 – 10
***
Maulana Rumi juga mengetahui bahwa kita masing-masing bergiliran dalam salat-salat kita – yaitu, sesuai pikiran dan kemauan kita – menuju suatu qiblat yang berbeda, “arah salat”, dan setiap orang mempunyai qiblat yang berbeda. Di akhir kehidupannya ia menyebut satu-persatu berbagai arah yang diambil oleh pikiran-pikiran orang yang merindu:

“Ka’bah bagi para ruh dan Jibril: pohon Sida,
Qiblat orang yang rakus: yaitu taplak meja.
Qiblat bagi gnostikus: cahaya persatuan dengan Tuhan.
Qiblat filsafat, akal, ialah: pemikiran yang sia-sia!
Qiblat sang asketis: Tuhan yang murah hati.
Qiblat orang yang tamak: kantung yang penuh dengan emas.
Qiblat orang yang menatap pada makna sejati, adalah kesabaran yang teguh.
Qiblat orang yang memuja bentuk-bentuk belaka: sebuah patung batu.
Qiblat orang-orang esoterik adalah Ia, Tuhan Rahmat.
Qiblat orang-orang eksoteris ini tak lain adalah wajah wanita”.
(Matsnawi VI 1896) – Maulana Jalaluddin Rumi

___Dari buku DUNIA RUMI
Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi
Halaman: 201 – 202
Oleh: Annemarie Schimmel
Penerbit: Pustaka Sufi, 2002

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salah Satu Syair Rumi Tentang Reinkarnasi

Sebagai tahapan yang harus dilalui wujud lahir, tingkatan wujud berikutnya akan berproses sesuai dengan rancangan wujud sebelumnya. Dengan jalan seperti ini muncullah ribuan perubahan. Dan tiap perubahan selalu lebih baik dari sebelumnya. Sadarilah selalu wujudmu saat ini karena jika kau berpikir tentang wujudmu di masa lalu, maka kau akan memisahkan dirimu dari Diri Sejatimu. Inilah semua keadaan yang tetap yang kau saksikan dalam kematian. Lalu mengapa harus kau palingkan mukamu dari kematian? Ketika tahapan kedua lebih baik dari tahapan pertama, maka matilah dengan senyum suka cita. Dan arahkan pandanganmu ke depan untuk menempati wujud baru yang lebih baik dari wujud sebelumnya. Sadarilah, dan jangan tergesa-gesa. Kau harus mati terlebih dulu sebelum memperbaiki diri. Laksana sang surya, hanya jika kau tenggelam di Barat, maka di Timur, kau akan menyaksikan wajahmu yang cerlang gemilang.  ( Jalaluddin Rumi ) Tulisan Di Batu Nisan Jalaluddin...

Kata-Kata Indah Dari Osho

Kita telah hidup dalam pikiran selama begitu banyak kehidupan, dan kita telah menjadi selaras dengan kegelapannya, dengan keburukannya, kesia-siaannya. Ketika engkau bertindak tanpa pikiran, seluruh keberadaanmu bergetar. Engkau bergerak di jalur yang berbahaya. Pikiran berkata, “Waspada! Pikirkan dulu, baru kemudian bertindak.” Tetapi jika engkau berpikir dulu dan baru kemudian melakukan sesuatu, perbuatanmu akan selalu mati, basi. Ini akan keluar dari pikiran, ini tidak akan menjadi nyata dan otentik. Maka engkau tidak bisa mencintai, Maka engkau tidak bisa bermeditasi, Maka engkau tidak bisa benar-benar hidup dan engkau tidak bisa mati. Engkau menjadi hantu, keberadaan yang palsu. Cinta mengetuk hatimu dan engkau berkata, “Tunggu! Aku akan memikirkannya.” Kehidupan terus mengetuk pintumu dan engkau berkata, “Tunggu! Aku akan memikirkannya.” OSHO, A Bird on the wing, Chpt 9, Save the cat “Kuasai hanya satu hal: dirimu sen...

Osho, aku ingin berdoa kepada Tuhan. Tolong ajari aku caranya

“Prayer means gratefulness, prayer means no complaint. Prayer means ”I am thankful for all that has been given to me; more I could not have asked for.” In that very prayerfulness one becomes graceful”. ___Osho Doa berarti rasa syukur, doa berarti tidak ada keluhan. Doa berarti “Saya bersyukur untuk semua yang telah diberikan kepada saya; lebih saya tidak bisa meminta.” Dalam penuh rasa syukur itu orang menjadi graceful.. ------------------------------------------- “Osho, aku ingin berdoa kepada Tuhan. Tolong ajari aku caranya” Osho: “JANGAN MEREPOTKAN ALLAH, DIA PUNYA MASALAH SENDIRI. Tidakkah anda lihat apa pun yang Dia ciptakan adalah mati? Anda menyimpan masalah anda kepada diri sendiri. Mengapa orang harus ingin berdoa kepada Allah? ALLAH TIDAK MEMBUTUHKAN DOA-DOA ANDA. Anda mungkin memerlukan doa-doa itu — tapi mereka tidak akan sesuatu yang lebih dari suara keinginan anda, tuntutan anda, mengekspresikan keluhan anda. Itulah apa yang dilakukan orang atas nama d...