Kebenaran tidak bisa diajarkan. Kebenaran adalah sesuatu
yang lebih dari pada sekedar fakta intelektual yang dapat diingat. Kebenaran
harus dialami.
Yang diajarkan ini bukanlah ajaran yang intelektual,
melainkan kebenaran. Sebab kebenaran tersebut tak memerlukan kehadiran seorang
Guru. Masing-masing orang harus menjadi Guru bagi dirinnya sendiri.
Jalan kearah pembebasan itu berlaku untuk siapa saja,
tetapi hanya sedikit yang dapat melaksanakannya. Metode atau alur menuju
pembebasan diri ini melibatkan komitmen dan upaya individual yang keras, tetapi
niscaya akan mengakhiri penderitaan.
Meditasi yang teratur adalah hal yang penting. Tak ada
satu pengertian intelekpun yang bisa menggantikan saat penerimaan wawasan yang
terjadi ketika melakukan meditasi.
Semua ini menimbulkan perasaan sehingga juga menimbulkan
kesedihan. Jadi, pahamilah dan ingatlah, kata sang Buddha, bahwa apapun
bentuknya perasaan, persepsi, formasi mental atau kesadaran, dan apapun yang
bersifat badaniah, baik yang kalian miliki sendiri maupun yang dimiliki makhluk
hidup lain, besar atau kecil, yang ada sekarang, dimasa lampau atau dimasa
mendatang, tinggi atau rendah, jauh atau dekat, keras atau lembut, tak ada
diantara semua itu yang menjadi milikmu. Kalian semua tidak demikian dan inilah
kebijaksanaan yang sebenarnya.
Kegembiraan dalam mengetahui berakhirnya hawa nafsu dan
penderitaan.
Kita begitu terikat pada apa yang seharusnya terjadi
terhadap sesuatu dan menderita ketika ternyata tidak demikian. Kita tak mau
kehilangan sesuatu yang begitu kita cintai dan begitu bernafsu untuk
mendapatkan atau memiliki sesuatu yang kita bayangkan akan membuat kita
bahagia. Keterikatan kita yang paling besar adalah terhadap gagasan mengenai
diri yang abadi dan kesalahan ini telah mengakibatkan timbulnya penderitaan
yang tak terhindarkan. Tidak ada diri pada ciri yang manapun atau
keseluruhannya. Segala-sesuatunya tidak kekal, dan segalanya tergantung pada penyebab
yang sebelumnya. Tak ada yang abadi. Yang “kita” punyai hanyalah suatu arus
kesadaran yang tidak berpribadi dan hal ini secara keliru menciptakan suatu
“identitas” yang berasal dari kesan indra tubuh sehingga tampak terjadi pada
“saya”.
Tidak adanya prinsip yang mengatur dibalik pengindraan
dan indra tubuh.
Kematian psiko-fisik tak dapat menyentuh orang yang
mencapai Nirwana. Sebab dia mati setiap saat. Orang itu bertindak tanpa minat,
tanpa nafsu untuk mendapatkan hasil tertentu, dan tanpa mengidentifikasikan
suatu diri dengan tindakan bersangkutan. Orang itu tahu mengenai tak adanya
diri yang menjadi pelaku atau yang bisa mati. Percaya kepada suatu diri
merupakan suatu bagian dari ilusi, meskipun merupakan bagian yang paling
menggoda.
Secara kodrati, kita ingin mengenal dan dikenali oleh
yang lain. Semua nafsu niscaya berakhir dengan kegagalan, karena berdiri diatas
konsepsi yang salah tentang apa. Tak ada sesuatupun yang kekal didunia ini,
yang paling tidak kekal diantara semua itu adalah yang kita anggap sebagai diri
kita sendiri. Segala sesuatunya terus bergerak. Segala sesuatu terus berubah.
Sungguh merupakan suatu ilusi kalau kita membayangkan tentang identitas.
Menyerahkan diri pada pengalaman Nirwana akan memberikan
kedamaian dan lenyapnya kebencian, keserakahan, dan segala macam delusi tentang
hakikat yang abadi. Pencerahan ini menghasilkan kesadaran bahwa perubahan
adalah keadaan kodrati dari keseluruhan dunia ini. Oleh karena itu, sungguh tak
masuk akal untuk terikat pada anggapan mengenai keberadaan yang kekal, karena
sebenarnya keadaan itu tak ada dimanapun, atau didalam apapun, terutama dalam
hidup kita. Kita membuat roda berputar dan mempertanyakan mengapa kita tidak
bisa berhenti sambil terus mendorong putaran itu. Nirwana adalah satu-satunya
harapan. Didalam kodrat segala sesuatunyalah kita menjadi bagian dari apa yang
paling kita sayangi. Segala sesuatu yang berwujud pasti akan lenyap.
Kesan indra tubuh pada dirinya sendiri bukanlah penyebab
penderitaan. Yang menjadi penyebab adalah cara kita menafsirkannya. Kita
menjerumuskan diri sendiri untuk menderita dengan menginginkan yang tidak
mungkin dan dengan mempertahankan sesuatu yang tak menyenangkan serta tak
terhindarkan. Penderitaan adalah sesuatu yang tak memuaskan dan menimbulkan
kesedihan. Kesedihan adalah sesuatu yang tak memuaskan dan menimbulkan
penderitaan.
Tak ada makhluk yang memasuki tempat manapun di Nirwana.
Penerangan sempurna dilukiskan sebagai keadaan ketika mencapai pengertian
mengenai tak adanya diri atau roh, tak ada nafsu atau keterikatan yang tersisa.
Karena sungguh tak masuk akal untuk membawanya kehadapan Kebenaran ini. Nirwana
harus dipahami, bukan dilukiskan.
Bekerjalah (meditasi) dengan tekun untuk penyelamatanmu
sendiri. Jadilah lampu bagi dirimu sendiri.
Hanya sedikit pencari kebenaran yang mampu untuk
mengorbankan apa yang telah mereka kenal dan cintai. Untuk membuat seseorang
membuang konsep tentang diri adalah sama halnya dengan meminta nakhoda kapal
agar menyingkirkan bagian kapal yang menurutnya akan membuatnya tetap
mengapung.
Kita lebih memilih realitas yang salah mengenai identitas
kita. Dan dari kepercayaan salah itulah muncul harapan, rasa suka, tidak suka,
dan cita-cita yang membuat kita terjebak.
“Tidak ada intervensi (campur tangan) dewa-dewa dalam
mencapai Kebenaran. Setelah aku tiada janganlah membuat citra (patung) diriku,
kebenaran ada didalam diri kamu semuanya”
Tulisan ini bersumber atau diringkas dari buku kecil :
SERI SIAPA DIA? – BUDDHA – Oleh: Gillian Stokes
Penerbit: Erlangga 2001Dicetak oleh: PT Gelora Aksara Pratama
SERI SIAPA DIA? – BUDDHA – Oleh: Gillian Stokes
Penerbit: Erlangga 2001Dicetak oleh: PT Gelora Aksara Pratama
***
# Kata Buddha berasal dari bahasa sansekerta, yang
artinya; Orang yang sudah tersadarkan, Terjaga atau tercerahkan. Dari kata
Sansekerta: “Budh”, untuk mengetahui – merupakan gelar kepada individu yang
menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang
kesadarannya. Kata Buddha bukan berarti Tuhan, Dewa, atau patung yang disalah
artikan selama ini.
Komentar
Posting Komentar