Jalaluddin Rumi adalah nama yang dikenal begitu luas,
tidak hanya di negeri-negeri dengan mayoritas Islam saja. Ia masyhur di
mana-mana. Di Barat dan di Timur. Pada 1997, misalnya, Rumi ditempatkan sebagai
penyair paling populer di Amerika oleh tabloid Christian Science Monitor.
Dia memang dikenal luas sebagai sufi yang memiliki pengaruh tidak hanya di
dunia sufistik saja, melainkan juga dalam dunia sastra. Syair-syairnya tidak
hanya dibaca oleh pembaca Muslim. Puisi dan tafsir mistiknya terus dibaca dan
digemakan oleh orang-orang yang secara sengaja melepaskan diri dari kemapanan
dan rutinitas dalam upaya mencari hidup yang lebih bermakna. Sama’, tarian
mistik dengan gerakan berputar-putar untuk mendapatkan pengalaman spiritual
yang menjadi praktik ritual khas tarekat yang didirikannya, Maulawiyyah,
belakangan sangat digandrungi banyak kalangan di dunia barat. Karya-karyanya
memang menyajikan tuntunan praktis dalam pelbagai tingkatan kecerdasan
spiritual.
(Tidak diketahui siapa penulisnya)
Tapi yang tak banyak diketahui, Rumi pada awalnya, hingga
usia menjelang 40 tahun, bukanlah seorang sufi. Ia memang sudah termayhur.
Tetapi bukan dalam label sebagai guru sufi, melainkan masyhur sebagai seorang
guru besar, semacam profesor, di bidang fiqih, hukum Islam. Dia juga dinilai
sebagai orang dengan kadar kecerdasan di atas rata-rata. Berpuluh-puluh kali
dia diundang sebagai pembicara dalam pertemuan ilmiah yang dihadiri para guru
besar dari pelbagai disiplin ilmu.
Transformasi besar dalam sejarah spiritual seorang Rumi
dimulai ketika Rumi bersua dengan seorang lelaki bernama Syams at-Tabirizi,
Matahari dari Tabriz. Ketika Syams membakar buku-buku Rumi, dan mempermalukan
Rumi di depan majelis keilmuan. Lewat “bimbingan” Syam, Rumi menemukan
pencerahan yang tuntas, yang terbukti mengubah peta intelektual Rumi sekaligus
membelokkan orientasi spiritualnya. Siapa sebenarnya Syams? Syams bukanlah
siapa-siapa. Syams juga nyaris tak dikenal. Dan memang sejak dari tampilan
fisik, Syams sama sekali tak mempesona dan sama sekali tidak mencerminkan
penampilan seorang tokoh besar. Ketika bersua pertama kali dengan Rumi pada 29
November 1224, Syams yang sudah berusia sekira 60 tahun, seperti hadir dari
ketiadaan.
Syams adalah sosok yang eksentrik. Nyeleneh. Laku
kesehariannya tak biasa. Orang bisa mudah tersulut syaraf kejengkelannya jika
melihat polah Syams. Aku tidak punya urusan dengan penduduk dunia, kata
Syams, “Aku tidak datang untuk mereka.
Aku letakkan jemariku di atas denyut nadi orang-orang yang membimbing menuju
jalan Allah.”
Ada satu istilah dalam vokabulari sufisme untuk tipe sufi
macam Syams. Golpinarli menyebutnya dengan istilah “qalandar”, yaitu sufi yang
memilih jalan sunyi ‘pengembara’ dan tak berminat untuk mendirikan sebuah
perguruan tarekat. Para sufi macam ini kerap bertingkah aneh. Dan orang seperti
itulah yang ternyata mematahkan trek inteletkual yang sudah dilalui Rumi
puluhan tahun hanya lewat perjumpaan sekilas yang kemudian dikenang sebagai
salah satu fragmen legendaris dalam dunia sufi.
(Tidak diketahui siapa penulisnya)
Komentar
Posting Komentar