Setiap “wujud” sesungguhnya semua kosong. Tak berisi.
Dari yang takbersubstansi, lahirlah segala sesuatu yang bersubstansi. Dari Yang
Tak Berwujud, lahirlah segala wujud. Dari Ketiadaan, muncullah Keberadaan.
Karena kekosongan itu, karena ketiadaan itu, ada
Keberadaan. Kemanusiaan diri kita sangat tergantung pada kekosongan di dalam
diri. Bila diri kita penuh, tidak ada ruang kosong, kita tidak bisa berpikir
jernih. Tindakan kita kacau, pandangan kita keliru. Ucapan kita salah melulu.
Dalam keadaan terlalu penuh, manusia kehilangan kemanusiaannya.
Bila alam bawah sadar atau sub-conscious masih memenuhi
diri kita, kita belum cukup manusia. Masih tanggung. Ada yang 10% manusia, ada
yang 15%. Kita belum 100% manusia. Berkurangnya beban alam bawah sadar, sampah
sub-conscious, menciptakan kekosongan dalam diri. Kemudian kita menjadi bambu,
kosong. Menjadi seruling bambu.
Dalam tradisi Sufi, khususnya Tarekat Moulvi, bunyi
seruling bambu digunakan untuk mengantar kita kealam keadaan supra.
Dalam tradisi Hindu, Krishna yang dianggap sebagai
perwujudan Ilahi, sebagai Avatar, tidak pernah berpisah dari seruling. Bila
ingin menjadi serulingNya, kita harus kosong. Harus mengosongkan diri dari alam
bawah sadar. Membersihkan diri dari sampah subconscious.
Bambu padat tidak bisa menjadi seruling. Selama kita
masih berisik, selama masih banyak kata-kata di dalam diri, Suara Tuhan, Firman
Allah tak akan terdengar. Dia sedang bicara, tetapi SuaraNya tak terdengar.
Begitu kita menjadi seruling bambu, kosong, Suara Dia akan terdengar jelas.
(Dari buku Tantra Yoga – Anand Krishna)
Komentar
Posting Komentar