“Ah, Indonesia.
You know, kami, orang-orang Tibet, memiliki hubungan yang erat sekali dengan
Indonesia.” – Demikian kata Yang Mulia Dalai Lama kepada saya.
Ketika itu, beliau berkenan menerima saya dengan
rombongan diruang kerjanya. Lalu beliau bercerita, “Dulu, you know, di
Indonesia, di Svarnadvipa, ada seorang guru besar. Namanya, Dharmakirti
Svarnadvipi. Dan salah seorang muridnya, Atisha, datang ke Tibet untuk
menyebarkan ajaran tentang Bodhichitta (Kesadaran Murni). Atisha sendiri adalah
seorang guru besar dan very important part of Tibetan culture and religion.”
Saya dengar bahwa seribu tahun yang lalu, Yavadvipa (Jawa)
dan Svarnadvipa (Sumatra) pernah menjadi pusat pendidikan rohani. Dan para
siswa pun berdatangan dari manca Negara untuk mendalami latihan-latihan
meditasi dan sebagainya. Salah seorang Master yang terkenal sangat “selektif”
dalam hal peneriman murid adalah Dharmakirti. Sering sekali, ia akan
“menciptakan situasi”, sehingga para murid yang dianggapnya belum layak untuk
menerima ajaran-ajaran yang lebih tinggi akan meninggalkan beliau. Demikian
pula dengan mereka yang sekedar “ingin tahu”.
Konon, menurut catatan-catatan, lontar-lontar kuno dan
tradisi lisan di Tibet, Dharmakirti adalah putra seorang raja, atau bangsawan.
Dalam usia muda, ia meninggalkan istana untuk “mencari” sesuatu yang lebih
berharga. Ia menjadi seorang pengembara, seorang samana, samanera. Ia
mengunjungi beberapa tempat di Yavadvipa (Jawa), tetapi tidak puas dengan apa
yang ia temukan disana. Kemudian ia berangkat ke Jambudvipa—ke Sri Lanka dan
India.
Tidak banyak yang kita ketahui, siapa saja yang beliau
temui di Sri Lanka dan India. Begitu juga tentang tempat-tempat yang beliau
kunjungi—kita tidak tahu banyak. Yang jelas beliau cukup lama berada di
India—kurang lebih 10 tahun. Lalu beliau kembali lagi ke Svarnadvipa (Sumatra)
dan mulai memberikan latihan-latihan meditasi kepada mereka yang
menginginkannya.
Sayang sekali, para sejarawan dan budayawan kita
sepertinya tidak pernah mendengar tentang anak bangsa yang satu ini. Kalaupun
pernah dengar, mungkin mereka tidak menganggapnya cukup penting dan perlu untuk
digali lebih jauh, lebih dalam. Sementara, ribuan kilometer jauh dari negaranya
sendiri, berkat ajaran Atisha yang pernah belajar kepada Dharmakirti, di Tibet
Dharmakirti akan selalu dikenang. Dan dimana pun ada orang Tibet, dimana pun
ada pecinta serta pemerhati budaya Tibet, nama beliau akan disebut dengan rasa
hormat dan haru.
Saya dengar dari para lama, para pertapa Tibet, bahwa
selama ratusan tahun pertama ajaran Atisha sangat dirahasiakan. Hanya para
“siswa” yang diperbolehkan untuk mendalaminya. Atisha menjabarkan sebuah konsep
yang dianggap baru dan unik oleh para lama—yaitu konsep Bodhicitta (Kesadaran
Murni). Atisha sendiri mengaku bahwa ia memperoleh ajaran tentang Bodhichitta
dari gurunya, dari Dharmakirti Svarnadvipi. Atisha adalah seorang penulis yang
cukup produktif. Selain menulis tentang pengalaman-pengalaman pribadi, ia juga
menyadur beberapa teks kuno dari bahasa Sanskerta kedalam bahasa Tibet.
Atisha pula yang memberikan latihan Tong-Len. Dalai Lama
pernah bercerita, “Inilah latihan yang saya lakukan setiap hari. Tong-Len
berarti ‘Memberi dan menerima’. Memberi cinta kasih, kebajikan, dan menerima
segala macam hujatan, kebencian dan lain sebagainya. Memberikan yang terbaik
kepada orang lain. Dan mengambil segalanya yang jelek.”
***
Ajaran Atisha yang akan kita ulas lewat buku ini juga berasal dari tradisi lisan, yang disampaikan oleh Atisha hanya kepada beberapa siswanya dan kemudian ditulis untuk pertama kalinya oleh salah seorang siswa beliau, yaitu Lang-ri Thangpa (1054 – 1123). Geshe Chekawa (1101 – 1175) mengulas tulisan tersebut dan mempopulerkannya. Tulisan Lang-ri Thangpa dan ulasan Geshe Chekawa inilah yang kita warisi. Tulisan-tulisan ini masih ada, dalam keadaan utuh dan jelas terbaca. TUJUH BUTIR PEDOMAN UNTUK MENGOLAH PIKIRAN (Mind)—demikianlah judul pemberian Geshe Chekawa.
Dan lontar ini pula yang menjadi acuan saya. (Dari halaman: 7 – 8 buku ini)
***
Ajaran Atisha yang akan kita ulas lewat buku ini juga berasal dari tradisi lisan, yang disampaikan oleh Atisha hanya kepada beberapa siswanya dan kemudian ditulis untuk pertama kalinya oleh salah seorang siswa beliau, yaitu Lang-ri Thangpa (1054 – 1123). Geshe Chekawa (1101 – 1175) mengulas tulisan tersebut dan mempopulerkannya. Tulisan Lang-ri Thangpa dan ulasan Geshe Chekawa inilah yang kita warisi. Tulisan-tulisan ini masih ada, dalam keadaan utuh dan jelas terbaca. TUJUH BUTIR PEDOMAN UNTUK MENGOLAH PIKIRAN (Mind)—demikianlah judul pemberian Geshe Chekawa.
Dan lontar ini pula yang menjadi acuan saya. (Dari halaman: 7 – 8 buku ini)
Dari buku: Seni Meberdaya Diri 3
ATISHA
Melampaui Meditasi Untuk Hidup Meditatif
Halaman: 67 – 77
Oleh: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003
ATISHA
Melampaui Meditasi Untuk Hidup Meditatif
Halaman: 67 – 77
Oleh: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003
Komentar
Posting Komentar